Semua Sudah Terlambat

1040 Kata
Chelsea berlari sekencangnya, air matanya mengalir. Kakinya mendadak kehilangan daya rasa, hingga ia tak mampu merasakan sakit yang mendera. Chelsea menghentikan langkah dan mencoba mengatur napasnya yang terengah-engah. Ia segera bersembunyi di balik pohon saat melihat Angga yang berdiri di hadapan rumah mereka begitu sampai di tempat itu. Chelsea memperhatikan wajah lelaki itu dalam kegelapan, sekelebat rasa pedih menjalar perlahan.  Semenit kemudian, Lelaki itu tersenyum tipis. Ia hendak berjalan pergi, namun berbalik sekali lagi untuk menatap rumah yang pernah mereka tempati bersama. Walau dari kejauhan, Chelsea dapat melihat luka yang sama pada wajah lelaki itu. Annga menggeret kopernya, lalu meninggalkan tempat di mana mereka memulai semuanya dari awal. Lelaki itu masuk ke dalam taksi yang menunggunya. Pergi meninggalkan Chelsea sendiri dalam kegelapan. Kaki Chelsea mendadak kehilangan tenaga, keberanian yang sudah dikumpulkannya sembari berlari ke tempat ini sirna secara tiba-tiba. Ia hanya bisa menjadi pengecut yang mengamati bayangan lelaki itu yang lama-kelamaan menghilang dari pandangannya. Chelsea berlari dari acara pemakaman ayahnya ke tempat ini. Ia menyesali keputusannya karna telah memilih pergi. Ia sadar, jika dirinya tak ‘kan sanggup sendiri dan yang diperlukannya adalah Angga. Setelah kehilangan semuanya, ia tak ingin turut kehilangan lelaki yang dicintainya. Akan tetapi, nyalinya menciut. Keberanian dan semua kata yang disusun dalam benaknya, buyar begitu saja. Ia bagai tengah mengejar kereta yang melaju kencang, sekuat apa lariannya, ia tak ‘kan bisa mengejar kereta tersebut. Kini, hanya kata terlambat yang membuat penyesalan menyiksa bathinnya. Sakit bukan main. Chelsea terkulai lemah. Ia menangis tersedu-sedu, berteriak dalam kegelapan dan hatinya tak lagi utuh. Dadanya sesak bukan main dan ia tak pernah tahu jika kehilangan dan juga cinta bisa begitu menyakitkan. Sakitnya terlalu menyiksa hingga tak mungkin menjadi sekedar mimpi yang akan berakhir saat ia membuka mata. Sesakit inikah cinta? *** Chelsea menatap sendu rumah yang sudah ditempatinya semenjak lahir. Sungguh, tak ada yang abadi di dunia ini, termasuk harta. Semua itu hanya titipan. Jika Tuhan berkehendak, dalam semalam semua harta yang dibanggakan akan menghilang tak bersisa. Cengkraman pada lengan membuyarkan lamunan Chelsea. “Apa rencana, Non?” “Iya, Chel. Apa rencanamu sekarang?” Olive menimpali. Semua orang yang dulu sering dihibur oleh Chelsea dengan harta yang ia miliki, kini tak nampak batang hidungnya saat ia kesusahan. Mendadak mereka menjauh dan bersikap seakan tak mengenalnya. Chelsea sempat meminta bantuan beberapa orang yang dulu dikiranya adalahnya temannya, namun saat melihat Chelsea, mereka seakan melihat hantu dan segera berlari menjauh. Miris memang, bagaimana mudah mendapatkan teman saat memiliki harta banyak, namun tak ada satupun yang bisa disebut teman saat kita berada di bawah. Chelsea pun harus menjual rumah pemberian ayahnya untuk hari pernikahan mereka demi modalnya melanjutkan hidup. Beruntung, rumah itu atas nama dirinya, hingga ia masih memiliki sedikit uang untuk mulai menata kembali masa depannya. Akan tetapi, uang hasil penjualan rumah tak tersisa banyak karna Chelsea menggunakannya untuk membayar sisa-sisa hutang ayahnya. Chelsea menggeleng. Sungguh, ia tak tahu apa yang dapat dilakukannya kini. Jangankan tempat tinggal, ia tak lagi memiliki siapapun yang dapat diandalkannya. Mengingat betapa kesepiannya dirinya membuat air mata kembali jatuh. Bi Lisa mengusap air mata Chelsea. “Non Chelsea akan tinggal bersama saya.” wanita paruh baya itu menoleh ke arah Olive, “Saya pernah dibelikan rumah sederhana oleh Tuan dan ini saatnya kami menempati rumah itu.” Chelsea mengarahkan pandangan ke arah Bi Lisa dan senyum menenangkan wanita paruh itu membuatnya meresa tak sendiri. Ia memeluk erat wanita itu. “Makasih, Bi. Makasih.” “Non harus mulai memikirkan masa depan, Non.” Olive mengangguk setuju. “Iya, Chel. Kehilangan segalanya, bukan berarti kamu harus kehilangan masa depanmu juga.” Gadis bertubuh kecil itu tersenyum sembari mencengkram pundak Chelsea, “Kami berdua masih ada untukmu.” Hati Chelsea menghangat. Ia memeluk erat kedua wanita penyemangat hidupnya itu dan berulang kali mengucapkan terimakasih. Setidaknya, Tuhan tak sejahat itu. Ia masih diberikan malaikat pelindung yang selalu mendukung dan berada di sisinya. Ada makna dari semua yang terjadi. Mungkin, Tuhan ingin mengajarkan dan memberitahu arti sebenarnya dari ketulusan. Tuhan ingin Chelsea melihat, jika hidup tak selamanya indah, namun akan ada beberapa orang yang tetap tinggal dan membuat hidup kembali berwarna. *** Bi Lisa meletakkan secangkir teh di meja, lalu duduk di sofa yang ditempati Chelsea. Ia mengusap lembut wajah gadis itu. Semua ini tentunya sangat berat bagi gadis muda seperti Chelsea. Umurnya baru sembilan belas tahun, namun ia sudah melewati banyak hal dalam sekejap. Dunia yang tadi dipenuhi dengan semua kegiatan anak muda sirna dalam sekejap. Mengandung, menikah, kehilangan keluarga, dan juga harta benda. Jika saja Bi Lisa ada di posisi Chelsea, ia pasti berpikir untuk mengakhiri hidup saja. Akan tetapi, tidak dengan gadis di hadapannya. Ia masih setegar karang yang tak goyah meski dipukul ombak. “Bibi akan menemani masa depan, Non.” Chelsea meletakkan kepalanya pada d**a bidang Bi Lisa. Menikmati aroma tubuh wanita paruh baya yang sudah mengasuhnya sejak kecil. Orang yang selalu dianggapnya ibunya sendiri. Bi Lisa mengusap-usap punggung Chelsea. “Semua akan baik-baik aja, Non.” Air mata Chelsea mengalir deras. Semua ini terlalu berat untuknya. Jika saja tak ada Bi Lisa, maka Chelsea pasti menyerah dengan pahitnya hidup. Ia tak tahu apa yang harus diperbuatnya? Ingin melanjutkan kuliah, namun tak ada biaya. Uang sisa penjualan rumah semakin menipis, ia tak mungkin mengharapkan Bi Lisa yang sudah tua untuk bekerja bagi mereka. Jika dirinya bekerja, maka yang menjadi bekalnya hanya ijazah SMA. Tak mungkin ia mendapatkan pekerjaan kantoran yang penghasilannya lumayan. Toh, sarjana saja sudah susah mencari pekerjaan di zaman sekarang ini. “Apa yang mau Non lakukan sekarang? Bibi akan mendukungnya.” Chelsea melepaskan pelukan mereka, air matanya mengalir semakin deras, sedetik kemudian ia menangis histeris, terdengar begitu pilu, hingga hati Bi Lisa turut nyeri dibuatnya. Pertanyaan mudah itu bagai siksaan. Sungguh, Chelsea kehilangan arah dan tujuan hidupnya. Ia tak tahu apa yang harus dilakukannya lagi. “Aku nggak tahu, Bi.” Chelsea terisak. Bi Lisa tersenyum tipis, lalu kembali membawa Chelsea ke dalam pelukannya. Ia mengusap-usap lembut punggung Chelsea, meminta gadis itu berhenti menangis dan mengucapkan mantera ajaib yang telah dibaginya pada gadis itu beberapa hari belakangan. “Nggak usah takut, Non. Kita akan memikirkannya bersama. Semuanya akan baik-baik aja, Non. Kita pasti bisa menghadapi semua ini berdua. Non jangan nyerah ya.” Chelsea mengangguk walau air matanya terus mengalir. Dirinya seakan tengah berdiri di tepi jurang, salah melangkah sekali lagi, maka ia akan terjatuh di jurang yang dalam. Hatinya tak lagi utuh, jika kembali pecah, maka tak ada apa pun yang tersisa dari dirinya. Semuanya sudah amat sangat terlambat. Ia tak tahu arah mana yang harus dituju. Semuanya menjadi gelap dalam sekejap dan dunianya tak lagi berwarna.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN