Damian dan Amanda bersama-sama memasuki kantor pengadilan, Tomi tak kuasa menatap kedatangan mereka. Lelaki itu memilih tertunduk saat Amanda dan Damian melewatinya.
“Persidangan akan dimulai, silahkan duduk di tempat masing-masing.”
Damian sangat perhatian, lelaki itu membantu istrinya duduk tepat di sampingnya. Lagi, semua orang menatap ke arah mereka. Semuanya masih terlihat harmonis.
Soya geram, takut putrinya akan goyah dengan janji yang di buatnya.
Damian menggenggam tangan Amanda, lelaki itu menatap penuh cinta. Berbeda dari biasanya, kali ini Damian merasakan sesuatu yang beda, Amanda sangat gugup. Tangannya gemetar hebat.
“Tenanglah, semuanya akan baik-baik saja,” bisiknya. Sang istri mengangguk pelan.
“Saudara Amanda, apa benar anda sedang hamil saat ini?” tanya yang mulia ketua hakim.
Hingga saat ini, Grandi tak berhasil mendapatkan pengacara. Putranya terpaksa berjuang sendirian. Hakim yang iba, menanyakan sesuatu yang membuat Soya menggigil.
“Benar, aku sedang hamil buah cinta kami.”
Damian sangat bahagia karena Amanda berani untuk mengakui.
“Lalu, mengapa anda mengajukan gugatan cerai? Apa benar, keluarga anda menjadi dalang atas retaknya hubungan suami istri ini?”
“Yang mulia!” Doni sebagai pengacara dari pihak Amanda, memperingatkan hakim agar tidak keterlaluan.
“Ada apa? Apa seorang hakim tak bisa bertanya secara langsung?”
Doni mengeleng, tidak ada yang bisa menentang seorang hakim.
“Katakan, dari pertama anda mengajukan permohonan ini, dan pertemuan kalian hingga saat ini. Saya tidak melihat sedikitpun kebencian diantara kalian. Sebaliknya, saya melihat cinta yang begitu tulus.”
Soya memperbaiki posisi duduknya, wanita itu semakin gelisah. Dia sampai mengkode Doni agar membacakan kejelekan-kejelekan Damian.
“Yang Mulia, saudara Damian telah melakukan kecurangan. Dia telah menipu orangtua ….”
Hakim mengankat tangan kanan untuk menghentikan pengacara itu.
“Berapa banyak kerugian yang di sebabkan suaminya? Jika mereka saling mencintai bukankah sebagai orangtua harusnya mendukung kebahagian putrinya? Nyonya Amanda Damian Atmaja, kini sedang mengandung buah cinta mereka, apa perceraian ini akan tetap di lanjutkan?”
“Yang mulia.”
“Tahan, saya hanya ingin mendengar penjelasan dari pasangan suami istri ini. Anda diamlah di sana.”
Soya tak dapat menahan diri. Wanita itu bangkit, Rama yang melihatnya segera menarik kasar sang istri hingga terduduk di kursinya.
“Ma, hargai keputusan Amanda. Bukankah dia telah berjanji padamu, tolong jangan memperkeruh suasana.”
“Aku tahu apa yang harus aku lakukan!”
“Kumohon hentikan atau aku juga akan bersaksi,” ancam Rama.
Soya menatapnya kesal, dengan terpaksa. Wanita itu menahan diri untuk tidak menyahut.
Orangtua Damian sangat senang, akhirnya waktu berpihak pada putra mereka. Genggaman tangan Damian semakin erat, hanya satu kalimat tak ingin berpisah dari mulut Amanda akan menyelamatkan pernikahan mereka.
“Saya, saya … .” Keringat dingin membasahi telapak tangan wanita itu.
“Katakan saja, tidak ada satu pun orang yang akan memaksa anda. Pengadilan akan melindungi anda ke depannya.”
Soya gemetar mendengar ucapan ketua hakim.
“Sayang, katakan jika kita saling mencintai,” ucap Damian antusias.
Amanda melepas genggaman tangan suaminya, Damian mengerutkan kening. Tampak rasa bersalah di mata belahan jiwanya itu.
“Pak Hakim, keputusan untuk bercerai sudah saya pikirkan jauh-jauh hari. Saya tetap ingin mengakhiri pernikahan ini meski saya dalam kondisi sedang mengandung.” Bergetar hebat wanita itu mengucapkannya.
Tertampar oleh keadaan, Damian dan keluarganya terkejut mendengar pengakuan Amanda.
“Sayang, ini bukan dirimu. Gugatan itu datang dari keluargamu, bukan kamu.”
Hakim dan semua orang terkejut mendengar pengakuan Amanda.
“Tidak, Damian. Gugatan itu murni datang dariku, tolong lepaskan aku. Aku ingin bahagia.”
Hancur, hati Damian porak poranda mendengar ucapan sang istri. Sementara di lain pihak, Nyonya Soya begitu bahagia.
“Pak Hakim, ini tidak benar. Apa ini pengaruh stress? Amanda tolong pikirkan lagi. Kita saling mencintai dan tak ingin berpisah. Kita sudah sepakat untuk saling berjuang, lalu kenapa kau berubah pikiran?”
Amanda menahan airmata yang menyeruak.
“Kau salah, Damian. Aku sungguh tak tahan hidup denganmu. Aku seorang perempuan yang lahir dalam kecukupan, bersamamu membuatku tercekik, aku tak bisa menikmati hidup, tak bisa belanja sesuka hatiku. Aku benar-benar sudah tak tahan lagi.”
Telak, Damian tertunduk dalam mendengar keluhan dari wanita yang dicintainya itu. Bu Restanti berdiri di antara para hadirin.
“Amanda, apa ini? Jangan sampai kau menyesal, Nak.”
“Tutup mulutmu! Putriku tidak akan menyesal, putramu hanya bisa membuatnya menderita, bukankah pengakuan Amanda sudah cukup!” seru Soya.
Palu di ketuk untuk menenangkan keduanya.
Tuk, tuk, tuk.
“Harap tenang semuanya, saudari Amanda Savitri. Saya tanya sekali lagi, apa benar anda memutuskan untuk berpisah?”
Manda gemetar, Damian melihat itu.
“Ada apa? Apa ada yang tidak kau bicarakan padaku?” tanya Damian.
Manda mengabaikan suaminya dan sekali lagi menegaskan keinginannya untuk berpisah.
“Ya, tolong kabulkan keinginan saya, Pak Hakim.”
Damian terpejam, lelaki itu sangat kecewa.
“Baiklah, dengan ini pengadilan memutuskan. Nyonya Amanda Savitri dan Tuan Damian Atmaja resmi berpisah.” Tuk tuk tuk!
Tangis Bu Restanti jatuh berlinang. Tomi yang ada di sampingnya, memandang Amanda yang mematung di depan sana.
Waktu seolah berhenti bagi Damian, harapan mempertahankan Amanda di sisinya berakhir sudah. Masih dengan mata yang terpejam, Damian mendengar jelas bagaimana ibu mertuanya sangat bahagia. Wanita itu menghampiri Amanda dan membawanya pergi.
“Keputusan kamu sudah benar, tidak ada yang perlu kamu sesali.”
Hakim kembali membacakan keputusan-keputusan lainnya, Damian tak menghiraukan apapun lagi selain sakit yang begitu menghujam jantungnya.
Amanda berbalik untuk terakhir kalinya, melihat Damian tak bergerak membuatnya takut.
“Dam.”
Hakim dan yang lainnya kembali memperhatikan Amanda.
“Damian!”
“Hentikan, jangan buat mama semakin nekat. Pikirkan keselamatan bayimu!” tekan Nyonya Soya yang mampu di dengar jelas oleh Damian.
Lelaki itu membuka mata dan mendongak melihat wajah Amanda. Sadar akan situasi bahwa istrinya yang kini telah resmi menjadi seorang janda, berada di bawah tekanan.
“Dengan ini, sidang di tutup!”
Damian terpaku di tempatnya, keluarga Amanda segera membawa putri mereka keluar dari sana.
“Apapun yang akan aku katakan di dalam sana. Tolong jangan membantahnya, kau paham. Aku dan anak kita, aku yakin akan bersama.” Kata-kata Amanda saat di taman tadi kembali tergiang.
“Jadi ini maksudnya. Kenapa kau melakukan ini? Kenapa kau berkorban sendirian?” Damian frustasi.
Satu per satu hadirin meninggalkan ruangan, Bu Restanti tak kuasa menahan airmatanya. Grandi terus menenangkannya.
“Bu, sudahlah. Kau membuat Damian semakin hancur.”
Kedua orangtuanya berjalan mendekati Damian.
“Dam, sabar Nak,” sang ibunda menangis dalam pelukannya.
“Maafkan ayah, Dam. Semua ini salah ayah, Ayah harusnya mencari pengacara yang hebat.”
Damian menggeleng, tangannya terulur memeluk lelaki itu.
“Tidak, semua ini bukan salah ayah. Bukan salah ibu. Perjuanganku telah maksimal, Yah. Seperti kataku takdir tidak mengizinkan kami bersama.”
Tomi mendekatinya. Damian tersenyum samar ke arah atasannya itu.
“Aku yakin kau kuat, kau bisa melanjutkan hidupmu, Dam. Buktikan pada mereka jika kau mampu untuk sukses.”
“Ya, Pak Bos benar. Ayah ibu, kalian pulanglah duluan. Aku ingin ke suatu tempat.”
Kedua orangtua Damian sangat khawatir saat ini.
“Nak, sebaiknya kita semua pulang ke rumah sekarang. Tidak baik jika kau berkeliaran di luar.”
Damian ingin menenangkan diri, dia butuh ruang untuk menyendiri.
“Tidak apa-apa, Om, Tan. Biar saya yang menemaninya, Om dan Tante tidak perlu khawatir,”
Damian akan protes, tetapi Tomi menepuk bahunya.
“Aku juga ingin bicara hal yang serius padamu.”
Grandi mempercayai Tomi, dan akhirnya dia setuju dan mengizinkan Damian pergi.