Suara televisi yang memenuhi ruangan seakan tak terdengar. Keduanya saling berpandangan dalam diam. Angga berlutut di hadapan Chelsea dan tak berniat sedikitpun beranjak dari tempatnya. Berulang kali ia memohon dan menangis, namun Chelsea tak memperdulikannya. Gadis itu seakan menulikan telinga.
Angga mengeratkan genggaman tangannya dan menatap gadis itu memohon. “Chel ... aku nggak mau kita bercerai. Aku mohon, pikirkan semuanya baik-baik.” Lelaki itu menempatkan kepalanya pada pangkuan Chelsea. “Kita sama-sama kehilangan, Chel. Jadi jangan lepaskan aku. Aku nggak bisa kehilanganmu, setelah kehilangan anak kita.”
Chelsea menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Ini ketiga kalinya ia memaki Angga, lalu meminta cerai dari lelaki itu, dan selalu berakhir sama, lelaki itu memohon dan menangis di kakinya. Chelsea tahu, jika ia sudah bersikap kejam pada lelaki itu, namun ia tak mau terus-terusan mengikat lelaki itu dalam pernikahan yang membuat lelaki itu kehilangan banyak hal.
“Aku mau bercerai.” Chelsea tetap pada pendiriannya.
Air mata Angga mengalir semakin deras, punggungnya bergetar hebat. Chelsea ingin mengusap punggung lelaki itu, memeluknya, dan mengucapkan kata cinta beribu kali, namun ia sadar, jika cintanya hanya mampu menyakiti lelaki itu.
Angga mengadahkan wajah dan menangkup wajah gadis itu dengan kedua tangannya. “Chel ... aku cinta sama kamu. Permintaanmu ini sama aja dengan memintaku mencabut keluar jantungku, Chel. Mati.”
Jantung Chelsea berhenti berdetak mendengarkan perkataan Angga. Andai Angga tahu, semua ini demi kebaikannya. Tak ada gunanya tetap bersama, jika Chelsea hanya menghalangi masa depan lelaki itu. Yang Chelsea inginkan adalah kebahagiaan suaminya.
Chelsea berdiri dan segera menjauh dari Angga. “Aku akan pulang ke rumah papa dan menyiapkan semuanya. Aku harap, kamu akan menandatangani berkas perceraian yang akan ku kirim nanti. Kebersamaan kita hanya menambah beban hati, Ga. Lepaskan aku dari semua ini.”
Angga dengan cepat mengejar Chelsea yang hendak beranjak pergi dan memeluk erat tubuh gadis itu. “Chel ... jangan begini, Chel. Aku nggak mau.”
Chelsea mendorong tubuh Angga dengan kasar dan menatap lelaki itu dingin. “Pada akhirnya, apa yang papa bilang ada benarnya, Ga. Kamu nggak bisa buat aku bahagia.”
Perkataan Chelsea membuat kaki Angga mendadak lemas. Pedih merasuki bathin dan dengan susah payah ia memaksakan diri untuk tidak terkulai lemas di hadapan Chelsea. Angga seakan tak mengenal Chelsea yang di hadapannya saat ini. Wajah dan tatapan dingin yang gadis itu tunjukkan, tak seperti Chelsea yang dicintainya.
Chelsea yang sadar, jika Angga tak ‘kan mengejarnya lagi segera beranjak pergi dengan menggeret koper kecil yang berada di samping pintu rumah. Sementara Angga hanya mampu menatap kosong punggung Chelsea yang lama kelamaan menghilang dari pandangannya.
***
Beberapa hari perpisahan dengan Angga bagai bertahun-tahun lamanya. Tak banyak yang bisa Chelsea lakukan sembari menikmati kesendiriannya. Ia hanya menatap kosong keluar jendela, berharap Angga datang dan menjemputnya.
Ilusi pun mulai tercipta, di mana ia kerap menemukan sosok Angga saat menutup mata, lalu bayangan itu menghilang begitu kedua matanya dibuka. Tak ada yang mengetahui betapa rindu itu menyiksanya. Rindu perasaan yang menyesakkan d**a, menyiksa otak, dan juga bathin secara perlahan. Mengantarkan rasa sesak yang begitu sulit diterima hati. Chelsea tak menyukai kerinduan semacam ini.
“Non ... belum makan?” cengrakam pada pundak membuyarkan lamunan Chelsea. Gadis itu menoleh ke sumber suara dan tersenyum tipis.
“Sebentar lagi, Bi.”
Bi Lisa duduk di sofa yang tengah Chelsea tempati. Ia mengusap lembut wajah gadis itu. “Kenapa dipaksakan berpisah kalau memang nggak sanggup, Non? Sesuatu yang dipaksakan itu nggak akan pernah berakhir baik. Yang ada, Non hanya menyiksa hati. Kalian berdua yang tersiksa dengan perpisahan ini, Non.”
Chelsea tersenyum lirih. “Cintaku terlalu besar, Bi. Aku nggak mau melihatnya hancur bersamaku. Masa depannya masih panjang dan aku hanya menjadi penghalang baginya.”
Bi Lisa menggeleng. “Non Chelsea akan menjadi penyemangat Nak Angga, bukan penghalang. Kalian sudah melewati banyak untuk mencapai titik ini. Apa Non pikir, dengan melepaskan, kalian akan bahagia?”
Chelsea menatap ke dalam manik mata wanita paruh baya di hadapannya. “Selama pernikahan kami. Aku lebih banyak menorehkan luka di hatinya, Bi. Angga nggak akan bisa maju jika terus bersamaku. Dia menjadi takut dan selalu mengikutiku yang berjalan mundur. Aku nggak mau cinta yang seperti itu untuk Angga.”
“Tapi, apa Non pernah menanyakan perasaan Nak Angga? Apa memang ini yang dia inginkan? Apa dengan saling melepaskan, Nak Angga bisa melangkah maju tanpa beban?”
Chelsea menggeleng. “Nggak perlu ditanyakan karna aku tahu kehilangan yang kami rasakan akan menambah beban hatinya. Bila beban di hati sudah menumpuk, maka nggak ada seorang pun yang bisa maju dengan membawa beban yang terlalu berat.”
Bi Lisa tersenyum. Di satu sisi, ia merindukan Chelsea yang manja dan egois daripada Chelsea yang dewasa dan rela tersakiti seperti ini. Wanita itu membawa Chelsea ke dalam dekapannya, lalu mengusap-usap punggung gadis itu.
“Tapi, sekarang Non yang harus menanggung semua beban seorang diri,” bisik Bi Lisa lirih, “Jika Non pikir, Nak Angga nggak sanggup melangkah maju dengan membawa beban berat, apa Non sendiri sanggup melakukannya?”
Air mata Chelsea mengalir, bukan karna merasa lemah. Namun ia tak lagi memikirkan hatinya sendiri karna cinta yang dimilikinya untuk Angga. Tanpa sadar, ia sudah melewati batas cinta itu sendiri. Terlalu dalam, hingga tak mampu menuju permukaan dan membiarkan dirinya sendiri tenggelam dalam cinta yang menjeratnya.
“Aku harus sanggup, Bi.” Chelsea melepaskan pelukan mereka, “Aku mau kembali seperti dulu. Melihat senyumnya dari kejauhan sudah lebih dari cukup.”
Bi Lisa mengusap air mata Chelsea. “Ternyata kesayangan Bibi udah dewasa.”
Keduanya saling bertukar senyum. Bi Lisa kembali membawa Chelsea ke dalam pelukannya. Ia tahu, jika Chelsea tak baik-baik saja dan memerlukan tempat bersandar, maka ia akan menjadi tempat di mana Chelsea bisa mengistirahatkan hatinya sejenak.
***
“Kasihan sekali dia. Yatim piatu dan sekarang bangkrut.”
“Gadis malang, masih muda, tapi beban hidupnya seberat itu.”
“Kasihan sekali ... ditinggal suami dan juga ayah. Kehilangan bayi. Sekarang malah nggak memiliki apa pun. Ditinggalkan dengan hutang yang menumpuk sampai nggak punya apa-apa.”
Chelsea tersenyum tipis mendengarkan pembicaraan orang-orang tentang dirinya. Yang bisa ia lakukan hanya tersenyum dan mengucapkan terimakasih pada semua yang memberikan ucapan belasungkawa padanya.
Sementara Bi Lisa yang setia menemani dirinya. Wanita paruh baya itu yang bersikap kejam dengan memelototi beberapa orang yang sedari tadi bercerita buruk tentang Chelsea. Ia bingung, mengapa Chelsea bisa bersikap tenang. Padahal Bi Lisa tahu benar jika Chelsea begitu hancur saat ini. Gadis itu bahkan berusaha menahan tangis padahal hatinya hancur berantakkan.
“Bi ... aku mau cari udara segar. Bibi bisa urus acara ini sebentar?”
Bi Lisa menepuk-nepuk pundak Chelsea. “Pergilah, Non.”
Chelsea mengangguk seraya pergi. Di perjalanan meninggalkan tempat itu. Chelsea masih mendengar banyak kata-kata buruk yang orang ucapkan tentang dirinya. Harusnya mereka mengucapkan kata penghiburan dan sebagainya, bukan memojokkannya seperti saat ini.
Chelsea kehilangan ayah, harta, cinta, dan juga semua yang ia miliki. Dalam sekejap dunianya hancur. Ayah Chelsea terkena serangan jantung, tak kuat menahan kebangkrutan perusahaan yang dirintisnya dari dulu.
Chelsea mempercepat langkahnya. Air mata yang sedari tadi ia tahan jatuh begitu saja. Semakin cepat langkah, maka semakin deras air matanya mengalir. Hatinya pedih bukan main. Ia kehilangan seluruh oksigen yang diperlukannya untuk bernapas, sesak hingga ingin mati rasanya.