Pak RT mengabarkan jika pengurusan surat surat sudah selesai dan sudah bisa membawa mas Prabowo pulang.
Saat mas Prabowo dikeluarkan dari kamar jenazah hati ku sempat sedikit goyah lagi namun aku harus kuat agar bisa membawanya pulang.
"Ayo kita pulang mas, aku akan memandikan mu seperti keinginan terakhirmu."
===
Akhirnya kami tiba di kampung menjelang magrib, semua tetangga sudah berkumpul dirumah. tenda sudah berdiri dan kursi kursi untuk pentakziah sudah tertata rapi ditempatnya. berkarung karung beras sudah bersandar di teras rumah dari para pentakziah. pemandian juga sudah terpasang.
Kami turun dan di sambut bapak bapak yang langsung membantu pak RT menurunkan mas Prabowo dari mobil. dan langsung memasukkan ke pemandian terakhirnya.
"Mariah, silakan mandikan suamimu seperti keinginannya." Pak RT membantuku untuk masuk dan memandikan.
Kulihat tubuhnya ada luka di kepalanya, mungkin ini yang membuatnya pergi dari ku. kusentuh pelan wajahnya yang luka. "Apa sakit sayang!" ucap ku pelan.
Ku mandikan seluruh tubuhnya hingga bersih dan pak RT dan bapak bapak segera mengambil alih.
Aku menerima pentakziah yang datang silih berganti untuk mendoakan kepergia mas Prabowo.
"Yang sabar ya Mariah!" bu salamah datang bersama ibu ibu yang biasa duduk di warungnya.
"Terimakasih bu!"
"Kamipun berpelukan, bu Salamah juga kehilangan suaminya. Mungkin dia faham apa yang kurasa!"
Setelah mengantar mas Prabowo ke peristirahatan yang terakhir dan para pelayat sudah pulang semua, kini tinggalah aku sendiri kembali di rumah ini. Rumah yang penuh kenangan, rumah dimana dulu aku dibesarkan kemudian di tinggalkan dan sekarang bersama suami juga begitu.
Aku memindai isi rumah yang aku dengan mas Prabowo lengkapi. Rumah ini hanya rumah sederhana seperti yang lainnya namun di percantik oleh furnitur furnitur pilihan mas Prabowo yang cantik yang biasanya dibeli langsung dari kota jadi dari rumah tetangga furnitur ku yang kelihatan beda. Meski hanya sebulan menikah dengannya kami sudah mengumpulkan banyak furnitur melengkapi furnitur yang lama.
Kembali menetes air mata ini tatkala melihat gelang emas yang baru diberikan oleh mas Prabowo semalam. Baru semalam kami memadu kasih di kamar dan juga baru semalam kami berbincang bincang.
"Astaqfirullah...Astaqfirullah."
Keluarga mas Prabowo belum ada yang datang karena dari kota yang jauh sedangkan orang tuanya sudah tidak ada seperti ku.
Aku hendak pergi untuk merebahkan diri tapi terdengar pintu depan di ketuk..
Tok...Tok...Tok..
"Mbk Mariah...Mbk..."
Aku segera mumbuka pintu dari dalam,
"Silakan duduk," Aku menunjuk kursi yang ada didepan teras rumah.
"Siapa ya!"
"Mbk Mariah, saya rekan kerja dari mas Prabowo ingin memberikan ini dari kantor." Dia menyerahkan sebuah amplop tebal, yang ku kira pasti berisi uang.
"Kami mohon maaf atas kelalaian rekan kerja kami yang lainnya." Lelaki itu tertunduk lesu tak melanjutkan kalimatnya yang lainnya.
Lelaki berpakaian proyek datang dan menyerahkan amplop tebal, air mata ini kembali menetes saat dia kembali menceritakan kejadian naas itu.
"Apa yang menabrak mobil mas Prabowo dikepolisikan pak?"
"Iya bu, karena kelalaian dia tidak mengecek mobil sebelum mengiperasikannya."
"Apa dia juga ada keluarga, anak serta istri?"
"iya bu!"
"Aku sebagai istrinya korban bisakah memberikan pernyataan untuk membebaskan dia!"
"K-kenapa bu? bukannya harusnya bu Mariah marah dengan penabrak suami anda!"
"Jelas aku sangat marah karena kehilangan suami dan pelindungku, namun aku yakin dia tidak sengaja lalai. Dan ada anak serta istri yang dia hidupi jika dia dipenjara bagaimana nasib mereka. pasti nasibnya akan seperti aku." Aku berbicara dengan pelan dan lemah karena sedih hati ini sulit ku luapkan sampai tuntas.
Pria disampingku ini menunduk lesu kembali, "Iya bu anda benar, dia juga masih memiliki bayi yang perlu di nafkahi."
Aku memejamkan mata, merasa tak tega jika keluarganya kehilangan sosok pencari nafkah untuk mereka.
"Ibu bisa menulis pernyataan jika ingin membebaskan si pelaku bu,"
Aku segera mengambil kertas dan bulpen untuk menulis surat pernyataan sederhana, menempelkan materai sepuluh ribu dan menandatanganinya.
"Semoga bisa membantu pak!" Aku menyerahkan kertas itu berharap bisa sedikit membantu.
"Kalau begitu saya pamit bu, dan mohon maaf juga terimakasih." Lelaki itu lalu pergi dengan mengendarai sepeda motornya dengan membawa kertas yang ku berikan.
Masuk rumah, ku kunci pintu sesuai pesan mas Prabowo jika berada di luar kota dan masuk ke kamar untuk merebahkan diri.
Aku kembali menangis tergugu di malam yang sangat sunyi, sampai tak tau kapan aku sudah tertidur.
Hari sudah berganti, tidak terasa sudah dua bulan mas Prabowo meninggalkan ku. Keluarganya juga sudah datang ke esokan harinya dan menyempatkan mengunjungi makamnya. Mereka hanya menangis seperti aku yang kehilangan pegangan hidup.
Kulihat uang santunan yang diberikan kanto sudah hampir menipis, beras yang dari para pelayat kujual di warung bu Salamah karena takut berkutu jika kelamaan dan kubelikan beras yang baru dan ku buat sehari hari. Aku mencoba berjualan gorengan dan krupuk yang kutitipkan ke warung warung dan hasilnya lumayan untuk menyambung hidup.
Hari berganti hari waktu berganti tahun, Kesedihan atas kematian mas Prabowo semakin lama semakin mengikis dan tepat hari ini sudah setahun aku menjanda, status janda muda yang baru menikah dan cantik membuat kadang para lelaki menggoda saat mengantar gorengan ke warung kopi yang banyak lelaki. Sebenarnya aku malu namun perutku tak bisa malu. Jika aku malu berjualan bagaimana aku menghidupi diriku sendiri.
"La..la..la..laaaaa..Yen aku kangen, Kangen karo sliramu! Aku bernyanyi menghibur diri sendiri saat menggoreng gorengan maupun krupuk di dapur dengan pintu dapur pasti terbuka agar udara panas bisa keluar. Namun ternyata diam diam pak Dirman yanh seorang penabuh gendang di orkestra yang terkenal di kampung ku tak sengaja mendengar nyanyian ku saat lewat belakang rumah.
Pak Dirman memang rumahnya ada di belakang rumah ku. Rumahnya lebih bagus dari rumah yang ku tempati saat ini, jelasss karna dia kan jika tanggapan bisa sampai mana mana.
"Bagus juga suara mu Mariah,"
Aku terjingkat saat ada suara orang lain di dapurku, "Eh..Pak Dirman! Saya jadi malu, baru pulang tanggapan pak?" Ucap ku mengalihkan suasana.
"Iya Mariah, baru pulang ini mau istirahat sebentar nanti malam mau tanggapan lagi."
"Wah..lagi rame pa Dirman."
"Alhamdulillah, kamu mau ikut mencoba menyanyi kah Mariah. Ikut orkestraku."
"Haahh...mana bisa saya pak Dirman! Malu ih!" Ucap Maria tampak malu malu.
"Coba saja dulu latihan, nanti kalau sudah siap manggung baru naik! Pikirin yaa..lumayan Mariah, ini kesempatan yang tidak bisa terulang."
Pak Dirman kemudian pamitan puoang untuk istirahat dan aku malah melamun karena tawarannya.
"Ah malu lah..!" Ucapku kemudian melanjutkan menggoreng.
Saat mengantarkan gorengan ke warung bi Salamah ada ibu ibu yang bergerombol disana..Saat aku lewat tatapan mereka seakan akan ingin memakan ku. Loh kenapa mereka?
"Permisi bu, monggo gorengan sama kerupuknya!" Tawarku dengan menaruh gorengan di tempat biasanya.
"Heeh..Mariah, kamu gak kepingin kah untuk kawin aja dari pada capek capek bikin gorengan di titipin ke warung warung trus jadi perhatian laki laki gak malu ta!"
Deg
"Kenapa dengan mereka." Batin ku..
"Iya, suami ku jadi terus banding bandingin aku sama Mariah. Katanya aku gak bisa merawat diri." Lanjut Mbk Ara yang sepertinua sedikit marah padaku.
"Iya ih, kayak ganggu aja. Memang ya janda muda itu rata rata...!" Omongannya tidak di lanjutkan hanya tangannya yang dia kibas kibaskan ke udara. Ya tuhan apa ini.
"Bu ibu jangan begitu lah, Mariah kan juga bukan inginnya sekarang menjanda." Bu Salamah nampak membela, mungkin dia sama posisinya seperti aku.
"Aah..bu Salamah ini soalnya gak merasakannya!" Ucap mbk Ani.
"Iya soalnya saya janda juga, sama seperti Mariah." Bu salamah menekan kata janda untuk membungkam mulut mereka.
"Bu Salamah ya beda sama Mariah lah, jangan disamain!" lanjut mbk Ara.
"Sudah sudah belanja saja gak usah bergosip yang bukan bukan!" Busalamah kembali membelaku.
"Saya permisi dulu bu!" Aku langsung berjalan cepat untuk pulang, malu dan marah di fitnah seperti itu.
"Kenapa dengan janda kenapa? Aku juga gak mau jadi janda!" Mariah berteriak di kamarnya dan menangis meratapi nasibnya yang buruk.
"Jangan permainkan nasibku Ya Allah! bagaimana saya berjualan jika mata mereka selalu menganggap aku buruk."
Sore ini waktunya mengambili hasil jualan dan di tukarkan dengan belanjaan.
"Bu Salamah, bagaimana gorengan saya masuh ada!" Saat ku tengok meja yang biasanya, betapa kagetnya..
"Maafkan saya Mariah, Tidak ada ibu ibu yang membeli gorengan mu, mereka enggan membeli mungkin karena sakit hati sepertinya..!"
"Astaqfirullahaladzin," Aku mengambil sisa gorengan yang tak laku dan membawanya pulang. Biarlah hari ini aku akan makan gorengan saja.