Jam sudah menunjukkan waktu pulang sekolah. Murid-murid berlarian keluar kelas untuk mwnuju rumah mereka. Kini sekolah tampak penuh dengan lautan siswa yang keluar dari gerbang sekolah.
Nania berjalan santai melewati lorong-lorong sekolah. Ia hendak pulang, meski ia akan kembali merasa kesepian di rumah. Langkahnya menyusuri lorong-lorong hingga ia sampai di depqn halte sekolah. Menunggu angkutan umum yang akan mengarah ke rumahnya.
Halte ini sepi, hanya ada dirinya disana. Lagipula, mana ada orang kaya sepeeti siswa lainnya yang naik angkutan umum.
"Orang tua kamu dah mati!"
Ucapan Ica kembali memenuhi benak Nania. Ia menghela napasnya. Kepalanya ia tundukkan, menatap sepatu pemberian orang tuanya. Perlahan setetes airmata kembali jatuh di pipinya.
Ia tak mengerti dengan keaadan. Semuanya berubah. Tak ada lagi canda tawa yang bisa ia dapatkan di sekolah maupun di rumah.
Ia kembali menengadah. Ia tak boleh lemah. Tangannya mengusap kasar airmata yang luruh di pipinya. Ia harus kuat.
"Ekhm." seseorang berdehem di samping Nania.
Nania menoleh cepat. Keningnya mengerut.
"Kak Narendra?"
Laki-laki itu tersenyum. Kepalanya mengangguk.
"Lo yang di kelas tadi 'kan?" tanya Narendra.
Nania mengangguk canggung mengingat kejadian dibully nyadilihat oleh Narendra.
"Lain kali lo perlu melawan," ucap Narendra.
Nania semakin menundukkan kepalanya. Bukan ia tak mau melawan, tapi ia hanya takut untuk melawan.
"Terlihat terlalu lemah juga ga akan baik buat lo. Lo juga manusia, jadi lo juga berhak ngelakuin pembelaan diri," Narendra kembali berucap.
"I..iya kak," balas Nania.
Narendra mengangguk. Ia masih berdiri di samping Nania.
"Ka..kak ngapain di sini?" tanya Nania memberanikan diri.
"Nunggu angkot. Kenapa? Ga boleh?"
Nania menggelengkan kepalanya.
"Emang cuma lo doang yang boleh naik angkot di sekolah ini?"
"Enggak kak," jawab Nania bingung. Iya bingung, karena semua murid di sekolah tahu kalau Narenda selalu naik motor hitam kesayangannya. Tapi, kenapa sekarang malah naik angkot.
"Motor gue di bengkel," ucap Narendra tiba-tiba seperti mengetahui isi pikiran Nania saat ini.
"Ah... Gitu ya kak," ucap Nania.
"Itu angkot yang ke arah rumah gue. Gue duluan ya," ucap Narendra. Ia menghentikan salah satu angkot yang lewat, lalu menaikinya meninggalkan Nania kembali sendirian.
Nania hanya menganggukkan kepalanya melihat Narendra yang sudah pergi.
Tak menunggu lama, angkot yang ia tunggu akhirnya datang juga.
***
Nania menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Rasa lelah menggerogoti tubuhnya. Setelah membersihkan kontrakan seorang diri.
Hanya ada Nania di kontrakan ini sekarang.
Ia melamun menatap langit-langit kamarnya. Terlalu lama hingga ia akhirnya tertidur.
Tok tok tok
Suara ketukan pintu kembali membangunkan Nania yang baru sekitar lima menit tertidur.
Ia bangkit dari kasurnya. Berjalan ke arah pintu kontrakan untuk membukanya.
"Tante."
Mama Ica berdiri di depan pintu Nania dengan berkacak pinggang. Malam-malam begini Daniar rela datang ke kontrakan tidak mungkin jika tidak ada sesuatu.
"Kamu 'kan yang buat Ica sama temen-temennya dihukum?" tanya Daniar tegas.
"Bu...bukan, tan," ucap Nania sambil menunduk takut-takut.
Satu tamparan mendarat di pipi Nania.
"Halah, banyak alasan kamu. Inget ya kamu, sekali lagi kamu macam-macam, hidup kamu akan lebih susah," setelah mengatakan itu, Daniar pergi meninggalkan Nania yang masih terdiam.
Nania kembali masuk ke dalam setelah menutup pintu. Ia jatuh duduk termenung di ambang pintu.
"Nania salah apa?" tanyanya pada diri sendiri.
Lutunya ia tekuk. Kedua tangannya menutup wajahnya. Matanya mulai mengeluarkan air mata lagi. Kini ia tak bisa menahan tangisannya. Membuat wajahnya basah sepenuhnya.
Ia tak peduli bagaimana wajah sembabnya esok di sekolah. Lama menangis hingga merasa lelah, lalu,berjalan mwnuju kasur untuk tidur. Dan berusaha melupakan perkataan Daniar tadi.
***
Bugh
Seseorang menabrak Nania hingga ia jatuh terjerembab di lorong sekolah.
"Ups, sorry sengaja," ucap Ica sinis.
Lorong ini sepi dari murid. Ica lantas menuju ke hadapan Nania. Tangannya mengangkat dagu Nania kasar.
"Ikut gue," ucapnya sembari menarik pergelangan Nania kasar.
Nania ingin melawan. Tapi ia masih belum seberani itu hingga akhirnya ia hanya menunduk mengikuti Ica yang menariknya.
Mereka ke arah toilet.
"Bentar lagi bel masuk. Jadi lo harus selesain semua hukuman gue sebelum masuk," ucap Ica sembari melipat ke dua tangannya.
Di dalam toilet ini hanya ada mereka berdua.
"Cepetan. Waktu lo tinggal sepuluh menit sebelum bel bunyi," Ica kembali berucap. Ia kini berjalam ke ambang pintu toilet yang tertutup. Ia bersandar sembari menunggu Nania menyelesaikan pekerjaannya.
Nania hanya menurut. Ia mulai membersihkan toilet itu. Sepertinya toilet ini, jarang dibersihkan. Lumut-lumut mulai menjalar di lantainya.
"Lima menit," teriak Ica mengingatka sisa waktu yang dimiliki Nania.
Kringg
Tepat di saat bel berbunyi Nania menyelesaikannya.
"Ah, lama lo. Gue tinggal," ucap Ica yang langsung keluar meninggalkan Nania.
Saat ini ada apel pagi. Setelah membersihkan tangan, Nania menyusul Ica ke lapangan.
Panas terik menyinari pagi ini. Nania berdiri di paling belakang barisan kelasnya. Tangannya menyeka keringat yang membasahi wajahnya. Meski menggunakan topi dan berdiri paling belakang, tetap saja panas matahari begitu menyengat dirinya.
Tiba-tiba kepalanya terasa sedikit pening. Sepertinya ia kelelahan, karena setelah membersihkan toilet ia langsung berdiri dibawah paparan sinar matahari.
Tangannya memegang kepalanya yang terasa seperti berputar. Nania mulai melemas. Perlahan, kesadarannya menghilang dan ia jatuh ke tanah.
Sebelum sampai ke tanah, seseorang menangkapnya. Tanganya membawa Nania yang sudah tak sadarkan diri ke dalam gendongannya.
"Petugas, ikut gue satu orang," ucapnya kepada beberapa murid yang bertugas sebagai PMR. Seorang perempuan mengikuti Narendra yang kini sudah berlari membawa Nania menuju UKS.
Murid-murid lain melihatnya. Tak terkecuali Ica yang menatap hal itu dengan jengkel.
Narendra kini masuk ke dalam ruang UKS. Ia membaringkan Nania yang masih belum sadar ke ranjang dengan perlahan.
"Kasih minyak kayu putih," perintahnya kepada seorang petugas PMR yang mengikutinya tadi.
Petugas itu segera memberikan kayu putih di leher Nania. Tangan Narendra terangkat memegang dahi Nania untuk memeriksa suhu tubuh gadis itu.
"Shh, panas," ucapnya. Ia mencari baskom dan mengeluarkan sapu tangannya. Ada termos kecil yang tersedia di ruang UKS. Tanpa pikir panjang, ia menuangkan sedikit air panas dan air biasa untuk membuat air hangat.
Sapu tangan miliknya di rendamkan ke dalam air hangat itu. Kemdian ia memerasnya, lalu meletakkan ke atas dahi Nania.
Gadis itu masih belum sadar dari pingsannya. Narendra menatapnya lama.
Setelah itu, ia menatap petugas PMR tadi.
"Gue tinggal dulu buat cari minum, jagain dia." selepas mengucapkan itu, Narendra meninggalkan ruang UKS dan pergi ke kantin untuk membelikan air putih.