Bab 8 - Strategi Helena

2361 Kata
Waktu makan siang telah tiba. Satu per satu karyawan Bamantara Group mulai meninggalkan meja kerja mereka untuk melepaskan penat atas pekerjaan yang sejak tadi memberondong tanpa henti. Akan tetapi, para staf ruangan divisi operasional tidak ada seorang pun yang beranjak dari meja kerja mereka karena sejak tadi atasan mereka tidak tampak ingin meninggalkan ruangan. “Psst!” Mely memberi kode isyarat suara kepada Nora, lalu menunjuk ke arah ruangan Helena dengan dagunya. Nora membalas dengan gelengan kepala, kemudian melirik ke arah Dewi yang langsung menundukkan wajahnya seolah menyibukkan dirinya dalam tumpukan pekerjaan. Mely menghela napas kesal karena kedua rekannya tidak ada yang mau masuk ke dalam ruangan untuk mengingatkan Helena bahwa sekarang adalah waktunya makan siang. Mereka bisa saja meninggalkan kubikel untuk menikmati waktu makan siang. Akan tetapi, ketiganya khawatir kalau Helena masih membutuhkan bantuan dalam hal pekerjaan dan mendapatkan tidak ada seorang pun di dalam ruangan tersebut. Bisa-bisa mereka diberikan kultum alias kuliah tujuh menit yang sangat pedas. Sudah bukan hal aneh lagi jika atasan mereka satu itu selalu melupakan waktu kalau sudah fokus bekerja sehingga mereka perlu mengingatkan Helena. Akan tetapi, sejak pagi suasana hati Helena sangat buruk. Karena ketidaksiapan proposal yang dibuat Bima, Helena terpaksa mengubah jadwal pertemuannya dengan investor lama mereka dan hal itu membuatnya diomeli oleh investor tersebut. Mely khawatir akan menjadi sasaran kemarahan Helena apabila ia mengusiknya. Apalagi tadi pagi mereka melihat sendiri bagaimana rekan baru mereka—Jovan menjadi korban amukan Helena. Setelah melaporkan kehadirannya, Jovan alias Tristan keluar dari ruangan Helena dengan luka goresan di bawah matanya. Baik Mely maupun yang lainnya sangat terkejut. Mereka tidak menyangka 'Ibu Ratu' mereka akan sampai tega menganiaya seorang karyawan baru karena alasan keterlambatan pria itu. Saat itu ketiga wanita itu menatap Tristan dengan penuh kekhawatiran dan rasa iba, tetapi tidak ada satu pun yang berani melayangkan protes kepada Helena secara langsung. Tristan tidak menyangka luka karena goresan kuku Helena pada wajahnya akan menjadi trauma yang cukup mendalam bagi para rekan kerjanya saat ini. Padahal Tristan sudah menjelaskan kepada ketiga wanita itu bahwa luka itu akibat kecerobohannya sendiri. Sayangnya, mereka beranggapan bahwa Tristan hanya ingin menutupi kejadian tersebut. Namun, berkat kesalahpahaman itu, Tristan menjadi lebih mudah beradaptasi dengan lingkungan barunya. Ia mendapatkan cukup pengarahan dan penjelasan atas pekerjaannya dari ketiga wanita itu. Akan tetapi, kedamaian Tristan tidak berlangsung lama. Sejak dua jam yang lalu, telepon di atas meja ketiga rekan wanitanya tak hentinya berdering. Helena terus memberikan setumpuk pekerjaan secara darurat kepada Tristan melalui ketiga wanita itu. Tindakan Helena ini membuat ‘para dayangnya’ terheran-heran. “Sepertinya Ibu Ratu sengaja mempersulitmu, Jov. Apa yang sudah kamu lakukan pada Ibu Ratu tadi sampai dia membencimu seperti ini?” celetuk Nora yang baru saja menerima panggilan dari Helena untuk kesekian kalinya. Helena baru saja meminta Nora untuk menyerahkan laporan pengeluaran dari setiap divisi yang seharusnya diperiksa Nora sebelum akhir hari ini kepada karyawan baru itu. Tentu saja Nora merasa sangat senang karena beban pekerjaannya berkurang setengah. Akan tetapi, Nora menjadi bersimpati kepada Jovan karena pria itu juga baru saja menerima pekerjaan yang seharusnya dipegang oleh Dewi atas perintah Helena. Beberapa menit lalu Mely juga diminta untuk menyerahkan pembenahan dokumen kepada pria itu. Suara helaan napas yang sangat panjang bergulir dari bibir Nora dan rekannya. Entah sudah berapa kali mereka mengeluh dengan pekerjaan yang tanpa henti diberikan Helena kepada Tristan sejak pagi ini. Nora dan yang lainnya semakin mengasihani pria itu. “Ibu Ratu punya dendam kesumat sama kamu ya, Jov?” celetuk Nora lagi ketika Tristan hanya menjawab pertanyaannya dengan senyuman saja. Hal itu membuat jantung Nora sempat berdebar dan tersipu malu, tetapi ia berusaha menutupinya. Ia akui jika pria itu sangat menawan. Netra Tristan melirik ruangan Helena sejenak. Ia tahu jika setiap perintah yang memberatkan dari Helena adalah sebuah tindakan kesengajaan yang dilakukan mantan kekasihnya itu. Helena sengaja memberikannya setumpuk pekerjaan untuk menekan Tristan sehingga ia menjadi tidak betah dan berakhir dengan mengajukan pengunduran diri dari posisinya. Sayangnya, Tristan tidak akan membiarkan Helena mengalahkannya dengan mudah. Meskipun ia menerima tumpukan pekerjaan itu dengan perasaan dongkol, tetapi ia ingin Helena melihat kegigihannya. Ia tidak akan menyerah hingga titik darah penghabisan! “Iya, kamu sama Ibu Ratu ada apa sih? Kok kayaknya dia benci banget sama kamu,” cetus Mely yang telah ikut menimbrung pembicaraan Nora dan rekan baru mereka. “Apa karena kamu mirip sama mantannya?” terka Nora secara spontan. Tristan berdeham pelan. Ia tidak menyangka insting Nora cukup tajam. Sejak tadi pagi wanita itu terus menyamakan dirinya dengan Tristan Rahardian meskipun ia sudah menggunakan identitas barunya. ‘Bisa gawat ini. Aku tidak boleh ketauan,’ batinnya. Tristan pun berpura-pura memasang wajah polos dan menatap Nora dengan cemas. “Aku juga tidak tau. Tapi, aku memang semirip itu?" tanyanya dengan suara yang tampak tertekan. "Ya ... memang rada mirip sih." Nora mencubit dagunya dan tampak berpikir keras, tetapi kemudian berkata, "Tapi, aku yakin kamu lebih ganteng darinya. Tristan Rahardian itu seorang yang berengsek. Aku tidak suka." Dewi yang telah berdiri di samping kubikel Tristan ikut mengangguk cepat, menanggapi pernyataan Nora. Diam-diam sudut bibir Tristan melengkung tipis. Ia tahu jika pesonanya memang sulit ditutupi meskipun ia menyamar dengan cara seperti ini. "Kalau memang Bu Helena membenciku karena alasan seperti itu, aku bisa apa. Aku tidak bisa menyalahkannya juga karena aku butuh pekerjaan ini untuk menyambung hidupku,” timpal Tristan dengan suara yang terdengar memelas. Ia sempat menceritakan sebuah kebohongan kepada ketiga rekan kerjanya itu mengenai asal usulnya saat mereka menginterogasinya tadi pagi. Ketiganya mengira jika Tristan berasal dari keluarga yang kesulitan ekonomi dan pria itu harus menanggung cicilan hutang peninggalan ayahnya sehingga mendapatkan pekerjaan sebagai seorang asisten di perusahaan ini adalah kesempatan terbaik untuknya. Raut wajah Nora langsung berubah sedikit sendu. Ia merasa bersalah karena telah menyudutkan rekan barunya itu dengan dugaannya tadi. Ia pun menepuk pelan pundak Tristan untuk menghiburnya, lalu berkata, “Maaf, anggap saja kalau tadi aku cuma asal bicara saja.” “Sebenarnya ada apa dengan Ibu Ratu hari ini? Aku sih senang saja pekerjaanku berkurang. Tapi, kamu apa tidak apa-apa, Jov? Bagaimana kalau aku membantumu?” ujar Dewi yang merasa tidak tega melihat pria itu dirundung oleh atasan mereka. “Tidak apa-apa. Aku bisa mengerjakannya sendiri. Sebaiknya kalian tidak usah mempedulikanku kalau tidak mau terlibat,” ujar Tristan yang memilih untuk menjaga jarak dari ketiga wanita itu. Perlahan ia menurunkan tangan Nora dari pundaknya dan kembali fokus mengerjakan laporannya. Ia tidak memiliki waktu untuk bergosip ria dengan ketiga wanita itu. “Mana bisa kami membiarkan penindasan ini, Jov. Memang tidak seharusnya kamu yang dilimpahkan kesalahan. Walaupun kamu memang salah sih karena terlambat tadi pagi. Tapi, Ibu Ratu memang keterlaluan kali ini. Bagaimana kalau kita mengajukan protes saja?” Dewi tiba-tiba mengajukan saran yang membuat wajah Mely dan Nora berubah pucat. Kedua rekannya langsung berpura-pura tidak mendengar ucapannya dan membuat Dewi berdecak kesal. “Ck, kalian benar-benar tidak setia kawan banget deh. Walaupun Jovan baru beberapa jam di sini, tapi dia itu juga saudara kita. Dayang Ibu Ratu juga lho. Sepenanggungan dan sependeritaan,” cetusnya dengan sok bijak. “Iya, aku tau, Wi. Tapi, aku tidak mau kena semprot lagi. Cukup tadi pagi aku ketiban sial,” celetuk Mely dengan wajah masam. Nora ikut mengangguk. “Aku rasa Ibu Ratu hari ini lagi PMS mungkin. Jadinya begitu,” timpalnya seraya terkikik geli. Dewi mengembuskan napasnya dengan kasar dan menatap kedua rekannya yang tidak peduli dengan kesulitan yang dihadapi rekan baru mereka. “Dewi, terima kasih atas niat baikmu. Tapi, kamu tidak perlu mencampuri masalahku. Aku tidak mau kalian jadi terlibat,” ucap Tristan dengan penuh perhatian dan membuat wajah Dewi menjadi mesam-mesem dengan kelembutan pria itu. “Jovan, coba saja dari dulu kamu bekerja di sini. Duniaku pasti akan terus berwarna setiap hari,” ucap Dewi sembari menatap Tristan dengan penuh kekaguman. “Sepertinya Bima harus banyak belajar dari kamu biar kita para jomlo tidak ngenes banget,” timpal Nora yang ikut membenarkan pernyataan Dewi. Selama ini mereka hanya melihat wajah Bima yang datar dan membuat hari-hari mereka semakin suram. “Woiii, sadar! Jangan ngehalu kejauhan! Kalian saja belum tanya Jovan sudah punya pacar atau istri belum?” Suara cempreng Mely langsung membuyarkan lamunan kedua rekannya. Sontak, bibir Dewi dan Nora langsung mengerucut. “Iya sih. Kamu masih single ‘kan, Jov?” Dewi langsung menginterogasi Tristan dengan penuh selidik. Namun, Tristan tidak ingin menanggapi pertanyaan yang membosankan tersebut dan sengaja mengalihkan pembicaraan. “Sekarang sudah waktunya makan siang, bukan? Kalian tidak ada yang mau pergi ke kantin?” “Nah! Ini pertanyaan yang paling aku suka dan aku tunggu dari tadi sama kamu,” timpal Mely dengan ceria. Kening Tristan mengerut. Ia memandang Mely yang telah menghampiri kubikelnya. “Jov, coba kamu masuk ke dalam dan tanya sama Ibu Ratu. Apa dia tidak mau makan siang? Klan cacing di dalam perutku sudah memberontak nih,” bisik Mely dengan sorot mata yang menatap Tristan dengan penuh harap. Biasanya Bima yang akan selalu menjadi kambing hitam oleh Mely untuk berbicara secara langsung kepada Helena. Karena Bima sedang tidak hadir hari ini, Mely terpaksa menggunakan senioritasnya untuk meminta Jovan mewakili mereka berbicara dengan Helena. Walaupun tahu jika tidak seharusnya melibatkan karyawan baru itu, tetapi Mely tidak punya pilihan lain. Perutnya sudah keroncongan dan tidak lagi fokus untuk bekerja. Apalagi bergosip! Tristan melirik jam pada layar komputernya. Memang waktu makan siang bagi para karyawan hanya tersisa tiga puluh menit lagi. “Kalian pergi saja ke kantin. Biar aku saja yang menunggu Bu Helena di sini,” ucap Tristan yang membuat wajah ketiganya berseri-seri. “Oh ya ampun, Jov! Kamu memang malaikat penyelamat kami!” seru Mely secara spontan. Namun, keceriaan Mely sirna seketika saat Helena membuka pintu ruangannya dan melihatnya memeluk Tristan dari belakang dengan tubuh bongsornya. Bukan hanya Mely yang kaget, tetapi juga Tristan dan kedua wanita yang lain. Wajah Tristan langsung berubah pias. Ia kehilangan kata-katanya dengan tindakan Mely yang pasti telah menimbulkan kesalahpahaman di dalam pikiran Helena saat ini. Apalagi Nora dan Dewi juga ikut mengelilingi kubikelnya. Refleks, Tristan bangkit dari duduknya sehingga pelukan Mely terlepas. Ia meneguk salivanya dengan gugup saat tatapan Helena yang tajam tertuju padanya seolah ingin mencibirnya dengan kalimat pedas yang biasa ditujukan padanya. Sebelum Tristan ingin menjelaskan posisinya, Helena telah membuka suaranya lebih dulu. "Kalian tidak istirahat siang?" tanyanya seraya memperhatikan arloji di tangannya. "I-Ini kita baru saja mau tanya Bu Helena mau makan sama-sama atau tidak," jawab Mely dengan cepat. Tentu saja ia hanya sekedar basa-basi untuk memecahkan suasana yang canggung. Seperti biasanya Helena tidak akan berbaur bersama mereka. Ia tidak ingin membuat para bawahannya menjadi tidak selera makan karena keikutsertaannya. "Kalian pergi makanlah dulu. Saya sudah ada janji," ucap Helena. Ia juga memberikan waktu tambahan tiga puluh menit kepada para bawahannya itu. Tanpa melewatkan kesempatan berharga tersebut, ketiga wanita itu langsung meninggalkan tempat mereka. Dewi mengajak Tristan untuk ikut bersama mereka, tetapi pria itu menolak dan berdalih ingin menyelesaikan sedikit lagi pekerjaannya. Sepeninggalan ketiga wanita itu, Tristan pun beranjak dari tempat duduknya. Ia melihat Helena yang masih berdiri di samping kubikel Nora. Wanita itu masih sibuk menghubungi seseorang melalui gawainya. Setelah selesai berbicara, Helena menyimpan telepon genggamnya itu kembali ke dalam handbag yang dibawanya. Ia menatap Tristan dengan tajam, kemudian memalingkan wajahnya. Akan tetapi, langkahnya terhenti karena Tristan meraih pergelangan tangannya. "Apa yang kamu lakukan? Lepaskan!" desis Helena dengan dingin. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling karena khawatir ada orang lain yang memergoki mereka nanti. Perlahan Tristan melepaskan genggamannya, lalu berkata, "Maaf. Aku cuma ingin mengatakan kalau tadi tidak seperti yang kamu pikirkan. Tadi mereka—" "Tidak perlu menjelaskannya. Aku tau kamu makhluk seperti apa," sela Helena dengan sinis. Ia tidak menyangka jika Tristan masih saja akan menebar pesonanya untuk mendapatkan perhatian dari para wanita di lingkungan kantornya ini. Namun, Helena tidak ingin mempedulikan hal tersebut karena semua tindak tanduk Tristan tidak ada hubungannya sedikit pun dengannya. Tristan memandang Helena dengan lekat. Ia mengulum senyumnya, lalu bertanya, "Apa kamu sedang cemburu, hm?" "Dasar narsis," celetuk Helena dengan acuh tak acuh. Ia tidak ingin menanggapi kekonyolan pria itu. Tristan mengedikkan bahunya. "Apa kamu mau makan siang bersamaku?" ajaknya. "Apa kamu tidak mendengar kalau saya sudah punya janji tadi?" timpal Helena tanpa menoleh. "Memangnya siapa yang akan makan siang bersama dengan wanita dingin sepertimu? Aku tau kalau kamu hanya beralasan untuk menghindariku, bukan?" cetus Tristan yang membuat wajah Helena berubah nanar. Pandangan wanita itu langsung menghunus tajam seperti sebilah belati, tetapi Tristan tetap tidak goyah. Ia sudah mendengar banyak cerita dari para ketiga rekannya mengenai Helena. Wanita itu memang selalu menjaga jarak dengan bawahannya sendiri sehingga menciptakan rumor yang tidak sedap mengenai keangkuhannya. "Tidak usah sok tau tentangku, Tris. Sebaiknya kamu menjaga sikapmu dan tidak perlu asal menilaiku. Cukup lakukan pekerjaanmu dengan baik kalau tidak ingin angkat kaki dari perusahaan ini," ucap Helena dengan penuh intimidasi. Wanita itu menutup dirinya rapat-rapat seperti sebuah cangkang kerang yang sangat keras. Tristan tahu jika luka-luka yang pernah diberikan kepada wanita itu telah membentuk mutiara indah di dalam cangkangnya tersebut, tetapi wanita itu tidak ingin membiarkan siapa pun untuk mencuri mutiaranya. Tristan bisa saja membuka paksa cangkangnya. Namun, ia tidak ingin melukainya lagi. Ia ingin menunggu waktu yang tepat agar kerang itu memberikan dirinya sendiri dengan suka rela, lalu memperlihatkan mutiaranya yang indah kepada Tristan dan ia tahu bukan waktu yang singkat agar dapat mengubah pendirian wanita itu. "Aku tau kamu sengaja mempersulitku, Helena. Tapi, kamu harus tau kalau aku tidak akan menyerah hanya karena cara kekanak-kanakkanmu ini," ucap Tristan. Ia menunjukkan tekadnya dengan tegas kepada wanita itu. Kedua bola mata Helena membulat besar. Ia merasa Tristan terlalu percaya diri dapat mengubah perasaannya. Ia tahu jika mempersulit Tristan adalah hal yang terlalu berlebihan yang pernah dilakukannya, tetapi ia hanya ingin pria itu menyerah saja dan tidak lagi mengusik kehidupannya. Sayangnya, Tristan terus menerobos masuk ke dalam lingkaran yang dibuat Helena untuk membatasi dirinya. "Helena, kamu sudah siap?" Suara pria yang baru saja masuk ke dalam ruangan mengalihkan pandangan Tristan. Putra keluarga Rahardian itu sangat terkejut dengan sosok pria berusia yang cukup matang menghampiri Helena. Apalagi ketika Helena membalas senyuman pria itu dengan sangat manis seolah ingin memanas-manasi hati Tristan yang sedang diliputi dengan kemarahan. Namun, Tristan tahu jika ini adalah salah satu strategi yang dilakukan Helena untuk mendepaknya keluar dari lingkaran yang dibuat wanita itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN