Pagi Merona

807 Kata
Matahari perlahan menampakkan dirinya, cahayanya terpancar menyelinap masuk ke dalam celah tirai yang membuat seorang gadis terusik dengan sinarnya. Mira menggeliatkan tubuhnya malas, kemudian tertidur kembali. Tapi suara cuitan burung seperti alarm alami baginya. Gadis itu membuka matanya perlahan, menyesuaikan pencahayaan yang masuk menghunus matanya. Ia tersenyum pada mentari pagi yang bersinar cerah. Gadis itu bergerak ingin turun dari tempat tidur, tapi kemudian ia merasakan ada sesuatu yang menimpa perutnya. Dengan satu kali gerakan, Mira membuka selimut itu, terlihatlah sebuah tangan kekar yang melingkar sempurna di perutnya. Gadis itu menoleh ke samping, ia terbelalak saat melihat Kei tertidur pulas di sampingnya. Kami tidur bersama?! “Aaaaaaaaah!” Mira berteriak sangat kencang, bahkan burung-burung yang hinggap di jendela kamar itu pun kabur karena mendengar suara teriakkan nyaring gadis itu. “Apa yang kau lakukan?!” Kei terbangun dengan mata yang masih mengantuk, pria itu memandang Mira penuh tanya. “Kenapa kau tidur satu ranjang denganku?!” Mira kembali melontarkan pertanyaannya dengan raut panik. Bagaimana tidak panik, dia adalah seorang gadis yang selama ini berjuang menjaga kesucian dirinya. Ya, selama ini Mira berjuang keras menghindari pergaulan bebas dan tidak pernah se-intim ini dengan seorang laki-laki. Namun, sekarang pria itu dengan seenaknya menyentuh tubuhnya. Memeluk Mira layaknya sebuah guling kesayangan. “Ck, aku pikir terjadi sesuatu. Ternyata hanya karena itu,” ujar Kei, pria itu bangun dari posisi tidurnya, kemudian ia duduk, diikuti oleh Mira yang seketika ikut bergerak dari posisi tidurnya. Dan saat Kei tengah mengubah posisinya, selimut yang dikenakannya pun turun, hal itu membuat sesuatu yang seharusnya tidak Mira lihat pun terlihat dengan jelas. Penampakan kotak-kotak di perut Kei yang tercetak sempurna berhasil menciptakan semburat merah merona di wajah Mira. Tak ingin Kei mengetahui raut wajah meronanya itu, Mira dengan cepat mengalihkan pandangannya, ia malu sendiri melihatnya. Mira sungguh mengasihani mata polosnya yang kini telah ternoda. “Apa dia sudah gila?! Kenapa dia tidak memakai bajunya?” gumam Mira, meringis membayangkan perut menggiurkan milik Kei. “Apa dia juga tidak memakai celana? Ah tidak, jangan sampai dia tidak memakainya,” imbuh Mira, masih bergumam tanpa mau melihat ke arah Kei satu inci pun. Namun, sekalipun Mira berkata dengan nada yang sangat pelan. Kei yang memiliki pendengaran tajam tentu masih mampu mendengarnya dengan jelas. Terlihat pria itu tersenyum menyeringai menatap ke arah Mira yang masih tak ingin menatapnya apalagi berkontak mata dengannya. “Baiklah nanti malam aku tidak akan memakai celana juga, sesuai permintaanmu, Sayang,” lontar Kei dengan seringaian puasnya. Karena lagi-lagi dia berhasil menambah tingkat kegugupan Mira. Gadis itu benar-benar salah tingkah dibuatnya. Kei kemudian beranjak turun dari atas ranjang, dia berjalan ke arah walk in closet dan mengambil handuk mandinya. Lalu setelah itu, tanpa berkata-kata lagi Kei masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Melihat Kei yang lenyap dari jangkauan matanya, Mira pun akhirnya bisa bernapas lega. Tapi kemudian, tangan gadis itu bergerak memegang lehernya, ingatannya kembali terngiang tentang kejadian semalam. Mira ingat dengan jelas, semalam Kei menancapkan gigi taringnya ke leher gadis itu. Seketika Mira bergidik ngeri, dia tampak menggigit bibir bawahnya, takut jika hal yang lebih buruk dari itu akan segera menyapanya. Dua puluh menit berlalu. Pintu kamar mandi terbuka. Mira langsung menolehkan kepalanya. Terlihat di sana Kei keluar dari balik pintu itu hanya dengan mengenakan handuk sebatas pinggang hingga ke pahanya. “Apa kau suka dengan tubuhku? Kau bahkan melihatku tanpa berkedip,” lontar Kei dengan nada mengejeknya. Mira mendengus, perempuan itu enggan menjawabnya. Dia memilih diam dan kembali mengalihkan pandangannya. “Apa tubuhmu sudah terasa lebih baik?” tanya Kei yang masih sibuk memakai bajunya. “Hm,” jawab Mira seadanya. Namun, jika dipikirkan kembali, ia memang merasa tubuhnya terasa lebih baik dari sebelumnya, tulang-tulangnya seolah pulih sempurna dalam waktu satu malam. “Kau sembuh karena aku menggigitmu semalam,” jelas Kei. Mendengar perkataan pria itu, rasanya Mira ingin meledakkan tawanya. Tapi, dengan rasa takut yang hampir memudar, Mira berusaha keras menahan tawa itu. Bagaimanapun juga, Mira tetap khawatir jika Kei akan marah kalau sampai melihatnya menertawakan pria itu. Mira bahkan sampai berdehem kecil beberapa kali, ia berusaha menahan suara tawa yang hampir keluar dari bibir mungilnya. “Apa kau tidak percaya?” Kei bertanya dengan kerut berkening sembari menatap Mira yang masih berusaha menahan tawanya. Mira kembali berdehem untuk yang kesekian kalinya, dia berusaha menetralkan suaranya sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Kei, “Aku percaya,” bohongnya. Kei berdecih, dia tersenyum kecut. Kei tahu jika Mira tidak percaya dengannya. Tapi mau bagaimana lagi, kaum manusia memang sulit untuk percaya dengan hal-hal di dunia rubah ini. Pria itu kemudian menghela napas beratnya. Usai mengenakan pakaiannya. Kei melesat mendekati Mira. Pria itu kini berada tepat di hadapan Mira yang semakin beringsut mundur ke belakang hingga punggungnya menabrak kepala ranjang. “Bersiaplah, nanti malam adalah upacara pernikahan kita,” bisik Kei, tepat pada telinga kiri Mira. Setelah itu, Kei mengecup kilas leher Mira yang terlihat ada tanda berbentuk bulan sabit berwarna merah terukir di sana. Itu adalah bekas gigitan Kei semalam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN