Bulan dan bintang di langit tampak indah menghiasi angkasa, malam jadi saksinya akan cinta yang memerlukan keberanian besar untuk bersama. Kini, keduanya tahu jika jalan di hadapan mereka masih panjang dan berliku. Kehilangan mungkin cara Tuhan untuk mengajarkan mereka untuk lebih saling menghargai dan tak melepaskan.
Angga membelai lembut rambut panjang Chelsea. Gadis yang berada di pangkuan Angga memejamkan mata, menikmati sentuhan lelaki yang begitu dicintainya.
“Ga ... sampai kapan kita bisa bersama seperti ini?”
Pertanyaan itu kerap menghantui Chelsea. Memiliki Angga tak sepenuhnya membuat ketakutan menghilang, justru mencintai seseorang kerap membuat hati melemah dan merasa was-was, seakan cinta memiliki waktu kedaluwarsa yang akan membuat semua rasa yang dulu begitu disukai musnah dalam sekejap.
Angga menautkan jemarinya di sela-sela jemari Chelsea. “Kita akan selalu bergenggaman seperti ini. Sampai tua, sampai jadi debu, Chel.”
Senyum Chelsea mengembang, ia memeluk tangan Angga dan memejamkan mata. Merelakan bukanlah hal yang mudah, namun apa yang dikatakan Bi Lisa kemarin ada benarnya. Jalan mereka masih panjang. Jika dirinya menyerah saat ini, Angga akan tersiksa karna berjuang seorang diri. Harusnya, semua masalah membuatnya semakin tegar, bukan menyerah.
Yang harus mereka lakukan adalah bergenggaman tangan dan tak pernah melepaskan lagi. waktu tak mungkin diputar kembali dan ia tahu, mungkin ini cara Tuhan mencintai mereka. Tuhan tak ‘kan pernah memberikan cobaan di luar kemampuan umatnya. Karna merasa yakin, mereka dapat melewatinya, maka Tuhan memberikan ujian ini pada mereka. Yang harus mereka lakukan adalah menerima dan mencoba menjalani rencana Tuhan dengan berbesar hati.
“Chel ... maafin aku.” Angga menempelkan wajah mereka. “Aku nggak bisa menjagamu dengan baik. Aku terlalu baperan, sampai-sampai membuat kita menghadapi semua ini. Jika saja, aku nggak egois, mungkin semua ini nggak terjadi,” lanjut Angga lirih. Air mata lelaki itu jatuh.
Chelsea segera mengubah posisinya menjadi duduk. Ia menggeleng, lalu mengusap lembut air mata lelaki itu. “Ini bukan salah siapapun, Ga. Ini semua rencana Tuhan dan kita harus belajar menerimanya. Tuhan lebih sayang sama anak kita.”
Chelsea menempelkan kening mereka. “Yang terpenting sekarang. Kita masih bersama dan nggak terpisahkan, Ga.”
Inilah cinta yang Chelsea banggakan selama ini. Tak tergoyahkan. Dengan sombong ia mengatakan pada ayahnya, jika cinta mereka kekal abadi dan ia akan membuktikannya pada seluruh dunia, jika memang cinta keduanya tak ‘kan pernah mati.
“Aku nggak akan pernah meninggalkanmu, Chel. Aku janji itu.” Angga menangkup wajah Chelsea dengan kedua tangannya dan menatap ke dalam manik mata gadis itu.
Ia memang tak bisa diandalkan, namun ia akan menjadi yang terbaik untuk gadis itu. Mereka akan dewasa bersama, bergenggaman tangan dan tak pernah lagi melepaskan. Ia akan bekerja keras dan tak mempedulikan dirinya sendiri agar bisa memberikan hidup layak untuk Chelsea. Ia akan melakukan apa pun untuk gadis itu.
Angga mempertipis jarak di antara wajah mereka, ia melumat bibir Chelsea lembut. Bibir keduanya bergerak seirama, kehangatan yang dibagi oleh tubuh dapat mereka rasakan hingga ke hati. Langit malam adalah saksi bisu akan cinta abadi yang tak mengenal kata akhir.
***
Wanita itu menyandarkan tubuhnya pada tembok dan menyembunyikan dirinya di sana. Dalam diam ia mendengarkan pembicaraan lelaki di hadapannya secara sembunyi-sembunyi. Chelsea yang baru pulang dari membeli sayuran untuk memasak masakan yang disukai suaminya itu mendadak membeku. Kakinya tak mampu dilangkahkan.
“Apa benar saya yang terpilih untuk kuliah di Inggris, Pak?”
Jantung Chelsea seakan berhenti dalam hitungan detik. Mendengarkan lelaki itu mendapatkan kesempatan baik membuat bahagia dan perih menjadi satu, merasuki hatinya.
Ada jeda sebelum pembicaraan berlanjut. “Baik, saya hanya terkejut dan nggak menyangkanya.”
Dapat Chelsea lihat senyum miris yang menghiasi wajah tampan yang begitu dikaguminya. “Tapi, Bapak tahu sendiri jika saya sudah menikah. Rasanya susah untuk meninggalkan istri saya sendiri di sini. Apalagi setelah kehilangan yang kami alami.”
Hati Chelsea seakan diremas kuat-kuat, sakit, hingga membuat dadanya terasa sesak bukan main. Kehilangan yang dimaksudkan lelaki itu semua karna kesalahannya. Jika saja ia tak bersikeras untuk keluar rumah saat hujan deras demi membeli sayur yang disukai suaminya. Andai saja, ia tak menghina lelaki itu, hingga merasa bersalah. Mungkin kini bayi mereka telah lahir ke dunia dan berada dalam pelukannya.
Kaki Chelsea begitu lemas dan ia telah kehilangan semua tenaga yang dimilikinya. Chelsea berjongkok, menutup mulut dengan kedua tangannya agar lelaki itu tak dapat mendengarkan isak tangisnya yang pilu. Ya Tuhan ... ini semua karna kebodohannya.
“Saya mengerti, Pak. Kesempatan emas ini nggak bakalan datang dua kali. Baik ... terimakasih banyak Pak atas tawarannya.”
Dengan sisa tenaga Chelsea menyeret tubuhnya untuk menjauhi tempat itu. Ia tak ingin lelaki itu tahu jika ia telah mendengarkan percakapan mereka. Chelsea berlari tanpa tujuan, hingga kakinya membawanya ke taman yang berada tidak jauh dari rumah mereka. Ia menarik napas, lalu menghelanya perlahan, berusaha mengatur napas yang terengah-engah.
Chelsea duduk pada bangku taman yang berada di bawah pohon Akasia besar. Ia mengadahkan wajah ke arah langit, menatap kosong angkasa yang begitu cerah, tak seperti hatinya yang kelam.
Chelsea tahu, jika ia harus mendorong lelaki itu menjauh. Ia tak boleh egois dan membiarkan lelaki itu jatuh bersamanya. Masa depan lelaki pintar seperti suaminya masih begitu cerah dan tak seharusnya cintanya membuat lelaki itu hancur.
Air mata kembali membasahi pipi Chelsea. Ia menepuk-nepuk pelan d**a, mencoba mengusir rasa sesak di d**a, namun tak peduli sekeras apa pukulannya. Rasa menyakitkan itu tak mau hilang, malah bertambah parah. Tangisan Chelsea semakin menjadi-jadi.
Ya Tuhan ... bisakah aku melepaskannya? Aku telah kehilangan bayi kami, apa aku harus kehilangan dirinya juga? Bisakah aku hidup tanpanya?
Banyak tanya yang bermain di benak Chelsea. Tanya yang membuat dadanya semakin sesak dan ia tak tahu apa yang harus ia lakukan. Melepas berarti mati, namun mengikat lelaki itu pada tiang keegoisannya pun membuatnya merasa sakit bukan main.
Apakah ini pertanda, dongeng yang ia tulis harus segera diakhiri? Dirinya memang pernah berjanji tak ‘kan melepaskan dan menyombongkan cinta yang ia miliki untuk lelaki itu, namun ia tak mau menjadikan cintanya sebagai penjara bagi lelaki itu. Pernikahan bukanlah tali yang ia siapkan untuk mengikat kaki lelaki itu agar tak bisa melangkah maju.
Kini, ia diambang kebingungan, namun ia tahu benar, jika dirinya tak bisa egois. Egois berarti bukan cinta dan cintanya lebih dari sekedar perasaan yang ingin menang sendiri. Ia ingin bertumbuh dalam cinta. Menjauhkan lelaki itu dari mimpinya, berarti menghancurkan hidup Angga. Cukup dirinya yang berkorban, masa depan Angga begitu terang, tak seperti dirinya.