Bullying

1012 Kata
Pandangan Nania sedikit buram ketika ia membuka matanya. "Lo gapapa?" Pertanyaan seseorang mengalihkan pandangannya. Ia menatap Narendra yang duduk di samping ranjang UKS yang ditempatinya. "Iya, kak," ucap Nania. Ia berusaha bangkit dari tidurnya, tapi segera dihentikan oleh Narendra. "Ga usah bangun dulu. Muka lo masih pucat," ucap Narendra ketika menghentikan pergerakan Nania. Gadis itu mengangguk menuruti. Tangannya meraba dahinya, menemukan sapu tangan disana. "Itu punya gue, simpen aja," ucap Narendra. "Lo tadi pingsan pas upacara. Jadi gue bawa kesini," lanjut Narendra. Nania melihat jam dinding. Sekarang sudah pukul sembilan. "Kakak kenapa disini?" tanya Nania penasaran karena keberadaan Narendra di sini bukannya mengikuti kegiatan pembelajaran di kelasnya. "Ah, gue... Kebetulan gue yang jaga UKS hari ini," balas Narendra. Nania mengangguk-anggukan kepalanya. Narendra mengambil sebotol minum yang baru tadi dibelinya. Ia memberikannya kepada Nania setelah membuka tutupnya. "Makasih, kak." Narendra tersenyum menanggapi. "Lo sakit? Wajah lo pucet banget tadi," ucap Narendra. "Aku gapapa kak, makasih sebelumnya," balas Nania. "Yakin? Atau mau pulang aja? Gue yang antar pulang," tanya Narendra lagi. Nania sekali lagi menggeleng menolak tawaran Narendra. Akhirnya Narendra kembali terdiam. Mereka terbawa kedalam keheningan selama beberapa saat. *** "Enak banget yang habis di gendong." Nania berhenti berjalan ketika mendengar ucapan Ica. Ia baru saja kembali dari Uks dan akan duduk dibangkunya. Nanua tak menggubris perkataan Ica. Ia kuni mengeluarkan buku dari tasnya. Wajahnya masih sedikit pucat. Badannya juga sedikit lemas. Ia tak mau pulang meski Narendra sudag membujuknya. "Di anterin ke kelas lagi," sekali lagi Ica berucap dengan nada sinisnya. Nania menghelas napasnya. Ia tak ingin menghiraukannya, tapi emosunya mulai naik ketika Ica kembali berkata, "Cih, murahan." Nania mengangkat kepala. Tatapannya bertemu dengan tatapan tajam Ica. "Bukan aku yang mau," Nania mengeluarkan suaranya. Ica mengangkat sebelah alisnya. "Alasan," ucapnya. "Ganjen banget jadi cewek, pura-pura sakit lagi," kini giliran Fayza yang bersuara. Ia ikut menatap Nania sinis. Nania memilih diam. Ia kembali menunduk, berusaha mengalihkan pandangannya dan lanjut membaca bukunya. Sepertinya keadaan mendukungnya kali ini. Tepat ketika Ica hendak menghampiri Nania, guru yang mengajar mata pelajaran selanjutnya sudah masuk. Tanpa sadar, Nania menghela napas lega karena itu. Setidaknya saat ini ia aman. *** Nania melangkahkan kakinya di lorong sekolah. Ia berhenti ketika melihat papan mading di sisinya. Pandanganya terjatuh pada sebuah poster lomba menulis disana. Ia terlihat tertarik dengan itu. Tiba-tiba sebuah tangan menariknya kencang. Membawanya masuk ke dalam gudang sekolah. Kegelapan menyelimuti ruangan tak berpenghuni itu. Debu menghalangi barang-barang sekolah disana. Nania menatap kedua orang yang membawanya masuk kedalam sana. Saat ini sudah pulang sekolah, ia kira ialah orang terakhir yang meninggalkan sekolah seperti biasa. Tetapi, kini Ica dan Fayza sedang berdiri dihadapannya dengan berkacak pinggang. Tatapan mereka terhadap Nania seperti biasa, memberikan tatapan kebencian. "Kenapa kalian bawa aku ke sini?" tanya Nania. Setelah memastikan keadaan aman dan pintu sudah terkunci, Ica dan Fayza saling bertatapan sebelum melangkahkan kakinya mendekati Nania. Mereka berdua meraih kedua lengan Nania dan mengikatnya kebelakang. "Kalian mau ngapain?" Nania berusaha memberontak. "Sstt." Fayza mengambil sebuah telur dari dalam tasnya. Tanpa pikir panjang ia memecahkannya di atas kepala Nania yang membuat gadis itu menutup matanya dan rambutnya terasa lengket. Lalu Ica menaburkan tepung ke tubuh Nania. Kini tampilannya sudah sangat kotor. "Kenapa kalian kayak gini ke aku?" tanya Nania, napasnya tercekat. "Makanya gausah deket-deket sama kak Narendra," ucap Fayza. Ica mencengkram dagu Nania erat yang membuat gadis itu meringis. "Ini baru permulaan," kata Ica tajam. Satu tamparan berhasil ia layangkan ke pipi Nania. Gadis itu kembali meringis. Pipinya terasa panas karena tamparan yang diberikan Ica. Ica mendorong Nania hingga terjatuh. "Yuk, balik. Tinggalin dia sendirian di sini," ucap Ica kepada Fayza. Mereka berdua pergi dari hadapan Nania. Setelah pintu kembali tertutup, Nania mulai meneteskan air matanya. Ia kembali menangisi dirinya yang terlihat mengenaskan. Tangannya masih terikat kebelakang. Beberapa saat hingga ia mulai merasa kembali tenang. Matanya masih sembab. Ia menatap kesekeliling. Ada sebuah pecahan kaca yang tak jauh dari sisinya. Ia berusaha menggapainya, lalu mencoba memotong tali yang mengikat tangannya. Berhasil, tangannya bebas. Ia berusaha bangkit dari sana, lalu keluar dari gudang itu. Beruntung mereka tak menguncinya. Ia berjalan lemas keluar sekolah. Ia tak ingin naik angkot, ia ingin berjalan kaki. Baju dan tubuhnya kotor karena telur dan tepung. Tapi Nania tak peduli. Ia terus melangkahkan kakinya tanpa sadar. Ia berjalan tanpa tujuan. Bukannya pulang ke kontrakan, kini dirinya malah bereda di pembatas jembatan. Nania terdiam disana. Angin berembus kencang. Langit sudah berubah menjadi gelap. Hanya ada dirinya disana, tak ada kendaraan atau siapa pun yang lewat. Gadis itu berdiri dengan tatapan kosong. Petir mulai terdengar dari atas. Perlahan, rintikan hujan mulai turun dati langit. Dari yang hanya gerimis mulai berubah menjadi deras. Tapi, Nania sama sekali tak memedulikan itu. Ia menbiarka dirinya basah tergutus hujan. Tepung yang tadinya memenuhi seragam Nania kini mulai luntur karena air hujan. Ia sungguh tak bergeming sama sekali dari tempatnya. Matanya kembali memanas. Air matanya mulai turun melewati pipinya bersamaan dengan air hujan yang jatuh ke tanah. Disisi lain, Narendra yang sedang mengendarai motornya terpaksa berhenti kare hujan yang turun. Ia meneduh untuk sesaat di sebuah rumah kecil. Pandangannya jatuh pada seorang gadis yang berdiri sendirian di penggir jembatan. Dari belakang Narendra menatapnya, meski sedikit terganggu kare air hujan. "Kayak kenal," ucapnya. Ia semakin menajamkan penglihatannya ketika menyadari seragam yang dikenakan gadis itu adalah seragam sekolahnya. "Astaga, dia..." sedetik kemudian ia berlari menghampiri gadis itu yang sedang mengangkat kakinya ke pembatas jembatan itu. Dengan cepat, Narendra menarik tangan gadis itu yang membuat dia kembali turun. "Lo mau ngapain?" bentak Narendra karena terkejut dengan perbuatan gadis itu, hampir saja ia terlambat. "Ya ampun," Narendra kembali terkejut saat melihat siapa yang ada dihadapannya. Nania menun menhindari tatapan Narendra. Narendra berdecak, ia tak peduli lagi dengan bajunya yang basah karena hujan. Tangannya menarik lengan Nania menjauh dari sana, ia kembali ke motornya. "Lo mau mati?" tanya Narendra setelah mereka berdua sudah berlindung dari hujan. Nania semakin menundukkan kepalanya. Sekuat tenaga ia menahan isakannya. Jari jemari Narendra memegang kepala Nania. Rambutnya terasa lengket. Narendra menghela napas, ia menarik Nania agar duduk di kursi kayu di sana, membiarkan gadis itu menangis dan menunggunya agar tenang terlebih dahulu.

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN