Tragedi Awal
"Allah memberikan bahu yang kuat untuk kamu bisa bertahan dalam masalah yang dia berikan."
*****
"A—apa?" Nania terduduk lemas kala mendengar polisi yang datang dan mengabarkan kalau orang tuanya tewas dalam tragedi kecelakaan pesawat. Nania yang saat itu hanya didampingi oleh pembantunya terkulai lemas.
"Non Nania?" panggil pembantunya yang sudah merawatnya sejak kecil.
"Kami turut berbela sungkawa, atas tragedi ini," ucap salah satu kepala polisi tersebut. Pandangan mata Nania mulai mengabur oleh air matanya.
"Non, bangun, Non. Non Nania," ucap Bibinya saat tiba-tiba Nania tidak sadarkan diri. Polisi itu lantas menggendong Nania dan membawanya ke sofa. Bibinya buru-buru mengambilkan air putih dan minyak kayu putih untuk membuat Nania sadar.
......
Selang seminggu setelah kedua orang tuanya meninggal, Nania jadi lebih sering mengurung diri. Dia yang dekat dengan kedua orang tuanya tidak tahu lagi harus bersama siapa. Dia menyesal waktu itu lebih mementingkan latihan balletnya daripada ikut orang tuanya. Seandainya dia ikut sudah pasti dia akan tetap bersama dengan orang tuanya walaupun tidak harus ada di sini saat ini.
"Non Nania, di depan ada Nyonya Daniar beserta keluarganya," ucap Bibi Ratih yang selama ini merawatnya sejak kecil. Bibi Ratih tidak punya keluarga, hingga orang tuanya pun mempekerjakan Bibi Ratih di rumahnya.
"Iya, Bi." Nania lantas berjalan ke depan untuk menyambut Daniar—keluarga Papanya.
"Tante Daniar."
"Gimana kabar kamu sayang? Setelah ditinggal orang tua kamu."
"Tante kenapa baru ke sini? Papa, Mama baru meninggal sudah seminggu yang lalu."
"Aduh, Nania kamu itu enggak sopan banget sih nyambut Tante kayak gitu. Ya wajar, dong, Tante baru bisa ke sini, Tante 'kan sibuk," ucap Daniar main masuk begitu saja. Nania bingung kenapa sikap Bibinya sangat berbeda tidak seperti dulu. Kenapa Bibinya juga main masuk saja ke dalam padahal biasanya tidak pernah.
"Bi, kenapa Bibi bawa perlengkapan sebanyak ini?" tanya Nania saat melihat Daniar membawa koper banyak dan malah satu koper yang tadi dia bawa diserahkan ke Nania. Nania sampai bingung ada apa dengan Bibinya yang tiba-tiba berubah.
"Kak Nania jangan bawel, deh. Udah ambilin kita minum dulu. Kita capek tahu habis perjalanan jauh," ucap Ica anak dari Daniar.
"Ca—"
"Udah ambilin aja. Kamu ngapain malah ngebantah sih? Orang tinggal ambilin aja. Heran." Nania pun mau tidak mau mengambilkan minuman untuk mereka. Jujur Nania bingung dengan sikap mereka yang sangat berbeda.
Nania datang dengan membawa minuman dibantu Bibinya. "Ini Tante, Om, Ca minumnya."
"Nah, Bagus. Di luar udah panas banget. Kita dateng bukannya langsung dibuatin minum malah ngoceh," ucap Tio—omnya.
"Kalian ada apa ke sini?" tanya Nania duduk di kursi single sedangkan mereka di sofa panjang rumahnya.
"Ya mau tinggal di sini lah," ucap Ica kepada kepada Nania dengan songongnya. Nania mengerutkan keningnya sama sekali tidak mengerti.
"Tinggal di sini? Maksudnya gimana sih?"
"Aduh, Nania udah, deh. Enggak usah kaget gitu. Lagian ini rumah gede, ngapain kamu tinggalin sendiri? Mending juga kita tinggal di sini."
"Ya tapi 'kan kalian ada rumah sendiri. Ngapain harus tinggal di sini?"
"Nania, yang sopan yang ucapan kamu! Lagian ini juga rumah Kakak saya, kamu cuma anak ... enggak ada hak buat ngatur."
"Tapi, Om, Tante ini rumah aku. Kalian enggak bisa dong seenaknya main mutusin untuk tinggal di sini gitu aja," ucap Nania dengan emosi. Baru saja kemarin dia kehilangan orang tuanya sekarang Tante Dan Omnya datang untuk tinggal bersamanya. "Sampai kapan kalian di sini?" tanya Nania akhirnya mengalah.
"Selamanya lah."
"Apa? Tan—"
"Nania, kamu enggak usah banyak omong ya. Ini juga rumah Kakak saya, jadi udah kamu diem aja."
"Tante!!"
"Ah, udahlah tante capek. Kamu enggak usah banyak omong. Mending siapin makan sana!" Daniar mengusir Nania dari sana. Dia bangkit meninggalkan Nania sendiri diikuti keluarganya. Nania pun mengikuti mereka.
Hingga akhirnya mereka sampai di kamar Papa dan Mamanya. "Tante mau ngapain? Ini kamar Mama sama Papa."
"Ck! Bawel banget kamu, Nan. Papa sama Mama kamu itu udah mati jadi enggak usah banyak omong dan satu lagi kamar ini sekarang jadi milik Om sama Tante, kamu enggak usah banyak ngatur."
"Wahh ... kamar Kak Nania Bagus. Aku mau di kamar ini aja, Mah." Nania menengok ke arah Ica yang dengan tidak sopannya sudah masuk ke kamarnya.
"Ica!!!" Nania langsung menyusul Ica yang main nyelonong saja masuk ke kamarnya. Nania langsung saja mencekal tangan Ica dan menariknya ke luar kamarnya.
"Adududuh ... sakit, Kak Nania! Mamah ... Papah, Kak Nania nih kasar," ucap Ica sambil memegangi tangannya yang perih akibat cengkaraman tangan Nania.
"Nania, lepasin! Kamu itu sama sodara sendiri kok kasar sih!"
"Tante, dia yang enggak sopan main masuk ke kamar aku. Tante juga enggak sopan main masuk ke kamar Mama sama Papa. Kalian itu tau adab enggak sih!"
Plak....
Nania memegangi Pipinya yang terasa panas akibat pukulan dari Daniar, "Kamu itu udah enggak ada siapa-siapa ya, Nania. Jadi jangan sok berkuasa di sini."
"Udahlah, Daniar. Dari pada dia bikin masalah mending suruh keluar aja dari rumah ini! Ngapain sih nampung dia segala."
"Nah bener, Mah. Toh, sekarang rumah ini bisa jadi milik kita ini."
"Enggak! Ini rumah aku kalian yang ke luar dari rumah ini." Nania berteriak untuk mengusir mereka. Tapi, bukannya mereka yang keluar, lantas Tio yang menariknya.
"Kamu beresin barang-barang dia aja. Usir dia. Bikin masalah aja!"
"Iya, Mas." Daniar ke ruangan Nania untuk membereskan pakaiannya dan mengusir keponakannya itu.
"Lepasin!!! Lepasin ini rumah aku, aku enggak mau pergi dari sini! Kalian aja yang pergi dari sini, aku enggak mau!" Nania meronta melepaskan tangannya dari Tio. Tapi, tenaganya tidak sebanding sehingga dia hanya bisa mengikuti seretan dari omnya.
Hingga sampai di teras, Tio mendorong Nania hingga gadis itu terjatuh. Nania bangkit lagi. "Om, Nania mau masuk. Ini rumah Nania!" Ica—anak Tio dan Daniar hanya tersenyum sinis melihat Tio mengusirnya. Beberapa saat kemudian Daniar datang membawa koper Nania dan melemparkannya ke Nania.
"Tante, apa-apaan sih? Ini baju Nania kenapa ditaruh koper semua? Aku enggak mau pergi dari sini, Tante. Aku mau tetep di sini."
"Kamu enggak usah ngeyel ya, Nania. Tadinya, Tante enggak tega ngusir kamu. Dan bisa lah dijadiin pembantu tapi karena sikap kamu yang menyebalkan mending kamu pergi aja dari sini."
"Enggak! Aku enggak mau pergi dari rumah aku sendiri! Kalian yang seharusnya pergi."
"Non Nania." Pembantunya lantas membantu Nania.
"Bibi ngapain, sih, bantuin dia? Masuk!"
"Enggak, saya mau tetep sama Non Nania."
"Yaudah, kalau gitu pergi aja, gih, berdua sama dia. Enggak usah balik lagi, enggak bersyukur banget jadi pembantu! Masih untung suruh tinggal di sini dibantuin."
"Enggak, saya akan tetap bersama, Non Nania."
"Yaudah, kalian berdua emang cocok pergi dari sini, jadi gembel aja sana!" ucap Daniar sambil menendang Koper Nania.
"Tunggu!" Pembantunya Ratih lantas mencegah Daniar menutup pintunya.
"Apa lagi! Mau minta keringanan tinggal di sini lagi? Boleh sih dari pada ngegembel kan bareng nih bocah?"
"Enggak! Saya cuma mau ambil beberapa pakaian saya di dalam dan tetap pergi bersama Non Nania." Daniar menengok ke arah Tio suaminya kemudian beralih lagi ke Pembantunya.
"Yaudah, kalau gitu orang enggak tahu diuntung ya gitu. Udah sana buruan kalau emang mau pergi dari sini! Kemasin barang-barang kamu dan pergi dari sini!" ucap Daniar lantas menyuruh Ratih untuk segera mengemasi barangnya.
Ratih masuk ke dalam untuk mengambil barang-barangnya, "Kalian benar-benar jahat. Ini rumah orang tua ku kenapa kalian malah seenaknya!"
"Inget ya, Nania. Kamu itu masih kecil, enggak tahu apa-apa. Lagian ini juga rumah kakak saya, jadi enggak ada hak kalau kamu mau tetep tinggal di sini."
Ingin rasanya Nania memberontak tapi apa daya dia tidak bisa melawan dua orang dewasa yang serakah di depannya. Dia kira keluarga Papanya bisa diandalkan yaitu adiknya yang satu-satunya tapi ternyata adiknya malah gila harta membuat Nania menjadi korban untuk pergi dari rumah orang tuanya sendiri.
"Non Nania." panggil Bibinya lagi dengan membawa semua perlengkapannya.
"Udahkan? Sekarang buruan kalian pergi dari sini!" usir Tio kemudian keluarga mereka masuk ke dalam. Ica paling terakhir, "Sukurin lo! Makanya jangan macem-macem sama gue! Selamat menjadi gembel, Kak Nania sayang." ucap Ica meledek Nania setelah itu dia masuk. Nania ingin membalas apa yang Ica lakukan kepadanya tapi Bibinya menahan.
"Udah, Non." Nania menangis dipelukan Bibinya kini mereka sudah tidak tahu harus tinggal di mana lagi. Dia sudah tidak punya keluarga apalagi Bibinya.
"Bi, sekarang kita mau tinggal di mana?" tanya Nania dengan wajah sembabnya.
"Kita cari saja ya, Non. Allah pasti akan tetap bersama kita."
"Kenapa Papa sama Mama ninggalin kita dan biarin kita jadi kayak gini?" Bibinya—Ratih— merasa kasihan dengan Nania. Tapi, mau bagaimana lagi. Semua sudah terjadi.
"Udah yuk, Non. Kita cari tempat tinggal aja. Udah mau malem juga," ucap Ratih. Nania hanya mengangguk mereka membawa kopernya pergi dari rumah ini dan tidak tahu harus menuju ke mana.
....
Sampailah mereka di sebuah kontrakan kecil yang sangat jauh dari rumahnya yang lama. Tapi, Nania tidak masalah, asalkan mereka bisa tertidur tanpa harus kepanasan atau kehujanan, Nania bersyukur.
"Non, kita tinggal di sini aja, enggak papa 'kan? Uangnya hanya cukup untuk tinggal di sini dan sisanya untuk kita makan sehari-hari. Tadi, Bu Daniar memberikan kita uang juga tapi tidak banyak."
"Enggak papa kok, Bi. Yang penting sekarang kita bisa punya tempat tinggal."
"Maaf ya, non, cuma bisa bawa ke sini." Bibinya menyesal hanya bisa membawa Nania ke sini. Tidak sebanding dengan bantuan yang dulu orang tua Nania lakukan untuknya. Membantunya dan mengajaknya ke rumah mewah walaupun hanya dijadikan pembantu.
"Enggak Papa, Bi. Bibi udah enggak usah manggil Nania dengan sebutan Non lagi sekarang Nania bukan atasan Bibi lagi. Jadi, Bibi panggil aja Nania," ucap Nania lagi.
"Tapi, Non–"
"Udah, enggak papa panggil Nania aja. Okay." Ratih awalnya ragu tapi kemudian dia mengangguk, "Baik, Non."
"Bi, panggil Nania aja."
"Iya, Nania," ucap Ratih dengan kagok Dan merasa tidak enak dengan Nania. Tapi, Nania tidak masalah dengan itu.
"Nah, sekarang Bibi satu-satunya orang tua yang aku punya. Kita jalanin ini sama-sama ya, Bi." Ratih mengangguk.
"Yaudah, Nania 'kan capek mending istirahat dulu. Bibi mau masak tadi waktu Nyonya Daniar di depan Bibi sempet bawa beberapa bahan makanan untuk kita dari dapur jadi masih aman buat kita makan."
Nania tersenyum Bibinya kepikiran juga. Sayang Nania sudah keburu ditarik tangannya oleh Tio tadi sehingga tidak sempat membawa barang-barang berharga dari rumahnya. Bahkan hanya sekadar barang pemberian Mama dan Papanya saja tidak sempat kebawa.
"Yaudah, aku bantu aja. Aku juga mau masak."
"Tapi 'kan, Non Nania enggak suka masak."
"Panggil Nania aja, Bi. Iya dulu emang Nania enggak suka masak karena Nania mikir semua yang Nania mau bakal Nania dapetin tapi sekarang 'kan enggak bisa, Nania juga harus bantu Bibi biar Bibi enggak kecapekan. Kalau di rumah, Bibi banyak Mbak yang lain yang bantuin tapi kalau di sini 'kan cuma ada Nania, jadi Nania yang harus bantu Bibi." Pembantunya tersenyum setidaknya anak atasannya benar-benar berbeda dengan anak dari adik atasannya itu. Syukurlah Nania lebih mudah menerima kehidupannya.
"Yaudah yuk, kita masak bareng-bareng," ucap Nania semangat. Ratih mengangguk mereka pun masak bersama.
.....
Di sisi lain Daniar Dan Tio merasa bangga karena berhasil merebut semua kekayaan kakak Daniar selama ini hidupnya hanya susah saja. Tio juga kerjanya yang tidak pernah jelas apa itu.
"Ah ... akhirnya bisa jadi orang kaya juga," ucap Tio sambil meluruskan kakinya di sofa dengan bangganya.
"Ini juga karena aku kali, Mas. Coba aja kalau bukan karena Kakakku, kita enggak bakal jadi orang kaya."
"Ini juga karena aku, kamu jadi istri jangan bangkang deh!" Daniar memutar bola matanya malas.
"Udah-udah, Papa sama Mama kenapa berantem aja sih? Udah dikasih hidup mewah, udah dong berantemnya. Ica pusing dengernya setiap hari Papa sama Mama berantem aja."
"Iya-iya," ucap Daniar mengalah. Daniar pun lebih memilih ke belakang mencari makanan. Sampai di dapur dia melihat ada pembantu. Oh iya dia sampai lupa kalau memang di rumah ini banyak pembantu.
"Heh kalian sini saya mau ngasih tahu sesuatu sama kalian!" panggil Daniar menyuruh Lima orang itu mendekat ke arahnya.
Mereka semua berjalan dengan takut-takut. Mereka sudah melihat Non Nania dan Bibi Ratih di usir membuat mereka takut karena mereka juga masih butuh kerja untuk keluarga mereka tapi kalau bos mereka ganti apakah mereka akan diusir juga dari sini.
"Mulai sekarang saya yang akan tinggal di sini. Jadi, kalian harus nurutin apa yang saya mau. Mulai sekarang saya yang akan jadi bosnya di sini. Apa ada yang keberatan??!" ucap Daniar memerintah mereka. Mereka bingung harus menjawab apa.
"Jawab?! Kalau kalian enggak mau, kalian bisa ke luar dari sini! Ikut Sono sama Nania enggak usah kerja di sini lagi."
"I ... iya, Nyonya," jawab mereka dengan takut-takut. Tidak ada pilihan lain selain menerima.
"Bagus. Yaudah sekarang kalian masak sana!"
"Baik, Nyonya." Mereka pun memencar untuk membuat makanan.
"Enak juga jadi orang kaya mau makan tinggal nyuruh aja," ucap Daniar sambil memakan buah yang ada di meja dengan senyum bangganya karena telah berhasil merebut kekayaan milin kakaknya.
.....