Pemikiran Yang Bagus

1652 Kata
Lelaki berpakaian santai dengan hodie putih hitam yang sebelumnya menyapa Arya itu kemudian mendekati Arya setelah sebelumnya ia duduk di belakang tempat Arya menunggu. Pria berkacamata itu nampak tidak asing walaupun potongan rambutnya terlihat cepak. Dia kemudian duduk di samping Arya. Arya masih kebingungan dengan pria yang ada di hadapannya itu sampai Arya bertanya sekali lagi saat ia duduk di sana. "Kamu siapa? Kok kenal aku?" tanya Arya bingung menatap ke arah pria itu. "Ternyata bener kata orang-orang, ya? Kamu gak akan pernah kenal dengan temen satu sekolah mu karena kamu terlalu nolep dan tidak mengingat orang disekitarmu," ucap pria itu menyandarkan punggungnya pada sofa. "Jangan-jangan kamu juga murid IBS?" Arya tetap menatap lelaki itu dan mencoba untuk menebak siapa dia. "Seharusnya kamu tau dari lambang sekolah yang ada di punggung hodie ini," ucapnya yang kemudian menunjukkan gambar yang terpampang besar di punggungnya. "Bener, kamu anak IBS? Kamu kenal aku? Kamu kelas berapa?" tanya Arya penasaran karena ia belum pernah melihat lelaki itu di sekolah. Lelaki itu menarik napasnya panjang kemudian melepaskan perlahan. Dia menoleh dan tersenyum lalu menceritakan siapa dia sebenarnya. "Ya ampun kenapa orang kayak kamu bisa masuk IBS, sih?" Lelaki itu kemudian menepak keningnya. "Kenapa kamu malah ngejek aku?" tanya Arya. "Dulu ada sekitar enam orang kalo gak salah, mereka itu orang-orang yang terpilih masuk ke IBS karena beasiswa dan salah satunya adalah aku, dulu aku emang gak kenal kamu tapi waktu naik ke kelas dua kita bertemu untuk pertama kalinya, saat itu kamu kesiangan begitu juga aku." Lelaki itu mulai menceritakan bahkan saat ini kejadian itu seperti terulang lagi di memori kepalanya. Beberapa tahun lalu tahun ajaran baru dimulai, kelas Arya saat ini adalah kelas sebelas. "Aku gamau telat! Pak jangan tutup dulu." Arya berlari dan mencoba secepat mungkin untuk bisa masuk ke sana. "Maaf ya aku harus tutup biar kalian jera," ucap pak satpam yang langsung menutup gerbang cukup kuat sedangkan tinggal beberapa langkah lagi ia sampai ke dalam tetapi, satpam itu seakan sengaja agar Arya telat. Sebenarnya bukan tanpa alasan Arya telat datang, sebelumnya ia membantu seseorang menepi setelah kejadian tabrakan di jalan arah ia berangkat sekolah, Arya tidak menceritakan alasan itu karena ia berpikir bagaimana bisa pak satpam akan percaya jika ia tak memiliki bukti. Seorang laki-laki kemudian membantu Arya yang juga telat datang ke sekolah. "Pak satpam! Tunggu dulu! Kami telat bukan karena tanpa alasan tapi, liat video ini." Lelaki itu menunjukkan sebuah rekaman di mana Arya menolong ibu-ibu yang terjatuh dari motornya untuk menepi. Video berdurasi kurang lebih lima menit itu menampilkan dengan jelas bagaimana Arya melakukan sebuah tindakan terpuji sehingga satpam merasa kagum dan membiarkan mereka masuk. "Jadi kamu bocah yang ngejual nama aku supaya bisa masuk sekolah juga? Padahal kamu gak nolong ibu itu sama sekali, loh." Arya ingat lelaki itu yang ternyata pernah membantunya lolos dari satpam sekolah. "Tapi karena aku merekam video itu kamu jadi bisa masuk, kan?" ucap lelaki itu tersenyum. "Iya juga, sih. Kamu pinter juga ya memanfaatkan momen dan keadaan," ucap Arya. "Hahaha begitulah kehidupan, kita harus pintar-pintar mencari celah agar bisa survive." "Ngomong-ngomong sebenarnya nama kamu siapa, sih? Sejak saat itu aku belum pernah kenalan sama kamu. Terus kenapa tiba-tiba ada di sini?" tanya Arya. "Aku sering pergi ke cafe ini karena suasananya nyaman dan aku juga sering memanfaatkan cafe buat pake WiFi di sini." Lelaki itu menatap Arya tersenyum kembali kemudian menyebutkan namanya. "Namaku Vito." "Vito? Namanya unik juga," ucap Arya. "Tapi nama ini selalu membawa keberuntungan buat aku, seperti yang ibuku sering katakan." Kemudian Vito meminum minumannya. "Jadi, kamu dapet beasiswa juga sekolah di sini? Jalur apa?" tanya Arya penasaran. "Sama seperti kamu lah, kan kita bareng waktu itu," jawab Vito. "Kamu orang kaya?" tanya Arya lagi penasaran. "Hahaha ya ampun orang-orang selalu bilang kayak gitu padahal aku ini bukan siapa-siapa terlebih lagi ketika keluarga ku hilang di telan bencana dua tahun yang lalu," ucap Vito memperhatikan es di dalam gelasnya sembari tersenyum mengingat kenangan antara dia dengan keluarganya. "Maaf aku gak bermaksud kayak gitu," ucap Arya merasa tidak enak hati karena bertanya sesuatu yang mungkin bisa membuat Vito teringat kesedihannya. "Hahaha gapapa aku udah ikhlas, lagian semua itu udah takdir, kan? Kamu jangan khawatir aku ini kuat, loh." Vito memandang Arya memberikan tawanya. Dalam sekejap sepertinya mereka cukup akrab dan bisa berbicara dengan baik. "Sebenernya aku bingung, kenapa kamu tau kalo temen-temen aku gamau ngerjain tugas? Kamu tau dari mana kami mau ngerjain tugas kelompok?" tanya Arya penasaran karena tidak ada yang tahu jika mereka akan melakukan kerja kelompok, lagi pula Arya tidak mengatakan apapun saat membalas pesan dari teman-temannya itu. Vito hanya tersenyum dengan memejamkan matanya kemudian satu jarinya seakan menekan kacamata agar terpasang lebih pas. "Hehe itu cuma tebakan, soalnya aku sering nemuin kasus kayak gitu di sini, beberapa anak yang pintar mencoba untuk mengerjakan tugas kelompok memanfaatkan WiFi tetapi, terkadang yang ngerjain cuma satu orang sementara orang lainnya cuma main-main, untuk kasus seperti kamu memang banyak juga, yang bisa membuat aku tau kalo kamu pasti sedang ngalamin yang satu itu. Iya, kan?" Vito menoleh ke arah Arya dengan senyuman nampak giginya terlihat manis walaupun Arya membenci senyuman itu. "Ampe hapal gitu, ya? Hebat juga kamu. Jadi darimu kamu dapat uang buat nongkrong di cafe ini? Bukannya ini cafe mahal? Kamu bilang bukan orang kaya." Arya heran dengan apa yang dilakukan Vito selama ini yang ia bilang sering berada di sana untuk nongkrong. Sekali lagi Vito menunjukkan ekspresi sama seperti sebelumnya, ia tersenyum hingga nampak giginya yang putih lalu menatap Rio dengan mengangkat satu alisnya kemudian menceritakan semuanya. "Hehehe itu gampang banget, semua orang yang aku temuin rata-rata nanya kayak gitu tapi diantara mereka hanya beberapa orang yang berhasil," ucap Vito nampak seperti seseorang yang ingin memasarkan sebuah produk. "Jadi? Maksudnya apaan?" Arya masih belum bisa mengerti ucapan Vito. "Aku mengambil uang dari orang-orang kaya itu kemudian aku mengerjakan tugas mereka, mereka meminta contekan padaku kemudian aku meminta uang mereka, mereka ada tugas dan tak mengerti kemudian aku beri tahu dan aku pinta uang mereka, mereka ada tugas kelompok dan tidak bisa berpikir apapun lalu aku pinta uang mereka terima jadi." Vito menyeringai menatap Arya sembari berdiri sekarang tangan kanannya ia arahkan ke Arya kemudian jari tangan kirinya menyentuh dan menekan pelan kacamatanya. "Apa-apaan itu gaya kayak gitu udah kayak film-film anime aja," gumam Arya memberikan tampang innocent. "Hahaha!" Vito tertawa bahagia. "Jadi, kamu kayak masang tarif buat orang-orang yang nyontek sama kamu? Atau gimana sih?" tanya Arya masih belum mengerti. "Ya ampun kamu polos apa bodoh, sih? Ya iyalah! Mereka ngasih aku uang kalo bisa ngerjain apa yang mereka minta dalam hal pelajaran. Di sekolah aku yang dulu juga gitu tapi aku cuma dapet seribu dua ribu tapi, kalo di sekolah elit ini aku bisa dapet lima sampai dua puluh ribu perorang bayangin hahaha!" Vito tertawa kembali sampai ia tersedak saking puasnya tertawa. "Uhuk! Uhuk! Aduh minum minumku mana?" Vito kemudian minum dan menormalkan kembali keadaannya. "Wah apa mereka mau? Bukannya itu malah bikin mereka gabisa apa-apa, ya?" ucap Arya merasa jika tindakan yang dilakukan Vito sudah menyimpang pikirnya. "Mereka sendiri yang nawarin kayak gitu, mereka lebih milih kasih uangnya daripada tugas mereka gak dikerjain, lagian ini bukan sebuah kejahatan, kan? Aku nyebut ini jasa mengerjakan tugas, mempermudah urusan mereka hehehe." Vito tersenyum. "Iya juga, sih tapi sisi buruknya mereka gak akan ngerti sama pelajaran yang udah di kasih di sekolah, hal itu bakal berdampak juga di kehidupan mereka nantinya, bukan?" Arya masih mencoba untuk meluruskan pemahamannya dengan Vito. "Arya, Arya. Kam tau apa soal itu? Mau ngerti atau engga itu gak penting, serius gak penting. Mereka sekolah bukan buat belajar, kebanyakan mereka nyari nilai dan bukan ilmu, sistem pendidikan di negeri ini membuat semua orang berpikir jika yang lebih utama adalah nilai dan ijazah, selain itu gak ada urusan. Lagian kalo kamu nyari kerja yang diliat nilai ijazah, kok. Bukan aktivitas kamu di dalam kelas, ditambah lagi mereka orang kaya yang bisa bekerja di manapun asalkan ada uang. Mereka juga bisa kuliah di manapun dengan uang yang mereka miliki, akui saja jika faktanya memang seperti itu. Sekolah bukan untuk belajar tetapi, cuma nyari nilai dan gak peduli gimanapun caranya yang penting semua orang punya nilai." Vito tersenyum seperti biasanya, gigi putihnya membuat Arya malah berpikir lebih jauh. "Dia bener, kebanyakan orang sekolah bukan buat belajar. Walaupun beberapa diantaranya serius tetapi, sistem pendidikan membuat beberapa orang lemah dan terlihat bodoh. Padahal setiap orang memiliki kelemahan dan kelebihannya masing-masing tetapi, hal itu yang menjadikan banyak orang curang dengan kehidupannya. Mereka yang memiliki kemampuan kurang dari standar harus melakukan berbagai cara agar bisa bertahan sehingga cara apapun mereka lakukan agar bisa sampai tujuan. Ya walaupun di sekolah memang mengedepankan akademik sehingga kompetensi akademik yang harus dikedepankan padahal diantara semua itu ada hal yang jauh lebih berguna untuk menghadapi kehidupan yang akan datang, bakat. Bakat adalah sesuatu yang bisa membantu lebih dari apapun walaupun orang-orang gak sadar akan kemampuan itu," gumam Arya menghela napasnya kemudian tersenyum setelah mendengar penjelasan Vito. Arya berdiri dari sana dan berterimakasih kepada Vito karena dia sudah membuka pikiran Arya di sana. "Semua orang punya caranya sendiri untuk menyelesaikan masalah, semua orang punya caranya sendiri untuk berpikir. Vito, aku seneng kamu udah mau bicara banyak sama aku, aku jadi tau sama semua kebiasaan orang-orang dan terimakasih berkat kamu aku jadi sadar jika seseorang itu memiliki kemampuan dan keahliannya masing-masing. Aku pulang dulu, ya? Kayaknya aku harus cepet-cepet kerjain tugas ini soalnya waktunya udah mepet, nih. Makasih Vito aku pulang dulu." Arya berpamitan kemudian pergi meninggalkan Vito. Vito hanya tersenyum saat Arya meninggalkannya dan sedikit memberikan sebuah saran. "Kalo kamu gabisa melakukan apa yang biasa orang lain lakukan, maka cari sendiri apa yang bisa kamu lakukan. Semua ikan di laut bisa berenang tapi, cara mereka mencari mangsa berbeda-beda. Aku harap kamu baik-baik saja dan jangan sampai dimanfaatkan orang-orang itu, ya?" Vito tersenyum kepada Arya. "Iya, makasih kawan." Arya tersenyum dan cukup lega mendengar sebuah pemikiran baru dari teman seangkatannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN