Nyonya Soya tak nyaman dengan kehadiran Damian dan keluarganya, wanita itu mengusir mereka secara terang-terangan.
“Sebaiknya kalian pulang, walaupun kalian tetap tinggal. Saya tidak akan mengizinkan anak saya bertemu dengan kalian.”
“Ma,” Damian memelas berharap mertuanya akan berbaik hati.
“Jangan buang waktu kalian, sampai kapanpun keputusanku tidak akan berubah.”
Pak Grandi menarik lengan putranya.
“Dam, sebaiknya kita pergi dari sini. Kau bisa menemui istrimu lain kali.”
“Tapi, Yah.”
“Percaya sama ayah.”
Nyonya Soya tersenyum licik, harapan itu hanya ada dalam angan-angan keluarga Damian. Karena keputusan telak ada padanya.
“Baiklah. Ma, tolong kabari Damian jika Manda sudah sadar.”
Tak mendapatkan jawaban. Damian pun berlalu dari sana. Hatinya tak tega meninggalkan Amanda, tetapi apa boleh buat. Dia harus tegar, butuh kesabaran ekstra untuk meluluhkan hati ibu mertuanya.
“Masuklah, ayah ingin bicara.” Pak Grandi membuka pintu mobil dan menatap serius pada putranya.
Bu Restanti memilih duduk di belakang dan memberikan ruang untuk mereka berbincang.
“Amanda sedang hamil, kita bisa menyampaikan pada hakim untuk menunda perceraian ini.”
Damian tertegun mendengar itu.
“Apa bisa, Yah?”
“Bisa, apalagi kamu memang berusaha mempertahankan rumah tanggamu. Ayah akan mengurusnya, kau pulanglah bersama dengan ibumu.”
Damian merasa ragu. Entah apa yang akan ayahnya lakukan.
“Sana pulanglah, percayakan semuanya pada ayahmu ini.”
Damian menurut, Grandi keluar dari mobil lalu melambai.
“Mas, hati-hati.” Restanti memperingatkan.
“Aku tahu.”
Setelah mobil melaju, Grandi segera mencari taksi dan mengurus apa yang telah dia sampaikan pada putranya. Lelaki itu cukup bisa di andalkan. Grandi sibuk mengurus ini dan itu, lalu dengan santainya dia menuju ke rumah Amanda untuk bertemu dengan Rama.
Ketidak hadiran Rama di persidangan membuat Grandi menyimpulkan beberapa hal. Dia berharap lelaki itu mendukung Damian tetap bersama dengan Amanda.
Apapun itu, dia mencoba segala cara demi kebahagiaan putranya.
Tiba di rumah besannya, Grandi segera mengetuk pagar. Seorang security berjalan mendekatinya. Belum sempat Grandi berucap, security itu telah mengusirnya.
“Maaf keluarga Damian di larang masuk ke rumah ini. Silahkan pergi," ucap securirty tegas.
“Saya tidak ingin masuk, saya hanya ingin bertemu dengan Pak Rama. Katakan padanya jika saya menunggu di luar.”
Grandi sama sekali tidak tersinggung saat security itu menolaknya.
"Pak Rama tidak ingin bertemu dengan siapapun."
"Saya membawa kabar penting. Terserah kau saja. Jangan menyesal nanti."
Ancaman Rama membuat security itu goyah.
“Baik, tunggu sebentar.”
Security itu segera masuk menemui Tuannya. Rama sedang menikmati teh hangat di halaman belakang, melihat kedatangan security fokusnya pun teralihkan.
“Maaf, Pak. Pak Grandi saat ini berada di luar, katanya beliau ingin bertemu dengan Bapak.”
Rama mengerutkan kening.
“Aku tidak ingin menemuinya, usir saja.”
Rama tidak ingin membuang waktu dengan mencari masalah dengan Grandi, tidak hanya itu. Jika istrinya tahu maka akan timbul masalah besar.
“Sana, jangan biarkan dia masuk!”
"Katanya dia membawa kabar penting, Pak. Jangan sampai Bapak menyesal." Tatapan tajam membuat nyali security itu menciut.
“B-baik, Pak. Saya akan megusirnya sekarang.”
Beberapa menit kemudian. Security itu kembali pada Grandi. Ayah Damian itu menatap jauh berharap Rama datang menemuinya.
“Maaf, Pak Rama sangat sibuk saat ini. Beliau tak bisa bertemu dengan siapapun.”
Tangan lelaki itu mengepal sempurna.
“Pecundang, kenapa dia tidak berani bertatap muka denganku. Apa dia takut!?”
Security itu memilih diam.
“Hey kau Rama! Keluar, jangan jadi pengecut.”
Teriakan ayah Damian begitu menganggu Rama.
“Rama keluar!”
Rama menremas koran yang ada di tangannya. Dan akhirnya dia memilih menemui Grandi dengan wajah yang tidak bersahabat.
“Hey, untuk apa kau datang kesini, teriak-teriak tidak jelas. Pergi sana!”
Grandi tersenyum menatapnya.
“Aku juga tidak ingin berlama-lama, aku hanya ingin bilang. Putrimu sedang hamil, dan istrimu ngotot untuk memisahkan Damian dan Amanda.”
Rama termenung di tempatnya. Dia tak tahu sama sekali soal Amanda yang kini tengah hamil.
“Hari ini, istrimu mengajukan perceraian atas nama Amanda dan mengatakan jika Damian melakukan penipuan dengan menyembunyikan identitasnya.”
“Pergilah aku tidak mau mendengar apapun darimu.”
Rama membalikan badan dan melangkah pergi.
“Tunggu! Perceraian ini tidak ada pengaruhnya dengan Damian, dia seorang lelaki. Kau tahu mentalnya lebih tangguh. Putrimu jatuh pinsan dan kami membawanya ke rumah sakit, istrimu seperti orang kerasukan melarang Damian ikut menunggu. Rama, kau tahu kan. Sebutan apa yang sesuai untuk wanita yang ngotot bercerai dalam keadaan hamil. Orang-orang akan berasumsi jika anak yang ada dalam kandungan Amanda adalah anak dari lelaki lain. Putrimu akan di cap sebagai wanita yang tidak benar."
Rama menatapnya beringas.
“Apa kau sudah selesai! Pergi sebelum aku menghajarmu!”
Grandi melihat jelas kemarahan besannya.
“Ini hanyalah peringatan dariku, Rama. Sebagai kepala keluarga kau harusnya bisa mengendalikan keluargamu. Terutama istrimu itu.”
Grandi pergi, dia puas menyampaikan apa yang harus di dengar oleh Rama.
“Sialan! Beraninya dia.” Rama merogoh kantong celana dan mencari ponselnya, dengan cepat dia menghubungi istrinya yang nekat ke pengadilan sendirian.
Telepon tersambung, nyonya Soya mengankat panggilannya di ujung sana.
“Halo.”
“Dimana kau? Dimana Amanda?”
Hening, nyonya Soya terdiam mendengar nada suara suaminya yang tidak biasa.
“Kami akan segera kembali, kau tahu kan. Kami akan menemui calon suami Amanda setelah ini.”
Rama sangat kesal, Soya tak pernah berubah.
“Katakan, rumah sakit mana yang kau tempati? Berhenti berbohong atau aku akan menggila!” teriaknya kesal.
Nyonya Soya terpaku mendengar kemarahan suaminya.
“A-aku akan mengirimkan alamatnya.”
Panggilan pun terputus, Rama berusaha mengatur napasnya. Dia di kuasai emosi karena penghinaan Grandi. Dua menit kemudian, pesan masuk datang dari nyonya Soya. Rama pun bergegas untuk menyusul ke tempat mereka.
“Buka pagarnya,” ucap Rama dan masuk ke dalam mobil. Security yang bertugas segera melaksanakan perintah. Rama meninggalkan kediamannya dan menyetir dengan cepat.
20 menit kemudian, Rama tiba di rumah sakit. Lelaki itu segera masuk dan menuju ke ruang rawat putrinya. Tanpa mengetuk pintu, Rama masuk dan mendapati Soya yang asik memainkan ponselnya di sofa.
“Bagaimana keadaan Amanda? Bagaimana bisa anak kita masuk ke rumah sakit tapi kau tidak mengabariku.”
Nyonya Soya menatapnya santai.
“Pa, nggak usah lebay deh. Manda baik-baik aja kok, dia hanya kelelahan.” Nyonya Soya mencoba menutupi keadaan.
“Lalu kenapa dia sampai di infus seperti ini?”
Soya hanya meliriknya, dia fokus dengan ponselnya dan mengabaikan Rama yang begitu khawatir.
“Sayang, Papa di sini,” ucapnya memegang tangan Amanda.
Rama terenyuh melihat wajah pucat putrinya.
“Bagaimana dengan bayinya, apa semuanya baik-baik saja?”
Nyonya Soya tersentak, dia terkejut karena Rama mengetahui banyak hal.
“Kenapa kau diam? Bagaimana dengan kandungannya?”
“Darimana kamu tahu, Pa. Mama belum mengatakannya padamu.”
“Bukan belum, kau memang tidak ingin mengatakannya padaku. Dengar, tidak ada perceraian yang akan terjadi antara Damian dan Amanda. Mereka akan tetap bersama.”
Nyonya Soya bangkit dan tak terima.
“Jangan ikut campur, kau tidak tahu apa-apa. Tidak ada yang berubah meski dia hamil. Kalau perlu, Manda akan menggugurkan kandungannya.”
Plak.
Rama menampar istrinya untuk pertama kalinya dalam pernikahan mereka. Wanita itu memegang pipinya yang memerah, tatapannya lurus dan begitu terluka. Dia tak percaya suaminya yang penurut bisa melakukan ini.
“Apa kau tidak malu! Kenapa kau melimpahkan bebanmu pada Amanda. Kau ingin membunuh darah dagingmu sendiri. Dimana hati nuranimu?”
“Haha haha ha,” Soya tertawa sumbang.
“Hati nurani, jangan sok bijak. Apa yang bisa kau berikan pada kami, jika anak itu lahir apa kau bisa membiyainya? Makan saja kau masih bergantung padaku, Pa. Keputusanku tidak berubah, Amanda tetap akan menikah dengan lelaki pilihan mama. Bukan bertahan dengan menantu tak tahu diri itu.”
Amanda menangis mendengarnya, ya, wanita itu telah sadar dari tadi dan sangat bahagia mengetahui dirinya sedang hamil anak Damian. Namun, Amanda takut untuk membuka mata. Takut di paksa menemui lelaki asing yang tidak di kenalnya.
"Aku mohon padamu, berhenti lah. Jangan menghancurkan kehidupan anak kita. Soal uang yang kau butuhkan, kita bisa menjual rumah, mobil dan semuanya. Kita akan tinggal bersama Amanda dan suaminya. Kita sudah tua, jangan mencari masalah seperti ini."
"Tidak! Aku tidak akan melakukan hal seperti itu. Kita menyekolahkan Amanda tinggi-tinggi demi sebuah pencapaian. Mama telah memperingatkannya untuk memilih pasangan sesuai dengan keinginan mama. Ini adalah hukuman untuknya, dia telah berbohong dan Damian bukanlah menantu pilihan mama."