Chelsea tersenyum sembari melambaikan tangan pada seorang wanita yang berdiri di samping mobil sedan merah. Chelsea mempercepat langkah dan segera memeluk erat sahabatnya, Olive. Wanita itu terkekeh melihat Chelsea yang seakan tak pernah berubah.
“Segitu kangennya sama aku?”
Chelsea memajukan bibir. “Setahun kita nggak ketemu.”
Olive tergelak. “Kek, lagi ninggalin pacar, deh. Gimana kabarmu dan Bi Lisa? Kalian sehat, ‘kan? Sehabis ini, aku mau main ke rumah.”
“Kami sehat banget. Kamu sendiri gimana? Udah jadi orang sukses nih.”
Wanita itu tersenyum. “Semua ini berkatmu. Sekarang saatnya aku balas budi.”
Chelsea menggeleng. “Masa depanmu jauh lebih cerah, jadi nggak ada salahnya aku menginvestasikan uangku untuk pendidikanmu. Toh sekarang, aku udah bisa nyambung kuliah karnamu. Melihatmu sukses seperti sekarang udah cukup membuatku puas.”
Chelsea memutuskan untuk tak melanjutkan kuliah lima tahun lalu, meski uang sisa penjualan rumah bisa digunakannya untuk melanjutkan pendidikannya dan mungkin kini ia memiliki masa depan yang lebih cerah. Lima tahun lalu, Olive, satu-satunya sahabat yang ia miliki mengalami kesulitan biaya untuk melanjutkan pendidikan, maka Chelsea memberikan semua uang yang dimilikinya untuk Olive. Ia tahu jika Olive lebih pintar, pekerja keras, dan masa depan wanita itu lebih cerah darinya, maka ia membiarkan Olive melanjutkan pendidikan dengan uang yang ia miliki. Toh, Chelsea telah kehilangan semangat hidup dengan semua yang telah ia lalui. Daripada, menggunakan sedikit uang yang ia miliki untuk sesuatu yang tak penting, Chelsea menyerahkannya pada Olive.
Awalnya, Olive menenang keras keputusan Chelesa. Ia tak cukup gila untuk memeras sahabatnya yang sudah cukup kesulitan, namun perkataan Chelsea malam ini membuatnya sadar, jika ia harus melakukannya agar bisa mengembalikan semangat hidup Chelsea. Masih teringat jelas dalam pikiran Olive kata-kata yang Chelsea ucapkan malam itu; “Liv ... hidupku sudah cukup hancur, jadi aku mau kamu maju dan sukses. Bukan untukmu sendiri, tapi juga untukku.”
Olive tak menyangka Chelsea begitu percaya padanya. Olive bekerja keras untuk segera lulus dan mencari pekerjaan yang baik. Beruntung, setelah tamat kuliah, ia langsung diterima di sebuah perusahaan asing yang mengajinya cukup besar, namun ia harus rela dikirimkan ke Singapura selama setahun. Kini setelah setahun berlalu, Olive kembali untuk mengembalikan apa yang pernah Chelsea berikan untuknya. Ini saatnya menata kehidupan Chelsea.
“Gimana kuliahmu? Udah jalan satu tahun, ‘kan?”
Chelsea mengangguk. “Lancar jaya, walau rasanya nggak seperti dulu.” Chelsea tersenyum tipis. Kini, rasanya berbeda walau ia mengambil jurusan yang sama. Ia sudah sangat terlambat.
“Nggak ada kata terlambat untuk pendidikan.” Olive membuka pintu, “Yuk, kuantar pulang.” Ia segera berlari ke arah pintu pengemudi begitu Chelsea sudah duduk di bagian penumpang.
“Keluar saja dari pekerjaanmu itu dan fokus dengan kuliah. Aku akan membiayai semuanya. Begitu juga dengan biaya hidupmu dengan Bi Lisa. Mungkin, akan lebih baik juga kalau aku tinggal di rumah kalian, jadi aku bisa memantaumu.” Olive berkata panjang lebar begitu sudah duduk di kursi pengemudi.
“Kamu bahkan lebih parah dari papaku dulu.” Chelsea tersenyum, “Aku udah bersyukur banget kamu mau biayain aku kuliah, tapi aku nggak bisa melepaskan pekerjaan ini. Selain jam kerja yang hanya setengah hari, bayarannya juga cukup besar. Aku harus membiayai diriku sendiri dan juga Bi Lisa, kamu pun punya kehidupanmu sendiri, Liv. Aku nggak mau menjadi benalu. Kamu patut menikmati keberhasilan itu sendiri.”
Olive menggeleng tak setuju. “Aku bekerja keras bukan untuk diriku sendiri, tapi untuk kalian, satu-satunya keluarga yang masih kumiliki. Aku nggak akan bisa menikmati hasil kerja kerasku ini seorang diri. Aku nggak mau, Chel!”
Chelsea menggeleng-geleng. Sahabatnya itu masih sama keras kepalanya seperti dulu. Waktu berlalu, namun tampaknya sangkala tak melakukan banyak untuk mengubah pribadi seseorang. Buktinya, dirinya juga masih sama seperti dulu. Gadis malang yang kehilangan banyak hal. Walau ia berusaha maju, kakinya seakan terikat.
“Jangan suruh aku keluar dari pekerjaan ini. Aku mau belajar mandiri. Udah saatnya aku dewasa. Karna kalian, aku bener-bener nggak bisa jadi dewasa,” ucap Chelsea sembari mengerucutkan bibirnya.
Olive tertawa kecil. “Kamu udah cukup dewasa. Kata Bi Lisa, kamu bahkan sudah sangat pintar dalam membersihkan rumah. Masakanmu juga enak.” Olive menoleh sekilas ke arah Chelsea, “Aku harus mencicipinya. Kamu masak nggak?”
Chelsea tergelak. “Mau dimasakin apa? Aku udah jago banget.”
“Apa aja deh. Yang penting, nggak bakalan buat aku mules.”
Chelsea memukul pelan lengan Olive. Sedetik kemudian keduanya berbagi tawa. Mereka kembali bercerita tentang banyak hal yang mereka lewati. Tentang kegiatan sehari-hari dan juga rencana masa depan, namun Olive tak berani membuka topik tentang masa lalu. Chelsea memang terlihat baik-baik saja, akan tetapi ia tahu, Chelsea masih sama hancurnya.
***
Seorang wanita yang rambutnya mulai memutih, menyambut keduanya dengan senyum hangat. Olive berlari, menghambur ke dalam pelukan Bi Lisa. Wanita paruh baya itu memperhatikan wajah Olive yang sudah tampak lebih terawat dari sebelumnya. Wanita itu bahkan sudah mulai memperhatikan pakaiannya dan tampak stylish.
Bi Lisa melepaskan pelukan mereka. “Olive makin cantik aja.”
Wanita itu tergelak. “Bibi bisa aja.”
“Ada Olive, aku diabaikan.” Chelsea kini berdiri di belakang punggung Olive dan tak mau bersusah payah menyembunyikan kekesalannya. Wanita paruh baya itu berjalan mendekat, lalu memeluk erat tubuh Chelsea.
“Mana mungkin Bibi bisa mengabaikan, Si Non cantik ini.”
Chelsea berdesis sebal. “Nggak usah manggil Non lagi, Bi.”
Wanita itu mengusap lembut rambut Chelsea. “Panggilan Non itu seperti panggilan Nak, buat Bibi. Non nggak mau dianggap anak Bibi?”
Chelsea berdecak sebal. “Dasar bibi curang!”
Keduanya berbagi tawa. Sedetik kemudian, Olive berdiri di antara keduanya dan mengaitkan tangannya pada lengan keduanya.
“Lebih baik, kita masuk ke dalam dan biarin Chelsea masak. Aku udah penasaran banget mau nyobain masakan, Si nona muda ini.”
Chelsea memutar mata malas, sedang Bi Lisa tertawa. “Kamu bakalan ketagihan dengan masakan, Non Chelsea. Nggak sia-sia belajar masak selama lima tahun.”
“Ih ... Bibi.” Chelsea memberengut, kedua orang itu tertawa melihat sikap Chelsea yang sebenarnya tak banyak berubah, Tampaknya, memang waktu tak mampu mengubah apa pun.
Ketiganya masuk ke dalam rumah dan bercerita tentang banyak hal. Chelsea mulai memasak ayam teriyaki handalannya dibantu dengan Bi Lisa, sementara Olive memilih duduk dan menjadi penonton setia. Ia tak lelah mengomentari betapa hebatnya Chelsea yang sekarang dan Chelsea yang merasa bangga tentu semakin pamer dengan apa yang bisa ia lakukan sekarang.
Tawa kembali memenuhi rumah yang tak begitu besar itu. Walau tak selengkap dulu, namun Chelsea merasa bahagia dan begitu bersyukur. Jika tak ada keduanya, mungkin ia sudah berada di tumpukan tanah. Tak ada seorang manusia pun yang mampu menghadapi masalah seberat dirinya tanpa ada orang yang setia di sampingnya.
Chelsea begitu beruntung.