Chelsea tak bisa tenang, ia bolak-balik menunggu di teras rumah, namun tak kunjung melihat kepulangan Angga. Ia menatap ponsel berulang kali, mencoba menghubungi lelaki itu, namun tak juga bisa tersambung
Hujan mulai turun membasahi bumi. Kini semakin deras, hingga membuatnya khawatir bukan main. Tak biasanya lelaki itu semarah ini. Sudah sehari lamanya Angga tak pulang ke rumah dan Chelsea tak dapat menemukan lelaki itu. Berhari-hari ia menangis, namun tangis tak mampu membawa lelaki itu kembali padanya.
Ia tahu, jika dirinya bersalah. Merendahkan suaminya tercinta, dan pastinya membuat lelaki itu bersedih bukan main, akan tetapi ia menyesali semua yang terjadi. Ia ingin meminta maaf, namun tak bisa dilakukan karna Angga tak kunjung pulang. Bagaimana ia bisa meminta ampun, jika lelaki itu tak memberikannya kesempatan?
Chelsea teringat sesuatu. Ia baru saja mempelajari resep makanan kesuakaan Angga dari internet, jika ia memasakkan makanan yang enak, mungkin saja, lelaki itu akan menerima permintaan maafnya dengan mudah. Senyum Chelsea mengembang, ia segera masuk ke dalam rumah dan segera mengecek isi lemari pendinginnya.
Senyum Chelsea sirna saat melihat isi lemari pendingin yang hampir kosong karna ia tak berbelanja dan tak ada Angga yang selalu sigap mengisi kulkas mereka. Chelsea tampak berpikir sesaat, lalu ia menyambar payung dan juga dompet. Ia akan ke warung sayur terdekat. Resep yang dilihatnya di youtube tampak mudah. Ia pasti bisa menyiapkannya dalam hitungan jam.
Dengan senyum mengembang, Chelsea meninggalkan rumah dengan tidak lupa mengunci pintunya terlebih dahulu. Dengan sedikit berlari, Chelsea pergi ke warung sayur yang berada di ujung gang komplek perumahannya.
“Bu ... mau beli sayur,” teriaknya setelah sampai di tempat itu. Tak menunggu lama, seorang ibu paruh baya dengan tubuh berisi tersenyum padanya.
“Tumben Dek Chelsea yang belanja. Biasanya suaminya yang ke warung.”
Chelsea menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. “Suami saya masih sibuk, Bu dan saya mau kasih kejutan untuk dia. Mau masak yang enak.” Chelsea tertawa kecil
Tawa itu menular pada ibu di hadapannya. “Pasangan muda memang selalu tampak segar di mata. Romantisnya nggak habis-habis.” Ibu itu tersenyum.
Ia ingat bagaimana lembut Angga memperlakukan istrinya yang manja. Pernah sekali dua kali mereka berdua berbelanja di warungnya. Saat itu, Chelsea terus menempel bagai ulat, namun Angga tak merasa risih sedikitpun. Lelaki itu tak malu-malu mengusap lembut puncak kepala Chelsea dan meladeni semua kemanjaannya. Sikap lelaki itu membuat beberapa pasang mata ibu-ibu paruh baya menatap mereka iri, seakan ingin kembali menjadi sepasang pengantin baru yang dimanja. Sekarang, jangankan bermesraan, pernikahan yang rata-rata sudah berjalan tahunan, malah kerap terasa hambar. Akan tetapi, melihat sepasang pengantin muda seperti Angga dan Chelsea, membuat gejolak mereka seakan dipacu. Berharap masih biasa kembali menghidupkan api yang meredup dalam rumah tangga meraka.
“Bu Sum bisa aja.” Chelsea tersenyum malu-malu.
Wanita paruh baya itu tertawa melihat sikap Chelsea. “Rencana masak apa, Dek?”
“Capcai, udang sambel, dan juga tumis tofu. Itu makanan kesukaan suami saya, Bu.” Wajah Chelsea berbinar setiap kali bercerita tentang suaminya, lagi-lagi membuat wanita seperti Bu Sum merasa iri luar biasa.
“Ini sayurnya masih seger-seger.” Bu Sum mengulurkan sayuran yang diperlukan Chelsea ke arah gadis itu. Chelsea memilih-milih, lalu meminta Bu Sum membungkus semua bahan-bahan yang ia perlukan. Ia akan membuat Angga menikmati masakannya.
“Semangat masaknya ya, Dek. Semoga kejutannya berhasil.” Bu Sum mengacungkan kedua jempolnya ke arah Chelsea sembari tersenyum lebar. Senyum itu menular pada Chelsea, gadis itu mengucapkan terimakasih sebelum meninggalkan warung Bu Sum.
Hati Chelsea bahagia, otaknya mereka ulang tiap adegan dan juga bahan yang disaksikannya tadi diang, mengulang satu persatu tahap yang harus ia lakukan untuk memasak, makanan kesukaan suami itu. Chelsea semakin tidak sabar dan berlari pelan, terlalu fokus dengan pikirannya, hingga tak menyadari mobil yang melaju ke arahnya.
Chelsea berteriak dan hal terakhir yang dilihatnya adalah plastik berisi bahan makanan yang ia beli di warung Bu Sum tadi terbuang dan terbang begitu saja.
“Angga ...” panggilnya lirih. Perlahan pandangannya mulai menggelap.
***
Chelsea membuka matanya perlahan, entah sudah berapa lama ia tak sadarkan diri. Ia tersenyum saat menemukan Angga yang tengah menggenggam tangannya erat. Air mata lelaki itu mengalir deres. Dengan perlahan Chelsea menghapus air mata lelaki itu.
“Aku baik-baik aja, Ga. Nggak usah nangis,” ucapnya lirih.
Air mata Angga mengalir semakin deras saat mendengarkan ucapan gadis itu. Angga mengeratkan genggaman tangan Chelsea, lalu mengecupnya berulang kali.
“Maafin aku, Chel. Maafin aku,” ucap Angga tersedu-sedu.
Chelsea kembali tersenyum dan menggeleng lemah. “Aku baik-baik aja.”
“Maafkan aku, Chelsea. Semua ini karnaku.” Isak tangis Angga seakan menyayat hati Chelsea, pedih bukan main. Lagi-lagi, ia hanya bisa membuat lelaki itu menangis. Mengapa cintanya selalu menyakiti lelaki itu?
“Aku baik-baik aja.”
“Bayi kita, Chel ... bayi kita ... maafkan aku, Chel ...” tangisan pilu Angga kini membuat air matanya ikut mengalir. Chelsea menarik tangannya dari genggaman Angga dan meraba-raba perutnya yang secara ajaib menjadi rata.
“Kenapa bayi kita? Kemana bayi kita, Ga?” Chelsea berteriak histeris, air matanya mengalir semakin deras, dadanya sesakn bukan main. Ia merasa begitu kehilangan, seakan separuh jiwanya ditarik paksa dari dirinya.
“Kenapa kamu diam aja, Ga!” Chelsea meraung, sedang Angga semakin menunduk.
“Kembalikan bayiku. Kembalikan, Ga!!”
Angga memeluk Chelsea, mereka menangis tersedu-sedu. Chelsea memukul-mukul punggung Angga sembari meraung kehilangan. Hatinya pedih bukan main. Bagaimana bisa dalam sekejap ia kehilangan hal yang begitu berharga. Hanya dengan membuka mata, ia kehilangan separuh jiwanya. Semua ini tidak adil dan ini semua pastilah sekedar mimpi buruk yang akan berakhir saat ia membuka mata. Chelsea memejamkan mata, tak ingin menerima kenyataan yang menghancurkan hatinya.
Perlahan ia membuka mata, namun apa yang dilihatnya masih sama seperti sebelum ia menutup mata. Chelsea berteriak, tangisannya terdengar begitu pilu, mengoyakkan hati Angga yang sama hancurnya dengan gadis itu. Angga mengeratkan pelukannya dan air matanya mengalir semakin deras. Sungguh, dunianya seakan berhenti berputar, kehilangan bayi yang belum terlahir ke dunia membuat dunianya hancur.
“Nggak mungkin, Ga. Kembalikan bayiku!” Chelsea menangis tersedu-sedu dan terus-menerus memukul punggung Angga, “Kembalikan, Ga. Kembalikan.”
“Chel ... maafkan aku yang nggak bisa jaga kalian dengan baik. Maafkan aku, Chel.”
Hanya kata maaf yang berulang kali bisa Angga ucapkan, ia tahu jika maafnya tak ‘kan mampu membawa bayi mereka kembali. Maafnya terdengar begitu tak berguna, namun sungguh, Angga tak tahu harus berbuat apa. Nyatanya, ia sama kacau dan hancurnya dengan Chelsea.
Jika saja, ia bisa menahan diri dan tak kabur layaknya pengecut, maka semua ini tak terjadi. Seandainya ia bisa berlari lebih cepat dan menyelamatkan Chelsea hari itu, mungkin saja mereka akan tersenyum menatap wajah bayi mereka yang dilahirkan ke dunia. Begitu banyak kata seandainya yang bermain di benak Angga. Akan tetapi, seandainya tak kan mampu mengembalikan waktu dan mengubah apa yang telah terjadi.