Bab 2 - Rencana Cadangan

1216 Kata
“Apa kamu masih lama di dalam sana, Tristan?” Suara lengkingan Helena memenuhi seluruh apartemennya. Ia menggedor berulang kali pintu kamar mandi yang saat ini sedang digunakan oleh Tristan. Sudah hampir satu jam pria itu berada di dalam sana. Padahal ia sudah memperingatkannya kalau ia harus menjemput putrinya, Nayra Azzahra dan ibunya, Belinda. “Tristan, kamu benar tidak mau keluar dari dalam sana? Kamu pikir aku akan membiarkanmu tinggal di sini dengan bertahan di dalam kamar mandi?” teriak Helena lagi. Ia sudah tidak lagi peduli dengan citra dirinya dengan para penghuni apartemennya yang lain. Emosinya sudah tidak lagi terbendung menghadapi mantan kekasihnya itu. Suara teriakan Helena tidak dipedulikan oleh Tristan dan membuat Helena merasa sia-sia berhadapan dengan mantan kekasihnya yang paling tidak tahu malu di muka bumi ini. Ia menyilangkan kedua lengannya di depan d**a. Wanita itu tengah berdiri membelakangi pintu kamar mandi dengan wajah yang menggelap. Manik matanya melirik arloji di pergelangan tangan kirinya yang telah menunjukkan pukul delapan pagi. Padahal hari ini ia sengaja meminta izin untuk masuk tengah hari untuk keperluan pribadinya, tetapi Tristan malah dengan sengaja mempermainkannya seperti ini. Helaan napas berat bergulir dari bibir wanita itu. Helena berpikir jika sepertinya ia harus membiarkan Tristan tinggal di apartemennya satu hari lagi karena ia tidak memiliki waktu untuk terus berdebat dengannya. Ketika Helena berniat melangkah pergi, terdengar suara aliran air dari kloset kamar mandinya dan ia kembali berbalik badan saat pintu kamar mandi tersebut terbuka. Terlihat sosok Tristan yang keluar bertelanjang d**a sehingga Helena bergegas memalingkan wajahnya dengan cepat. Ia mencebikkan bibirnya dengan kesal. Entah sudah ke berapa kalinya pria itu berkeliaran di dalam apartemennya tanpa pakaian. Berulang kali pun Helena mengingatkannya, tetapi pria itu seolah sengaja mengabaikan peringatannya untuk menggodanya. Helena akui jika bentuk tubuh mantan kekasihnya itu memang sangat menggoda, tetapi ia tidak ingin terjebak dengan pesona yang sengaja diberikan Tristan untuk meluluhkan hatinya. Hati Helena sudah lama membeku dan ia tidak ingin membiarkan siapa pun menggoreskan luka lagi di sana. “Syukurlah kalau ternyata kamu sadar cara yang kamu gunakan ini tidak akan berguna, Tristan,” cibir Helena seraya mendengkus kasar. Ia tidak menatap Tristan karena tidak ingin m*****i sepasang manik matanya dengan pemandangan yang menggiurkan tersebut. “Sekarang juga pakailah bajumu dan ambillah barangmu! Aku sudah tidak punya waktu lagi,” lanjut Helena masih dengan melipat kedua lengannya di depan d**a. Namun, Tristan tidak memberikan respon apa pun. Ketika Helena mendengar suara derap langkah ringan Tristan di belakangnya, beberapa detik kemudian terdengar suara berdebum yang sangat kuat dan mengalihkan perhatian Helena kepada pria itu. Kedua bola mata Helena membulat besar tatkala melihat pria itu ambruk di lantai. Ia bergegas menghampirinya dan berjongkok di sampingnya. “Tr-Tristan, apa yang terjadi denganmu?” tanyanya dengan panik. Helena membalikkan tubuh pria itu karena Tristan jatuh dalam posisi tertelengkup. Rasa kaget Helena bertambah saat melihat wajah Tristan yang sangat pucat seperti kertas putih polos. Terlihat darah yang mengucur dari hidung pria itu karena berbenturan dengan lantai. Helena meraba kening pria itu yang telah dipenuhi peluh. Suhu badan pria itu memang terasa hangat. “Kamu … sakit?” gumamnya. “Entahlah … Sepertinya begitu,” cicit Tristan dengan suara yang terdengar lemah. Namun, ia masih menampilkan senyuman kecil di wajahnya, lalu dengan satu tangannya yang bergerak lemah, ia mengusap darah yang masih mengalir dari hidungnya. “Masih bisa tersenyum, huh? Kamu mempermainkanku?” Helena memukul pelan d**a pria itu dengan kepalan tangannya, tetapi pria itu tidak membalasnya. Ia bergegas menarik tubuh besar pria itu dengan sekuat tenaga, lalu memapahnya untuk duduk di sofa. "Apa yang terjadi padamu? Bukankah tadi kamu baik-baik saja?" selidik Helena dengan sengit. Ia mengambilkan beberapa lembar tisu dan memberikannya kepada Tristan untuk menyeka darah yang tersisa. “Aku sepertinya … diare,” cicit Tristan seraya memegang perutnya yang terasa sakit seperti diremas-remas. Sejak tadi ia sudah berulang kali buang air besar hingga ia merasa sangat lemas sekarang karena kekurangan cairan. “Ck, kamu benar-benar merepotkan. Kenapa bisa sakit secara tiba-tiba?” gerutu Helena. Ia bergegas mencari obat penghenti diare di dalam kotak obatnya, lalu mengambil segelas minuman dan memberikannya kepada Tristan. Pria itu bergegas menelan obatnya dan meminumnya, lalu berbaring di sofa tersebut. “Bagaimana? Apa masih sakit?” tanya Helena seraya meletakkan kembali gelas di tangannya. Tristan mengulum senyumnya. Meskipun nada bicara wanita itu terdengar sangat ketus, tetapi ia dapat melihat bahwa wanita itu sangat mengkhawatirkannya. “Masih sakit. Mungkin tiduran sebentar bisa lebih baik,” jawab Tristan dengan tersenyum tipis. Ia merasa bersalah telah membuat wanita itu mencemaskannya, tetapi di satu sisi ia merasa sangat senang walaupun harus menggunakan cara licik seperti ini. Ya, demi mempertahankan diri untuk menetap di apartemen wanita itu, Tristan terpaksa meminum obat pencahar yang dibelinya kemarin agar Helena tidak mendepaknya keluar dari apartemen hari ini. Sebelumnya ia sudah menerka jika Helena tidak akan membiarkan dirinya untuk terus tinggal bersamanya karena wanita itu selalu berkata sesuai yang diucapkannya sehingga Tristan terpaksa mempersiapkan rencana cadangan ini dan ternyata rencananya berhasil! Manik mata Helena menyipit tajam. Timbul kecurigaan di dalam hatinya atas kondisi kesehatan Tristan yang menurun secara drastis. Ia berpikir jika pria itu telah melakukan sesuatu hal di belakangnya dan berpura-pura sakit untuk mencari perhatiannya. Akan tetapi, wajah pucat dengan bibir yang terlihat kering dan tubuh yang lemas tidak terlihat seperti sedang bersandiwara. Helena tidak tahu bagaimana pria itu bisa berakhir seperti ini di saat ia ingin mengusirnya keluar. Melihat kondisi Tristan yang lemah, ia menjadi tidak tega untuk melakukannya. Apalagi Helena tahu jika hubungan Tristan dan orang tuanya memang sedang tidak baik karena dirinya. Helena berpikir jika ia mengusir Tristan hari ini, setidaknya Tristan bisa kembali ke orang tuanya. Walau bagaimanapun, kedua orang tua pria itu tidak mungkin membiarkan putra semata wayang mereka tinggal di jalanan. Terpaksa Helena mengesampingkan niatnya terlebih dahulu hingga kondisi Tristan kembali pulih. Wanita itu menghela napas lelah, lalu berkata dengan nada yang tidak lagi terdengar pedas seperti biasanya, “Kamu istirahatlah dulu di sini. Apa mau ke rumah sakit? Kebetulan aku juga mau jemput Nayra dan ibuku.” “Tidak usah. Aku tidak mau merepotkanmu. Kamu pergilah menjemput mereka. Aku di sini saja,” timpal Tristan dengan suara yang masih terdengar lemas. Helena mengangguk kecil. Ia berniat melangkah pergi, tetapi Tristan kembali memanggilnya dan berkata, “Tolong sampaikan maafku kepada Nayra karena tidak bisa menepati janjiku. Kemarin aku sudah berjanji padanya untuk datang menjemputnya bersamamu.” Wanita itu tertegun sejenak. Ia kembali mengangguk dan berkata, “Di atas meja masih ada sedikit nasi dan sisa lauk yang kumasak tadi. Kamu bisa memakannya kalau mau. Untuk sementara waktu, kamu jangan memakan yang pedas dulu. Aku tidak mau nanti pulang menemukan jasad di kamar ini.” Seulas senyuman lebar pun terukir di wajah Tristan atas perhatian di balik ekspresi dingin mantan kekasihnya itu. Ia sudah menduga jika wanita itu masih memiliki hati nurani yang penuh cinta, tetapi selalu saja ia diberikan wajah dingin setiap berbicara dengannya. “Baik, Sayang,” ucapnya yang membuat Helena memutar bola matanya dengan kesal. Helena tidak lagi mengatakan apa pun dan langsung pergi meninggalkan apartemennya. Tristan langsung mengepalkan kedua tangannya membentuk tanda semangat karena rencananya untuk menetap di tempat tinggal wanita itu berhasil, tetapi tiba-tiba rasa mulas yang luar biasa kembali ia rasakan dan ia bergegas masuk kembali ke toilet untuk menuntaskan rasa sakitnya tersebut. Tristan tidak akan pernah melupakan perjuangannya ini seumur hidupnya!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN