Bab 3 - Jangan Pernah Masuk Ke Dalam Hidupku Lagi

2109 Kata
Setelah menjemput ibu dan putrinya dari rumah sakit, Helena mengantarkan mereka ke apartemennya. Beberapa hari lalu ia sudah menjelaskan kepada ibunya bahwa Tristan sedang menumpang hidup bersamanya untuk sementara waktu. Ia juga menjelaskan alasan tersebut kepada wanita paruh baya itu mengenai kondisi Tristan dan ia cukup beruntung karena ibunya adalah seseorang yang cukup memiliki pandangan yang terbuka. Dari awal Belinda selalu mendukung apa pun keputusan Helena. Wanita paruh baya itu merasa kehadiran Tristan dapat mengubah pikiran Helena yang sedari awal ingin menjalani hidup seorang diri. Belinda berpikir jika hati putrinya masih terluka karena Tristan sehingga mengalami trauma yang mendalam terhadap sebuah hubungan. Ia berpikir hanya pemuda itulah yang dapat mengobati luka yang pernah diberikan kepada putrinya tersebut. Setelah mengantarkan mereka ke apartemennya, Helena langsung menancapkan gas mobilnya menuju kantornya. Ia sudah telat satu jam dari waktu yang dimintanya dari atasannya. Apalagi siang ini ia memiliki jadwal rapat yang cukup penting. Helena melangkah masuk ke dalam ruang kantornya dengan langkah terburu-buru, lalu ia melemparkan tasnya ke atas meja kerjanya dan menghempaskan tubuhnya di atas kursi kerjanya. Namun, ia tidak memiliki waktu untuk bersantai dan segera meminta para bawahannya untuk berkumpul di dalam ruangannya dan membahas beberapa laporan penting terkait analisa proyek yang baru saja mereka kembangkan. “Baiklah, minggu depan saya mau ada laporan terkait penjualan Dream Residence selama bulan ini. Tolong persiapkan, Agnes,” ucap Helena seraya memeriksa dokumen di tangannya. Akan tetapi, tidak ada yang menjawabnya hingga salah seorang bawahannya berkata, “Maaf, Bu Helena. Agnes kan lagi cuti. Dia belum masuk.” Helena mengangkat wajahnya sejenak. Menatap wajah Bima yang mengingatkannya, lalu ia menghela napas pelan dan berkata, “Saya benar-benar lupa. Terima kasih sudah mengingatkan, Bim. Tolong kamu bantu saya persiapkan kalau begitu.” Pria bernama Bima itu tersenyum kikuk dan hanya bisa pasrah menerima tugas yang diberikan Helena padanya. “Apa bagian HRD belum menemukan pengganti Agnes, Mely?” tanya Helena kepada bawahannya yang lain. Saat ini divisinya sedang kekurangan tenaga kerja setelah satu minggu lalu, asisten manajernya, Agnes Dwita mengajukan cuti kehamilan untuk persiapan melahirkan dalam waktu dekat. Kondisi perusahaan Bamantara Group juga sedang diterpa banyak isu buruk dari para pesaingnya sehingga membuat banyak divisi yang harus mengembalikan kinerja perusahaan seperti sedia kala. Oleh karena itu, para manajer divisi lain tidak bisa meminjamkan sumber daya manusia mereka kepada Helena. Rumor buruk yang mengatakan perusahaan Bamantara sedang berada dalam kondisi yang di ujung tanduk yang mengakibatkan mereka sibuk mengatasi hal tersebut. Alasan rumor tersebut beredar adalah karena direktur perusahaan mereka, Galaksi Bamantara sedang diopname di rumah sakit akibat aksi pembunuhan yang hampir mengancam nyawanya beberapa waktu lalu. Sebagai tangan kanan sekaligus sahabat dekatnya, Helena diminta oleh Galaksi untuk mengatur operasional perusahaan selama pria itu dalam masa penyembuhan. Beban kerja Helena bertambah dua kali lipat, tetapi ia tidak bisa mengeluh. Selama ini ia sudah banyak mendapatkan kebaikan dari sahabat baiknya itu dan sekarang adalah waktunya untuk membalas budi atas hal tersebut. Akan tetapi, sialnya, di saat genting dan sibuk seperti ini, Agnes Dwita malah mengajukan cuti. Helena tidak bisa menangguhkan cutinya karena memang wanita itu sedang dalam kondisi mengandung yang tinggal menunggu waktu kelahiran saja. Jadwal dan beberapa pekerjaan Helena menjadi berantakan karena tidak ada yang membantunya sehingga ia memerlukan karyawan tambahan. Namun, hingga saat ini belum ada satu pun yang memenuhi kualifikasi yang diinginkannya. “Maaf saya lupa bilang kalau tadi Pak Arsen ada memberikan kabar kalau besok atau lusa ada yang menggantikan Bu Agnes,” sahut Bima dengan wajah gugup. Pak Arsen yang dimaksud adalah Arsen Sebastian, asisten kepercayaan Galaksi Bamantara yang mengurus segala jadwal dan urusan pribadi terkait atasannya tersebut. Helena menatapnya dengan tajam. Bima memang sering membuatnya sakit kepala dengan kelalaiannya, tetapi Helena masih mempertahankan pria itu karena Bima adalah bawahan yang cukup sabar menghadapi sikapnya dan mau menerima kritikan pedas darinya. Ketegasan dan kedisiplinan Helena di kantor sudah menjadi buah bibir di seluruh lingkup perusahaan sehingga banyak bawahan yang tidak betah bekerja dengannya. Ia sudah sering mendengar gosip miring tentang dirinya dan julukan aneh seperti 'Ibu Ratu' yang diberikan untuknya karena sikapnya yang disalahartikan oleh mereka. “Apa Arsen ada bilang siapa orangnya?” tanya Helena dengan penuh selidik. Bima menggeleng kecil. “Tapi, kata Pak Arsen, orang pilihannya sesuai permintaan Bu Helena,” timpalnya. Helena memang meminta poin utama menjadi bawahannya adalah pria lajang karena ia tidak ingin ada alasan setiap ia memberikan pekerjaan penting dan darurat. Helena berpikir jika wanita atau pria yang sudah berkeluarga akan memerlukan banyak waktu yang tersita untuk keluarga mereka. Helena tidak ingin dicap sebagai orang yang menyita waktu mereka saat Helena meminta lembur. Akan tetapi, persyaratan yang diajukan Helena malah menimbulkan spekulasi di antara para staff perusahaan. Helena tertegun. Ia berpikir jika orang tersebut adalah rekomendasi Arsen, maka cukup dapat diandalkan dan ia percaya dengan pilihan asisten Galaksi tersebut. “Baiklah. Kalau begitu, rapat selesai sampai di sini. Kalian persiapkan saja yang sudah saya berikan deadline tadi. Pastikan tidak ada kekurangan dan kesalahan,” ucap Helena yang langsung membubarkan rapat tersebut. Para bawahan Helena pun segera bubar. Helena dapat melihat keceriaan wajah mereka saat meninggalkan ruangannya. Ia pun menarik napas panjang dan melipat lengan kemejanya hingga ke bagian sikunya. Helena menyesap kopi dinginnya dan berniat melanjutkan pekerjaannya lagi di depan layar komputer. Namun, suara pesan masuk menyita perhatiannya. Seulas senyuman terukir di sudut bibirnya ketika melihat pesan yang dikirimkan oleh ibunya. Terlihat beberapa foto Nayra yang sedang memperlihatkan hasil karyanya di selembar kertas gambar. Putrinya itu menggambarkan wajah Tristan yang sedang terbaring tak berdaya di atas ranjang dan tentunya gambar seorang anak enam tahun pastinya masih berantakan, tetapi hal itu menjadi daya tarik sendiri dari putrinya. Perlahan senyuman Helena memudar ketika memikirkan kondisi Nayra. Sudah dua minggu ia tidak mendengar suara dari bibir mungil yang menggemaskan tersebut. Pasca kecelakaan yang dialami Nayra, gadis kecil itu tidak lagi mau berbicara apa pun dan hanya menggunakan media kertas sebagai alat komunikasinya. Sebagai seorang ibu, tentu saja Helena merasa sedih. Hati ibu mana yang tidak akan merasa sakit ketika melihat buah hatinya yang sering bercerita dan bertanya apa pun padanya, tiba-tiba saja menjadi seorang yang tidak mampu mengatakan apa pun lagi. Dokter mengatakan bahwa Nayra mengalami trauma pasca kecelakaan tersebut yang menyebabkan gangguan bicara pada diri gadis kecil itu. Hal ini diakibatkan dari syok yang diterimanya saat kecelakaan tersebut terjadi. Namun, hal tersebut hanya bersifat sementara dan dokter menyarankan kepada Helena untuk lebih memperhatikan suasana hati putrinya dan melakukan terapi dengan dokter psikolog atau ahli terapis untuk mengatasi gangguan yang dialami putrinya tersebut. Helaan napas panjang bergulir dari bibir Helena. Ia tahu tidak bisa terburu-buru mengatasi masalah tersebut. Tiba-tiba suara pesan masuk berikutnya membuyarkan lamunan Helena. Suasana hatinya berubah seketika ketika membaca pesan tersebut. [Sayang, jangan lupa makan siang. Tidak perlu mencemaskanku, aku sudah lebih baik. Love you.] Dengkusan kasar bergulir dari bibir Helena saat membaca pesan ‘cinta’ yang dikirimkan Tristan padanya. Ia memutar bola matanya dengan malas, lalu meletakkan kembali telepon genggamnya kembali ke atas meja kerjanya dan ia menyadari jika dirinya memang belum menyentuh makanan apa pun sejak sampai di kantor. Helena melirik kembali telepon genggamnya, kemudian mengetikkan sesuatu dengan cepat pada layar gawainya tersebut. Ia tersenyum smirk tatkala membaca pesan yang baru saja dikirimkannya. [Berkemaslah. Aku mau kamu sudah siap setelah aku sampai di rumah nanti.] Helena yakin Tristan akan menyesal telah mengirimkan pesan padanya. Setelah membalas pesan tersebut, ia pun memutuskan untuk mengisi perutnya terlebih dahulu sebelum melanjutkan pekerjaannya. *** Tristan berdiri di depan pintu apartemen Helena dengan wajah lesu. Ternyata Helena benar-benar melakukan hal yang sudah dipesankannya kepada Tristan dan pria itu benar-benar menyesal telah mengatakan jika kondisinya mulai membaik tadi siang. “Helena, aku akan membayar uang sewanya. Bisakah kamu tidak mengusirku?” pinta Tristan dengan sorot penuh harap memandang wanita pujaannya. “Aku tidak kekurangan uang, Tris.” Helena mengembangkan senyuman di wajahnya, lalu mengambil tas ransel milik Tristan dan menyerahkannya ke tangan pria itu. “Kembalilah ke rumah orang tuamu. Bujuklah mereka. Aku tau kalau selama ini kamu hanya ingin mencari kesempatan untuk mendekati Nayra. Aku tidak pernah melarangmu bertemu dengannya, tapi tinggal berada di satu atap yang sama tanpa status apa pun hanya akan menjadi bahan gunjingan orang, Tris. Aku tidak mau sekali lagi terkena gosip bersamamu.” “Kalau begitu jadilah istriku. Kita menikah dan—" Kalimat Tristan terhenti karena mendapatkan tatapan tajam dari Helena. Ia pun menghela napas berat dan lanjut berkata, “Kamu yakin tidak mau memberiku kesempatan lagi?” Helena kembali mengembangkan senyumannya dan berkata dengan penuh percaya diri, “Tentu saja. Seratus persen yakin.” Seulas senyuman sendu terpatri di wajah Tristan. Ia tidak tahu lagi harus bagaimana membujuk wanita itu agar menerima ketulusannya. Dari awal ia sudah menduga jika Helena tidak akan mengubah pendiriannya, tetapi Tristan selalu mencoba untuk menerobos tembok besar yang dibangun wanita itu. Perjuangan yang telah dilakukannya selama satu minggu ini benar-benar tidak memberikan kesan apa pun bagi Helena. Akan tetapi, Tristan tidak akan pernah berhenti memperjuangkan hatinya dan memperlihatkan kepada wanita itu bahwa dirinya benar-benar ingin kembali menjalin ikatan bersamanya. Dengan napas lelah Tristan berkata, “Terima kasih sudah menampungku selama satu minggu ini, Helena. Kamu memang wanita yang berhati baik. Dulu aku benar-benar bodoh dan tidak pernah berpuas diri hingga menyia-nyiakan wanita sepertimu. Aku—" “Tristan, semuanya sudah berlalu. Tidak perlu membahasnya lagi,” sela Helena yang sudah malas mendengarkan kisah lama mereka. “Sekarang pergilah. Aku mau beristirahat.” Setelah mengatakan hal itu, Helena langsung menutup pintu apartemennya di depan wajah Tristan. Namun, ia masih berdiri di balik pintu tersebut dan memejamkan matanya dengan erat. Ia tahu jika ia sudah terlalu kejam memperlakukan pria itu, tetapi semua yang dilakukannya ini adalah demi kebaikan dirinya sendiri dan Tristan. Helena berpikir jika ia tidak bisa terus-menerus menatap masa lalu. Ia merasa senang jika Tristan memang bisa berubah, tetapi bukan berarti mereka bisa kembali seperti dulu. Tidak seharusnya pria itu mengorbankan dirinya dan menghancurkan masa depannya sendiri. Lamunan Helena terhenti ketika seseorang menarik ujung lengan bajunya. Perlahan ia membuka matanya dan menunduk ke bawah. Terlihat sosok putrinya yang memasang wajah penuh pertanyaan padanya. Helena pun memaksakan seulas senyuman untuknya dan bertanya, “Ada apa, Nay? Kamu masih belum tidur?” Nayra memanyunkan bibirnya, lalu memperlihatkan tulisan tangannya yang berantakan kepada Helena. “Om Tristan pergi ke mana, Ma?” Manik mata Helena bergerak dengan bingung. Ia tidak tahu harus bagaimana menjelaskan situasi di antara dirinya dan Tristan. Nayra masih belum mengetahui bahwa pria itu adalah ayah kandungnya. Tristan dan Helean sepakat untuk tidak memberitahu putri mereka lebih dulu karena khawatir Nayra semakin terguncang, mengingat gadis kecil itu masih dalam tahap pemulihan. Helena mengusap puncak kepala putrinya dengan hati-hati. Khawatir akan mengenai luka yang masih tertutup oleh perban di bagian kepalanya tersebut. Ia tetap mempertahankan senyumannya, lalu berkata, “Dia pulang ke rumah orang tuanya, Sayang. Om Tristan punya rumah sendiri. Sudah waktunya dia pulang.” Wajah Nayra semakin cemberut. Gadis kecil itu langsung melepaskan genggamannya dari ujung lengan baju ibunya, lalu berlari masuk ke dalam kamarnya. Helena benar-benar terkejut dengan aksi pemberontakan kecil putrinya itu. Ia tidak menyangka Tristan sudah berhasil mengambil perhatian putrinya dalam waktu satu minggu saja! Helena menengadahkan wajahnya ke atas. Kepalanya terasa sangat berat. Ia benar-benar merasa sangat lelah hari ini. “Helena,” panggil Belinda yang baru saja keluar dari kamar Nayra. Helena bergegas menyeka cairan bening di sudut matanya. Ia tidak ingin memperlihatkan kelemahannya itu kepada sang ibu, tetapi wanita paruh baya itu sudah mengetahuinya meskipun Helena tidak mengatakannya. “Tristan sudah pergi?” tanya Belinda seraya melihat sekelilingnya. Tidak menunjukkan tanda-tanda keberadaan pemuda itu di ruangan sekitarnya. Helena hanya mengangguk kecil. Ia tahu jika sudah membuat ibunya kecewa dengan keputusannya, tetapi semua sudah ia pikirkan dengan matang. “Apa dia menangis?” tanya Helena dengan khawatir dengan kondisi putrinya. Belinda mengangguk kecil. “Tadi Tristan sudah berjanji kalau mau membacakan dongeng untuknya sebelum tidur,” terang wanita paruh baya itu. Embusan napas kasar bergulir dari bibir Helena. Ia tidak tahu kalau sudah mengecewakan putrinya dengan tindakannya terhadap Tristan. “Tapi, sekarang sudah diam kok. Kamu pergilah mandi dan tidur. Biar Mama saja yang menemani Nayra malam ini,” ucap Belinda dengan penuh pengertian. Ia dapat melihat kelelahan luar biasa dari sosok putrinya itu. “Terima kasih, Ma,” cicit Helena dengan menyunggingkan seulas senyuman tipis. Belinda mengangguk, lalu kembali masuk ke dalam kamar Nayra. Helena juga memutuskan untuk masuk ke kamarnya. Sebelum beranjak dari tempatnya, ia mencoba mengintip melalui lubang kecil pada pintu apartemennya tersebut dan tidak lagi terlihat sosok Tristan di sana. Ia berpikir jika mantan kekasihnya itu mungkin sudah menyadari jika usahanya bertahan di sana sia-sia saja. ‘Selamat tinggal, Tristan. Jangan pernah masuk ke dalam hidupku lagi,’ batin Helena seraya masuk ke dalam kamarnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN