Melangkah Majulah!

1086 Kata
Angga meremas tangan Chelsea, namun gadis itu tak beraksi apa pun. Ia masih menatap kosong keluar jendela, sesekali air matanya turun, membuat Angga ikut menangis bersamanya. Mereka hanya bisa berpelukan sembari menangis tersedu-sedu. Tak ada rasa kehilangan yang bisa mengalahkan rasa yang tengah mereka hadapi saat ini. “Chel ... makan ya, Sayang.” Angga mengusap-usap tangan Chelsea. Angga yang tahu, jika Chelsea tak akan merespon segera membawa piring berisikan nasi dan lauk, lalu duduk di samping gadis itu. Ia mengusap air mata yang kembali membasahi pipi mulus Chelsea, hatinya tersayat pedih setiap melihat gadis itu menangis. “Makan ya, Sayang.” Ia mengusap wajah Chelsea, “Aku mohon.” Angga menempatkan sendok berisi makanan di hadapan mulut Chelsea, sedang gadis itu menutup rapat mulutnya. “Chel ...” panggil Angga lirih. Sudah dua hari lamanya gadis itu tak mau makan, hingga Angga frustrasi dibuatnya. Angga sudah berusaha sebisa mungkin agar Chelsea menghentikan aksi mogok makannya, namun ia selalu gagal. Angga merasakan hal yang sama, sama-sama kehilangan dan juga hancur, namun ia tak boleh ikut-ikutan jatuh demi Chelsea. Ia harus kuat untuk gadis yang dicintainya itu. Kehilangan bayi mereka tak bisa ia selamatkan, namun ia tak mau turut kehilangan Chelsea. Suara bel rumah, membuat Angga segera meletakkan piring di meja dekat sofa yang ditempati Chelsea, lalu ia berjalan untuk membukan pintu rumah mereka. Angga tersenyum saat menemukan Bi Lisa yang berdiri di hadapannya. “Saya pikir, Non Chelsea akan membutuhkan saya di sisinya.” Angga mengangguk. Ya, mungkin yang dibutuhkan Chelsea saat ini bukan dirinya, melainkan sosok ibu yang bisa didapatkannya dari Lisa. Terkadang, memang ada hal yang di luar kemampuannya. Ia tahu, jika ia tak bisa melakukan banyak hal. Angga segera menggeser tubuhnya dan mempersilahkan Lisa masuk. Lalu ia mengantar wanita itu kepada Chelsea. “Non Chelsea.” Chelsea segera menoleh saat mendengar suara wanita paruh baya yang begitu dirindukannya. Ia segera berdiri dan berhambur ke dalam pelukan Lisa. Tangisnya mengalir deras dan ia berteriak histeris. “Bi ... aku kehilangan bayiku, Bi. Aku bukan ibu yang baik. Aku nggak bisa menjaganya. Aku begitu bodoh, Bi. Aku mau anakku kembali, Bi.” Chelsea terisak. Tangisan pilunya membuat d**a Lisa sesak bukan main, Bi Lisa segera memeluk erat tubuh lemah Chelsea dan mengusap-usap punggung gadis itu. “Non Chelsea nggak boleh begitu. Harus diikhlaskan, Non. Non Chelsea adalah ibu yang baik, hanya saja, Tuhan lebih sayang sama anaknya Non.” “Aku memang nggak berguna, Bi. Selalu nyusahin orang, sampai kehilangan bayiku.” Bi Lisa melepaskan pelukan mereka, menangkup wajah Chelsea dengan kedua tangannya, lalu tersenyum tipis. Dihapusnya air mata gadis itu penuh kasih. “Non Chelsea nggak pernah nyusahin siapapun. Justru Non yang kerap memberikan cahaya bagi hidup orang lain. Anak Non pasti sedih melihat ibunya seperti ini. Yang telah pergi, harus diikhlaskan agar kita bisa melangkah maju, Non.” Chelsea menggeleng. “Aku nggak mau melangkah maju tanpa bayiku, Bi. Aku mau dia dikembaliin. Aku bahkan belum sempat lihat wajahnya, belum merasakan sentuhannya, dan belum mengendong tubuh kecilnya, Bi.” Tangis Chelsea semakin menjadi-jadi. Perkataan Chelsea membuat hati Angga perih. Dadanya sesak, seakan kehilangan seluruh oksigen yang berada di sekitarnya, ia kesulitan bernapas. Air mata Angga mengalir deras. Ia hanya bisa menangis tersedu-sedu melihat kehancuran Chelsea, ia merasa begitu tak berguna. “Non ... bukan hanya Non yang terluka dan kehilangan. Nak Angga juga merasakan hal yang sama. Kalau Non nggak mau melangkah maju, apa nggak kasihan sama suami Non.” Bi Lisa menoleh ke arah Angga dan menatap lelaki yang tampak sama hancurnya seperti gadis yang begitu dikasihinya. Bi Lisa kembali mengalihkan pandangan ke arah Chelsea dan mengusap lembut wajah gadis cantik itu. Chelsea menoleh ke arah Angga dan kini matanya seakan terbuka. Ia melihat Angga yang sama hancurnya dengan dirinya. Chelsea berjalan ke arah Angga, memeluk erat tubuh lelaki itu dan mereka menangis tersedu-sedu bersama. Sementara Bi Lisa menatap keduanya dari kejauhan. Hatinya kacau melihat sepasang insan manusia yang saling mencintai bisa hancur secara bersamaan. Sungguh, hati itu sungguh rapuh. Menit demi menit telah berlalu. Kini Angga dan Chelsea sudah tak lagi menangis dan duduk di meja makan dalam keheningan. Bi Lisa meletakkan piring berisikan nasi dan juga lauk pauknya di hadapan keduanya. “Makan dulu. Kalian berdua pasti belum makan.” Chelsea menggeleng. “Aku nggak selera, Bi.” Bi Lisa mengusap puncak kepala gadis itu. “Sejak kapan, Non nggak selera sama masakan Bibi? Bibi udah jauh-jauh datang dan masakin masakan kesukaan Non, tapi Non malah nggak mau makan. Bibi sedih loh.” Bi Lisa menunjukkan wajah murung yang membuat Chelsea mendadak merasa bersalah. “Mau bibi suapin?” Chelsea menoleh ke arah Angga. Jika saja, suaminya itu tak ada di sana, maka dengan girang dan mengangguk antusias Chelsea menerima tawaran wanita paruh baya itu. “Bibi suapin ya?” Angga berdiri dan berjalan ke samping Chelsea. Ia mengulurkan tangan, meminta piring yang ada di tangan Bi Lisa. “Aku aja yang suapin, Bi.” Bi Lisa mengangguk dan memberikan piring tersebut pada Angga. Lelaki itu menarik kursi dan duduk di samping Chelsea. Ia tersenyum seraya mengulurkan sendok berisi nasi dan lauknya pada Chelsea. Dengan perlahan gadis itu membuka mulut, membuat senyum Angga mereka. Setelah memakan satu suapan dari Angga, Chelsea mengambil sendok dari tangan Angga. “Kamu juga makan ya. Aku tahu, beberapa hari ini, kamu juga nggak makan.” Angga mengangguk. Chelsea mengulurkan sendok berisi lauk pauk dan juga nasi pada mulut Angga. Lelaki itu tersenyum, lalu menerima suapan Chelsea. Keduanya berbagi senyum dan saling mengusap air mata. Mereka makan bersuap-suapan, membuat Bi Lisa yang menatap keduanya mulai merasa lega. Chelsea tahu, tak harusnya ia egois karna bukan dirinya sendiri yang bersedih. Manusia memang kerap tak mampu melihat luka orang lain dan merasa menjadi orang paling menderita di dunia ini. Kesedihan, menutup semua yang dapat terlihat oleh mata. Padahal, yang harus mereka lakukan adalah berdiam sejenak dan memandang sekeliling untuk menemukan ada orang lain yang merasakan luka yang sama. Bi Lisa mencengkram pelan pundak keduanya dan tersenyum manis. “Kalian harus kuat karna jalanan kalian masih panjang, Jangan jadikan kehilangan ini sebagai alasan untuk saling melepaskan. Terkadang, saat terluka, kalian perlu bergenggaman agar nggak jatuh,” Keduanya saling menatap, lalu mengangguk. Chelsea mengambil tangan Bi Lisa yang ada si pundaknya dan mengecup punggung tangan wanita paruh baya itu. Ia tersenyum pada wanita yang sudah dianggapnya sebagai ibunya itu. “Makasih, Bi. Kalau nggak ada bibi, aku pasti akan terus terpuruk.” Bi Lisa tersenyum, lalu mengusap puncak kepala Chelsea. “Non adalah kesayangan Bibi. Bibi nggak akan pernah membiarkan Non terjatuh.” Ia mengecup puncak kepala gadis itu, “Makan yang kenyang. Kalian berdua butuh tenaga,” lanjut Bi Lisa sembari menambahkan nasi pada piring yang sudah kosong. “Bibi juga ikutan makan.” Bi Lisa mengangguk, lalu duduk di kursi di hadapan keduanya. Ia mulai mengisi piringnya dan ikut bersantap dengan mereka. Ia menceritakan banyak hal tentang kondisi rumah setelah kepergian Chelsea, tentang Jacob, dan banyak hal. Tak lupa, Bi Lisa memberikan kata-kata penguat bagi sepasang muda mudi di hadapannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN