Part 9 : Bertemu dengan Neta Versi Lain

1479 Kata
Seperti apa yang telah diberitakan semesta, perihal hukum karma yang kini telah bekerja. Bahwasanya ini realita bukan sekedar mimpi belaka. Sosok jelita yang kini terduduk membatu menghembuskan napasnya teratur lantas memejamkan mata. Asanya dipatahkan begitu saja oleh waktu yang mana ketika terjaga masih dalam sepotong raga berparas ayu, padahal ia sangat berharap terbangun dalam raga aslinya. “Jes, lo mikirin apa, sih? Dari tadi diem aja!” tanya Nabila yang heran melihat sepupunya yang sejak tadi bungkam. Padahal Jessica ini termasuk orang yang bawel jika bersama orang yang dekat dengannya. Jessica melirik sekilas ke arah sepupunya yang kini tengah mengemudikan kendaraan yang kini membawa mereka ke suatu tempat yang belum ia ketahui. “Bil, sebenarnya kita mau ke mana, sih?” tanyanya mengacuhkan pertanyaan Nabila beberapa detik yang lalu. Moodnya sedang tidak baik-baik saja. Apalagi setelah mimpi anehnya bertemu dengan kakek itu. “Ya ke perusahaan 'lah," jawab Nabila dengan santai, karena ia mengira Jessica masih mengingat jadwal kegiatannya. Nabila ini satu profesi dengan Jessica. Mereka sama-sama seorang pramugari di maskapai penerbangan Tiger Air. Jessica mengerutkan keningnya. "Ngapain, gue 'kan masih cuti?" "Gimana sih, lo, hari ini 'kan perusahaan mau ngadain pemotretan buat iklan maskapai," kata Nabila. "Oh, terus gue ikutan?" Pertanyaan yang dilontarkan oleh Jessica hampir saja membuat kendali mobil Nabila terlepas. Astaga, hampir saja Nabila mengumpat jika tidak ingat sepupunya itu sedang sakit. Semenjak sakit menurutnya Jessica tambah menyebalkan. "Ya ikutan 'lah, lo 'kan salah satu ambassador Tiger Air," balas Nabila sedikit sewot. "Kalau gue enggak mau gimana, Bil?" tanya Jessica. "Jangan ngadi-ngadi! Lo mau pak Hendrik marah! Apalagi kita baru aja ganti CEO dan katanya CEO ini lebih ketat dibandingin pak Putu!" sewot Nabila. Mendengar itu Jessica hanya bisa menghela napasnya. Sepertinya hari ini akan menjadi hari paling melelahkan baginya. Padahal hari ini ia ingin beristirahat di kamarnya, merenungi nasibnya yang luntang-lantung di tubuh seorang wanita. "Udahlah, jangan cemberut gitu. Kerjanya juga enggak bakal berat, cuman pemotretan sama bikin video aja," ujar Nabila. "Iya-iya," balas Jessica dengan malas. Netranya kembali ia alihkan ke luar kaca mobil. Sudahlah, Jessica hanya bisa pasrah saja. Menolak pun tidak mungkin lantaran ia tidak mungkin mengabaikan kewajiban dan tanggung jawab pemilik raga asli ini. Ia tidak mungkin membuat nama baik Jessica buruk di mata orang lain. *** “Enggak bisa, nanti malam lo ada jadwal flight!" Sedang yang diajak bicara dengan santai mendaratkan b****g di salah satu kursi depan meja rias. Tak lama lampu-lampu besar yang tersusun dipinggiran kaca tersebut menyala, disusul seorang make up artist yang sudah mulai membuka kotak peralatan riasnya. “Atur aja lah, Rin,” seloroh Fika, gadis pemilik wajah oval sempurna itu. Arina nampak menghela napasnya berat. Ia mencoba menekan emosinya demi kelangsungan pekerjaannya. Wanita di hadapannya ini adalah salah satu anak petinggi maskapai tempatnya mengais rezeki. Kalau bukan karena tuntutan membiayai adiknya sekolah mungkin ia akan segera mengundurkan diri saat itu juga dari pekerjaannya, karena terkadang tak tahan menghadapi sikap bossy Fika. “Sabar,” bisik wanita lainnya yang berdiri di samping Arina. Arina tersenyum paksa. Ya, setidaknya kata itu yang harus ia stok banyak dalam dirinya. Sementara itu Fika tengah sibuk berkutat dengan ponsel di tangannya. Dilihat dari gelagatnya, sepertinya gadis itu tengah bertukar kabar dengan sang kekasih tercinta di ujung sana. “Tapi bukannya hari ini Captain Deon juga ada jadwal flight, ya?” Arina masih berusaha untuk membujuk Fika agar tak memintanya bertukar jadwal flight. Malam ini ia ingin menghabiskan waktu bersama keluarganya, apalagi tadi pagi ia baru saja sampai di Indonesia setelah melakukan tugasnya sebagai flight attendant. Gerakan tangan Fika di layar ponsel miliknya pun terhenti. Ia mendongakkan kepalanya hingga tatapannya bertemu dengan Arina, satu-satunya yang mau berteman dengannya. “Serius lo? Bukannya hari ini dia libur, ya?" seru Fika. "Seri--" Belum sempat Arina menyelesaikan perkataannya, suara derit pintu menginterupsi diantara mereka. Arina yang masih berdiri di dekat Fika dan Natasha yang duduk sedikit di depan Fika. “Itu suara pintu berisik bener, deh! Enggak ada inisiatif buat diganti yang baru apa gimana?” gerutu Fika pasalnya pintu ruang yang sedang mereka tempati itu memang sudah lama dan setiap kali dibuka selalu berbunyi seperti itu. Engselnya saja sudah agak karatan. “Perusahaan gede benerin satu pintu aja nggak mampu!” lanjut Fika. Arina dan Natasha hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar keluhan Fika. Kali ini mereka berdua setuju dengan Fika. Sedangkan manusia yang baru masuk dan bergabung bersama mereka hanya bisa mematung menatap salah seorang wanita di antara ketiga wanita itu. Ada rasa senang dan sedih yang bersarang di dalam hatinya. “Neta ...," lirih Jessica. "Duduk, Jes,” ucap Nabila menarik tangan sang sepupu agar melakukan hal yang sama dengannya. Ya, Jessica. Gadis yang kini tampak pucat memandang sosok mungil yang kini tengah sibuk berbincang dengan kedua gadis lainnya. Jessica seratus persen yakin bahwa gadis itu Neta. Perlahan Jessica daratkan b****g di sofa dengan sepasang netra yang belum bisa beralih objek fokus selain pada yang di sana. “Nah, udah! Cantik!” Fika menatap pantulan dirinya dan mengacungkan jempolnya pada Natasha. Fika selalu puas dengan hasil karya Natasha pada wajahnya plusnya Natasha juga sabar. Bagaimanapun sikapnya, gadis itu selalu telaten menghadapinya. “Lagian gue nggak dandan juga tetep cantik!” ujar Fika dengan pedenya. “Ya, kamu yang paling cantik!” puji Natasha yang mampu mengukir senyum pada wajah judes Fika. Memang menghadapi Fika ini harus benar-benar ekstra sabar, seperti halnya Natasha dan Arina saat ini. “Ya udah yuk,” ajak Arina mengambil tote bag milik Fika yang diletakkan di atas meja. Natasha tersenyum menatap keduanya yang bergerak mencipta jarak. Lantas netra indahnya bergulir ke arah dua sosok gadis yang tengah duduk di sofa sudut ruangan. Detik selanjutnya pandangan itu terkunci. Dua pasang manik sewarna tanah liat itu saling bertemu. Dan sedetik kemudian mereka saling melempar senyum. "Mbak Jessi!" Natasha melangkahkan kakinya, mendekati Jessica dan Nabila yang baru saja datang. Gadis itu menebar senyum ramah yang dapat membuat hati Jessica bergetar tak karuan. Sudah lama ia tidak melihat senyum manis itu, terakhir kali ia melihat pada saat hari terakhir mereka bertemu dan kejadian yang dapat mengantarkannya dalam keadaan saat ini. Mengira tak akan bertemu, malah semesta membuat keduanya dalam satu ruangan dan pada akhirnya duduk berhadapan dengan jarak yang dekat. "Eh, Jes, Sha, gue keluar dulu, ya. Mas Juna nungguin di lobby," ucap Nabila yang baru saja mendapatkan pesan dari kekasihnya yang sudah menunggunya di lobby perusahaan. Sudah bukan menjadi rahasia umum lagi Nabila dan Juna memiliki hubungan special. Bahkan banyak yang mendoakan mereka segera bersatu dalam sebuah ikatan pernikahan. Sepeninggal Nabila, Natasha pun duduk di tempat yang Nabila duduki tadi. Gadis itu menatap Jessica dengan kening berkerut. “Muka Mbak pucat banget, Mbak masih sakit, ya?" tanya Natasha. Dilihat dari raut wajahnya, terlihat kentara sekali jika saat ini gadis itu sedang mengkhawatirkan keadaan Jessica. Jangankan untuk mengolah kata, untuk buka suara pun rasanya Jessica tak ada daya. Masih belum percaya bahwa di hadapannya ini adalah Neta. "Neta," ucap Jessica tanpa sadar. Tatapannya masih terfokus pada Natasha. Natasha mengerutkan keningnya. "Neta?" Sadar apa yang barusan di katakannya, Jessica pun langsung meralat perkataannya. "Neta siapa, Mbak Jes?" tanya Natasha. Jessica gelagapan mendapat pertanyaan seperti itu dari Natasha. Ia lupa jika kehidupan Devan dan Jessica berbeda. Walaupun wajah mereka mirip, pasti sosok gadis cantik yang berada di hadapannya itu bukanlah sosok Neta yang ia kenal. "Eh, maaf, wajah kamu ngingetin aku sama seseorang, namanya Neta. Wajah kalian mirip banget," alibi Jessica. Natasha tersenyum mendengar ucapan seniornya. Ia sama sekali tak tersinggung karena memang banyak sekali orang yang mengatakan wajahnya mirip dengan seseorang. Sementara itu Jessica melirik ke arah name tag yang dipakai oleh gadis yang memiliki garis wajah sama dengan Neta. Ia mengeja nama gadis itu tanpa suara. "Tuh 'kan, dunia gue sama Jessica lagi-lagi berbeda. Ini bukan Neta, tapi Natasha. Entahlah sikap mereka bakal mirip atau enggaknya," batin Jessica. "Udah lama, ya, kita enggak ketemu. Gimana kabar Mbak?" tanya Natasha. "Alhamdulillah, baik." "Maaf ya, Mbak, kemarin-kemarin aku enggak bisa jenguk, Mbak. Kemarin-kemarin jadwal flight aku padat banget sampai enggak ada waktu luang buat berpergian," ucap Natasha. Jujur ia merasa tak enak kepada Jessica lantaran ia tidak sempat menjenguk seniornya di maskapai Tiger Air ini. "Enggak apa-apa, santai aja. Aku ngerti kok," balas Jessica. Hati Jessica berdebar berdekatan dengan gadis itu. Rasa yang pernah ia rasakan sebelumnya saat pertama kali bertemu dengan Neta kembali terulang. "Oh iya, Mbak enggak ganti baju? Sebentar lagi waktu pemotretan loh," tanya Natasha. Jessica kembali tersadar dari lamunannya setelah mendengar perkataan Natasha. Buru-buru gadis itu beranjak dari sofa dan meraih paper bag yang di dalamnya berisi seragam kerjanya yang ia bawa dari rumah. "Emm, Nat, aku ke toilet dulu, ya," pamit Jessica yang dibalas anggukan kepala oleh Natasha. Sembari tungkainya melangkah menuju toilet, Jessica mencoba mengontrol detak jantungnya yang berdetak sangat kencang. Hatinya kembali merasakan berbunga-bunga saat berdekatan dengan Neta atau Natasha di dunia nyata ini. Apakah ini pertanda jika sebenarnya perasaannya kepada Neta masih ada?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN