Meja makan yang biasanya dihiasi ocehan Chelsea tampak sunyi. Hanya suara peralatan makan yang beradu piring, terdengar ke penjuru ruangan. Biasanya, Chelsea selalu mampu mencairkan suasana, namun kali ini terasa begitu sulit.
Jacob selalu menyela dan mengejek semua yang ia katakan tentang Angga, sementara lelaki yang telah menjadi suaminya itu hanya bisa terdiam dan menunduk. Bukannya membuat image suaminya menjadi lebih baik di mata Jacob, Chelsea seakan menjerumuskan suaminya ke dalam jurang, hingga pada akhirnya ia memilih bungkam dan membiarkan suasana hening mencengkam yang menemani santap malam mereka.
“Papa lupa, tadi siang papa udah transfer uang ke rekeningmu,” ucap Jacob memecah keheningan, sedang Chelsea meringis lalu melirik Angga.
Seperti dugaannya, lelaki itu tampak marah saat mendengar informasi yang disampaikan oleh Jacob. Chelsea tak meminta uang dari ayahnya. Ia hanya bercerita jika sudah lama mereka tak bertemu dan makan di restoran yang biasa mereka kunjungi saat akhir pekan. Mungkin ia bercerita terlalu antusias, hingga Jacob mengira ia sudah lama tak pernah makan enak.
“Aku nggak memintanya,” bisik Chelsea pelan.
“Kamu nggak ada hak melarang Chelsea meminta uang dari papanya kalau kamu belum bisa memenuhi semua kebutuhannya,” ucap Jacob santai. Ia dapat melihat gelagat tak biasa Chelsea. Biasanya anak gadisnya itu akan berteriak bahagia, memeluk dan mengecup pipinya dengan girang, namun kali ini Chelsea malah melirik takut-takut ke arah suaminya.
Sungguh keputusannya membiarkan mereka menikah adalah salah. Ia merasa sedih saat mendengar Chelsea ingin makan ini-itu, namun seakan menahan diri. Jacob sudah sangat mengenal putrinya walau mereka jarang menghabiskan waktu bersama. Ia tak bisa dibodohi dengan kata-kata Chelsea yang mengatakan, bahawa makanan di sana terasa membosankan. Yang benar saja, mana mungkin ada seseorang yang begitu menyukai makanan, secara tiba-tiba menjadi tidak berminat sama sekali. Jacob tahu, Chelsea kekurangan uang, hingga ia mengirimkan uang tanpa sepengetahuan putrinya. Ia ingin putrinya mendapatkan makanan yang layak, yang tentunya tak bisa ia dapatkan dari suami kerenya itu.
“Chelsea adalah tanggungjawab saya dan sudah seharusnya dia meminta pada saya yang notabene adalah suaminya. Saya harap, Chelsea bisa lebih dewasa menjalani pernikahan ini bersama saya.” ucap Angga tegas tanpa ketakutan sedikitpun.
Chelsea melirik kedua lelaki itu bergantian. Selalu permasalahan uang yang membuat semua menjadi runyam. Dulu sekali, uang selalu bisa membuat teman maupun dirinya tertawa, namun kini berbeda. Uang selalu menjadi permasalahan di antara dirinya dan juga Angga.
“Pa ... makasih banyak atas uangnya, tapi aku harus kembalikan ke papa.”
Jacob mengebrak meja, membuat Chelsea terkejut bukan main. “Apa salahnya seorang ayah memberi anaknya uang jajan. Papa nggak mau tahu, jangan dikembalikan. Simpan saja kalau belum mau digunakan,” ucap lelaki itu lalu melirik Angga, “Saya harap, kamu nggak lagi membuat Chelsea merasa terbebani hanya karna menerima pemberian ayah kandungnya,”
Sesungguhnya, Angga dapat mengerti maksud Jacob yang masih ingin memanjakan anaknya, akan tetapi cara lelaki itu salah. Kini, Chelsea tak lagi sendiri dan harusnya dirinya yang menanggung beban paling berat dalam menjaga Chelsea. Sungguh, ia tak mampu menyelami pemikiran orang kaya yang selalu menjadikan uang sebagai jalan keluar dalam setiap masalah. Selalu tentang uang dan uang, bagai tak ada hal lain di dunia ini yang lebih berharga daripada harta benda.
Chelsea menggenggam tangan Angga di bawah meja, menatap lelaki itu memohon agar tak melanjutkan perdebatan dan merusak acara makan malam mereka. Yang ia inginkan adalah makan malam keluarga dengan damai dan tentram, namun semuanya sulit untuk ia dapatkan.
“Maaf, Pak. Saya nggak bermaksud membuat Chelsea terbebani.” Angga menunduk sekilas. Ia tahu jika Chelsea tak ingin terjadi perdebatan di meja makan, hingga lagi-lagi dirinya yang harus mengalah. Demi istri dan calon bayi mereka, tak mengapa jika harga dirinya diinjak-injak. Toh, tak ada lagi yang bisa menghargainya sebagai suami Chelsea.
Menit demi menit berlalu acara makan malam yang menegangkan telah berakhir. Jacob memaksa Angga untuk membawa mobil yang biasa digunakan Chelsea ke rumah mereka. Mengingat hari sudah sangat malam dan Chelsea tengah hamil, ia tak ingin putri semata wayangnya itu menjadi sakit hanya karna harga diri Angga.
Angga pun mengalah untuk yang kesekian kalinya, meninggalkan motor butut yang tadinya ia kendarai bersama Chelsea untuk ke rumah orang tua gadis itu. Dengan perjanjian, esok pagi, ia akan kembali menukar motor butut kesayangannya dengan mobil yang mereka pinjam malam ini. Bukannya tak tahu diuntung, hanya saja, memiliki mobil, berarti akan lebih banyak lagi pengeluaran. Lebih baik menggunakan motor yang lebih irit.
Angga membantu Chelsea turun dari mobil, begitu mereka tiba di rumah. Ia tersenyum dan menggenggam erat tangan gadis itu. Usia kehamilan Chelsea sudah memasuki bulan ke lima, hingga Angga tahu, jika dirinya harus bisa diandalkan demi keluarga kecilnya.
Angga masih tetapi berkuliah dan kerja paruh waktu di beberapa tempat, ia sering meninggalkan Chelsea seorang diri. Kelahiran bayi mereka sebentar lagi dan ia ingin memberikan hadiah yang layak untuk calon bayi mereka. Tak mengapa tubuhnya lelah, agar keluarga kecilnya bahagia. Suatu hari nanti, ia akan membiarkan Chelsea melanjutkan kuliah dan meraih mimpinya. Untuk semua itu, Angga harus giat bekerja.
Keduanya memasuki rumah dan berjalan menuju kamar. Mereka berbaring dan menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong, tak ada seorang pun yang ingin memulai percakapan, keduanya tampak sibuk dengan pikiran masing-masing.
Chelsea mengubah posisi dan memiringkan tubuh, ditatapnya wajah Angga dalam diam. Lelaki yang sadar tengah diperhatikan itu ikut mengubah posisi tidurnya, keduanya saling berbagi senyum.
“Pasti sulit bagimu menghadapi papa ya, Ga.” Chelsea menatap sendu lelaki itu.
Angga mengusap lembut wajah Chelsea. “Karna ada kamu dan bayi kita, semuanya terasa lebih mudah. Nggak sesulit yang terlihat.” Angga tersenyum menenangkan.
Dirinya memang merasa begitu rendah dan terkadang sakit hati, namun ia mengerti itu adalah harga yang harus ia bayar untuk bersama Chelsea. Dari dulu, memang ia tahu jika permasalahan ini yang akan terjadi jika ia memaksakan diri untuk bersama Chelsea. Oleh karna itu, Angga selalu menjauh saat didekati, mengabaikan dan berusaha menolak gadis itu. Akan tetapi, ia lupa, jika cinta bukanlah hal yang mudah untuk dicegah dan hati tak bisa didustai.
“Aku baru sadar, ternyata alasan ini yang membuatmu takut menerima perasaanku.” Chelsea tersenyum miris, “Jika dulu aku nggak terlalu agresif, mungkin kamu nggak harus mendengarkan segala caci maki dari papa. Kebersamaan kita hanya akan menyiksamu,” lanjut Chelsea lirih. Air matanya mengalir, pedih menyiksa bathinnya.
Ah ... andai ia tahu. Ada beberapa hal yang tak cukup hanya dengan mengandalkan cinta semata. Dirinya terlalu menyombongkan cinta, hingga lupa, jika cintanya bisa saja menyakiti bagi lelaki pemilik hatinya. Perbedaaan mungkin terlihat biasa baginya, akan tetapi bukan dirinya yang akan tersakiti karna perbedaan yang begitu kental di antara mereka, melainkan Angga. Konyol memang betapa cinta mematikan akal sehatnya, hingga tak mampu melihat banyak hal yang tak seharusnya dibiarkan terjadi di antara mereka.
Angga membawa Chelsea ke dalam pelukannya. “Aku malah akan menyesal kalau kamu nggak bertindak agresif dan terus memaksa untuk bersamaku.” Ia menangkup wajah gadis itu dengan kedua tangannya, “Aku akan menyesal seumur hidup karna kehilangan satu-satunya cinta dalam hidupku.” Senyum Angga begitu manis dan tulus.
Chelsea merengut. “Dasar gombal!”
Keduanya tertawa dan Angga kembali membawa gadis itu ke dalam pelukannya, lalu membisikkan kata-kata yang mampu membuat jantung Chelsea berdebar liar.
“Aku mencintaimu.”