Suasana cafe yang ramai dan juga aroma kopi memenuhi setiap sisi ruangan, suasana yang sangat dirindukan Chelsea. Gadis itu tersenyum lebar dan menatap sekeliling dengan bahagia, bagai memasuki dunia yang telah lama ia tinggalkan.
Beberapa orang sibuk mengobrol dengan asyiknya, dan lainnya menikmati kopi di hadapan dalam senyap. Orang-orang punya cara masing-masing dalam menikmati hidup, membuat Chelsea sadar jika dunia ini terlalu beragam. Masuk ke dunia Angga membuatnya mulai mampu melihat banyak hal, perbedaan yang dulu dianggapnya hanya sebatas status sosil, ternyata memang bagai jurang pemisah.
“Udah kayak diajakin ke mana aja, sampai seneng bukan main.” Perkataan Olive membawa Chlesea kembali ke alam nyata. Gadis itu memberengut, lalu kembali menikmati kopi yang selama ini tak pernah dinikmatinya lagi.
Bukan karna Angga pelit dan tak mau membelikannya, lelaki itu bahkan sering menawarinya, namun Chelsea sadar diri dan tahu benar akan kemampuan finansial suaminya. Lagipula, dirinya tengah mengandung, hingga ia mengurangi minuman mengandung kafein yang begitu disukainya.
“Aku udah lama nggak keluar rumah.”
Oliver tertawa mengejek. “Makanya, jangan ngebet mau nikah. Terima sendiri resikonya, ‘kan? Menikah bukan sekedar enak saat di ranjangnya aja, tapi tanggungjawabnya lebih berat. Apalagi kamu akan segera punya bayi.”
Chelsea menarik napas panjang, lalu menghelanya perlahan. “Ya, berat banget, tapi nikmat,” ucap Chelsea sembari tersenyum lebar.
Olive menggeleng-geleng. “Dasar bocah!”
Bukan merasa tersinggung, Chelsea malah menjulurkan lidahnya, tak peduli dengan ejekan sahabatnya. Walau sekarang, ruang geraknya terbatas, ia merasa bahagia. Saat pagi membuka mata dan menemukan Angga di sisinya, maka ia menjadi orang paling bahagia di muka bumi ini.
“So ... gimana Angga? Katanya, setelah menikah, kamu akan membenci pasanganmu.”
Chelsea menautkan kedua alisnya. “Dapat kalimat begitu dari mana?”
Olive memutar mata malas. “Dari internet lah.”
Chelsea terbahak. “Makanya jangan apa-apa cari di internet. Nanti sakit dikit, cari di internet, trus pas Om google bilang kamu sakit kritis, kamu malah percya.” Chelsea terbahak.
Olive mendengkus kesal. “No ... aku bisa menyaring informasi yang kudapatkan.”
Chelsea mengangguk-angguk. “Ya ya ya ... wanita bijak.”
Keduanya tertawa bersama. “Melihatmu bisa tertawa begini, membuatku nggak khawatir, Chel. Tampaknya, kamu udah mulai dewasa.”
Chelsea mengerucutkan bibir. “Kamu pikir, aku bayi.”
Olive mengangguk penuh keyakinan. “Yap ... bayi besar.”
Chelsea memutar mata jengah. “Aku akan segera menjadi ibu.”
“Makanya harus dewasa, jangan manja dan nyusahin.”
“Apa aku sebegitu nyusahin?”
Olive lagi-lagi mengangguk. “Banget. Kasihan Si Angga.”
Chelsea memukul pelan lengan sahabatnya. “Kebangetan kamu, Liv.”
Olive terbahak. “Tapi di satu sisi, kamu punya sifat baik yang ditutupi oleh sikap manjamu itu. Makanya, orang selalu menilaimu jelek. Manja dan nyusahin.”
Chelsea tersenyum tipis. Mungkin memang selama ini ia terlalu bergantung kepada orang lain dan menggunakan uang untuk semua yang ia butuhkan, hingga sikapnya itu kerap membuat orang salah paham.
“Yang penting, orang-orang yang ku sayang, tahu benar bagaimana sifatku.”
Olive tersenyum dan mengangguk setuju. Keduanya saling bertukar kabar dan cerita mereka dihiasi dengan canda tawa. Rasa cemas yang beberapa bulan ini tak ia tunjukkan, kini seakan sia-sia saat melihat rona bahagia pada wajah Chelsea. Ternyata, memang seajaib itu cinta.
***
Angga tersenyum miris menatap beberapa lauk yang tersaji di meja makan. Lagi-lagi, ia harus memakan masakan Chelsea yang kegosongan, keasinan, atau terlalu manis. Ia sudah meminta gadis itu untuk berhenti bereksperimen di dapur, namun semua itu sia-sia, Chelsea tetap bersikeras menyiapkan makanan untuk menyambut kepulangannya.
Angga bahagia melihat usaha Chelsea dan kerap menghabiskan hampir semua masakan Chelsea demi tak membahagiakan gadis itu. Lagipula, ia bukan seorang yang bisa membuang makanan dengan mudah.
“Chel ... besok nggak usah masak lagi ya, Sayang.”
“Kenapa? Kamu nggak seneng ku masakin?”
Angga menggeleng. “Aku nggak mau kamu capek. Lebih baik, aku yang masak.” Angga tak ingin menyinggung Chelsea. Ia tak mau mereka semakin boros, jika Chelsea terus-terusan memasak di dapur. Bukan hanya harus membersihkan semua kekacauan yang gadis itu ciptakan, namun Angga harus menahan diri dan menghabiskan semua masakan Chelsea.
“Maaf kalau sampai saat ini aku selalu nyusahin kamu.”
Angga menggeleng, lalu tersenyum. “Kamu nggak nyusahin,” Angga mengusap lembut wajah gadis itu, “Cuma sedikit merepotkan,” lanjutnya sembari tertawa kecil.
Chelsea mengerucutkan bibir, lalu memukul pelan tangan Annga. “Nyebelin!”
“Tapi beneran ... nggak usah masak lagi.”
Chelsea menarik napas panjang dan menghelanya perlaha. “Iya ... iya ... aku ngerti.”
Keduanya berbagi senyum. Angga melanjutkan kegiatan makannya, sementara Chelsea memperhatikan lelaki itu dalam diam. Hidupnya seakan sempurna, dan ia tak mau meninggalkan negeri dongeng yang ditempatinya bersama Angga.
***
Chelsea menatap Angga penuh amarah. Yang ia inginkan cukup sederhana. Ia ingin membelikan box bayi yang mahal dan tentunya bagus untuk bayi mereka yang akan segera lahir ke dunia. Ibu mana yang tidak ingin yang terbaik untuk anak mereka, bukan?
“Beli yang murahan aja, Sayang.” Angga memohon, “Kamu nggak seharusnya meminta uang dua puluh juta ke papa, hanya untuk membeli perlengkapan bayi kita.”
“Kamu memang nggak perhatian, Ga. Ini untuk anak kita dan aku mau yang terbaik.”
Angga mencengkram kedua lengan Chelsea dan menatap ke dalam manik mata gadis itu. “Aku juga menginginkan hal yang sama, tapi untuk saat ini aku nggak sanggup secara finansial.” Angga mengusap-usap lengan Chelsea, “Kita bisa cari yang bagus dengan harga yang lebih murah, sesuai dengan kemampuanku, Chel. Nggak seharusnya kita menyusahkan papa.”
Chelsea memutar mata jengah. “Karna tahu kamu nggak sanggup, makanya aku minta sama papa. Toh, ini juga untuk cucunya. Aku tahu benar kemampuan finansialmu, Ga! Kamu nggak sanggup untuk memberikan yang terbaik untuk bayi kita!”
Hati Angga seakan diremas. Tak mengapa bila semua orang menganggapnya hina, mertuanya mengejek kemampuan finansialnya, namun saat Chelsea sendiri meremehkannya, ia merasa hatinya pedih bukan main. Angga melonggarkan cengkraman tangannya dan menatap Chelsea sendu, ia tersenyum tipis.
Chelsea yang melihat sikap Angga segera menutup mulut dengan kedua tangannya. Ia sadar, jika ia sudah salah bicara. “Maaf, Ga. Aku nggak bermaksud ...” Chelsea hendak meraik pergelangan tangan Angga, namun dengan cepat lelaki itu menghindar.
Angga tersenyum tipis, sedetik kemudian air mata lelaki itu jatuh. Hati Chelsea pedih bukan main karna telah membuat lelaki yang harusnya ia bela malah merasa direndahkan. Ya Tuhan ... andai mulut memiliki tuas rem, maka semua ini tak ‘kan terjadi.
“Aku mau keluar sebentar, Chel.”
Angga segera pergi meninggalkan Chelsea, sedang gadis itu hanya mampu menatap sendu punggung Angga yang lama kelamaan hilang dari pandangannya. Kaki Chelsea mendadak lemah, ia terkulai lemas di lantai dan air matanya mulai jatuh membasahi pipi.
Tak seharusnya ia membiarkan amarah mengambil alih dirinya dan mengucapkan hal keramat yang membuat Angga merasa dikucilkan. Harusnya saat seluruh dunia menjauhi, dirinya yang merangkul Angga. Kala dunia meremehkan lelaki itu, Chelsea yang membela, namun apa yang dilakukannya? Ia telah menghancurkan hati lelaki yang begitu dicintainya.