Roda Kehidupan

1078 Kata
Kehidupan bagai roda yang terus berputar. Kini kau bisa berada di atas, namun bisa jadi besok kau berada di bawah. Sebagian orang sulit menerima peputaran roda itu, sebagian lagi memaksakan diri untuk bisa menerima semuanya. Toh hidup harus tetap berlanjut. Siap atau tak siap, kehidupan tak ‘kan mungkin bisa berhenti sejenak demi menunggumu. “Chelsea …” Wanita itu menghentikan langkah saat namanya dipanggil. Chelsea menoleh dan melihat seorang wanita paruh baya tergopoh-gopoh berlari ke arahnya. Aline, pemilik yayasan tempatnya bekerja tiga tahun belakangan ini. “Tunggu dulu,” ucap Aline sembari mengatur napasnya yang terengah-engah. “Kayaknya saya udah terlalu tua. Lari dikit aja ngos-ngosannya bukan main.” Chelsea tak bermaksud bersikap tak sopan, namun ia tak bisa mengiba melainkan tergelak mendengarkan perkataan Aline. “Pelan-pelan aja, Bu. Toh, saya nggak bakalan kabur.” Wanita paruh baya itu berdesis sebal. “Kamu jalannya cepet banget. Sampe saya harus lari-larian.” Aline menyerahkan secarik kertas yang langsung diterima oleh Chelsea. “Mulai hari ini, kamu akan bertugas di rumah ini. Pemiliknya masih di luar negeri, jadi kamu nggak perlu masak. Yang harus kamu lakukan hanya membersihkan rumah setiap harinya, pakaian kotornya juga belum ada karna sementara waktu rumah itu kosong.” Chelsea tersenyum bahagia. Itu artinya, ia bisa sembari mengerjakan tugas kuliah karna pekerjaannya tak terlalu banyak di rumah yang baru itu. Chelsea memeluk Aline erat dan mengucapkan terima kasih berulang kali. Senyumnya menular pada Aline, wanita paruh baya itu menggeleng-geleng lalu melepaskan pelukan mereka. “Jangan seneng dulu, karna yang saya denger, pemiliknya akan segera kembali. Yang artinya, jika dia udah kembali, kamu harus mencuci pakaian dan masak, tergantung permintaan bosmu nanti. Seperti biasa, jam kerjanya hanya sampai jam tiga dan saya harap kamu bisa mengerjakan setiap tugas dengan baik. Pemiliknya memberi bayaran lebih.” “Dapat bonus, Bu? Kenaikan gaji, gitu?” Aline mengangguk. “Dia menaikkan p********n dari harga normal. Katanya, asisten rumah tangga patut diberikan lebih.” Senyum terukir di kedua sudut bibir Chelse. “Makasih banyak, Bu. Saya akan melakukan yang terbaik untuk bos baru ini. Jadi kerjaan lama saya dioper atau memang pemiliknya udah nggak mau pakai asisten rumah tangga lagi?” “Pak Markus menjual rumahnya dan mau pindah bareng anaknya yang di Amerika.” Chelsea mengangguk-angguk mengerti. “Pak Markus baik banget orangnya. Untunglah sekarang dia nggak perlu tinggal di Jakarta sendirian lagi.” Aline menepuk pundak Chelsea pelan. “Kamu selalu tulus dalam mengerjakan tugasmu dan mungkin ini balasan Tuhan. Semangat kerjanya. Kamu harus menabung untuk menyelesaikan kuliahmu. Saat lihat kerjaannya longgar, saya langsung inget kamu.” Aline memang orang yang sangat pengertian dan baik pada semua pekerjanya. Wanita paruh baya itu membangun yayasan penyalur tenaga kerja, guna memberikan lowongan pekerjaan untuk para wanita yang kesulitan mendapatkan pekerjaan di luar sana. Jaringan yang luas membuat wanita itu tak pernah kehilangan pelanggan. Ia hanya mempekerjakan asisten rumah tangga untuk paruh waktu dan bukan yang menginap, sehingga cocok dengan kehidupan para orang kaya yang sibuk, namun menginginkan privasi. Kebanyakan pelanggan Aline adalah para single, orang tua yang tinggal sendiri, atau pengusaha sukses yang tak punya waktu membersihkan rumah, namun tak betah jika ada orang-orang yang mengusik kehidupan pribadinya. Untuk gaji di yayasan Aline termasuk besar untuk seorang asisten rumah tangga, apalagi pasarannya benar-benar orang-orang kaya. Yayasan Aline sudah cukup dikenal di kalangan atas. Penyalur asisten rumah tangga yang dapat dipercaya dengan para pekerja yang selalu melakukan pekerjaan dengan sempurna. Untuk masuk ke sini pun tak mudah. Setiap orang akan dilatih dan melalui beberapa tes, termasuk tes psikolog. Wanita itu memberikan pelayanan bintang lima, hingga sesuai dengan harganya. Banyak orang rela merogoh kocek dalam-dalam demi menggunakan para pekerja di yayasan Aline. Chelsea memeluk erat tubuh Aline. “Makasih sekali lagi, Bu.” “Maju ke depan, Chel. Kamu berhak bahagia.” Senyum wanita itu tulus. Chelsea membalas senyumnya sembari mengangguk setuju. Memang ia tak bisa kembali ke masa lalu, namun Chelsea akan berusaha mengubah masa depannya. Tuhan terlalu menyayanginya hingga mengirimi begitu banyak orang baik di sekitarnya. Lima tahun telah berlalu dari masa kelam hidupnya, ini saatnya ia menata hidupnya kembali dan berusaha mendapatkan semua yang telah hilang dari hidupnya. “Aku akan bahagia, Bu.” Senyum  menghiasi wajah cantik Chelsea. Aline menepuk pundak Chelsea, seraya berjalan meninggalkan wanita itu. Chelsea membaca secarik kertas yang diberikan oleh Aline tadi. Alamat itu tidak jauh dari rumahnya dulu. Chelsea tersenyum miris. Walau tengah berada sangat di bawah, namun ia bersyukur. Dari si kaya, hingga menjadi asisten rumah tangga, sungguh tak ada yang tahu apa yang Tuhan rencanakan untuk setiap insannya. Chelsea melanjutkan langkah. Ia harus segera bekerja dan menyelesaikan semuanya agar mempunya waktu untuk menyelesaikan tugas kuliah dengan baik. Ia harus cepat lulus dan mengejar semua keterlambatannya. Terlambat bukan berarti gagal, ia akan membuktikan, jika kata itu tak ‘kan mengubur mimpi yang mulai kembali terlihat setahun belakangan ini. *** Chelsea membuka pintu coklat dengan kunci yang diberikan Aline padanya. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Benar yang Aline ucapkan, rumah itu kosong, tak berpenghuni, Chelsea bahkan tak mampu menemukan foto diri atau keluarga yang biasanya banyak bergantung di dinding-dinding rumah tempatnya bekerja selama ini. “Pasti cowok single yang tinggal di sini.” Guman Chelsea pelan. Terlihat betapa sederhana perabotan yang ada dan juga design minimalis yang membuatnya menyimpulkan siapakah bosnya kali ini. Ia bahkan belum sempat menanyakan nama bos barunya pada Aline. Mengingat rumah ini kosong dan tak mengharuskannya bertemu dengan Sang pemilik, membuatnya tak memerlukan nama yang akan dipanggilnya bila suatu saat secara tak sengaja ia bertemu dengan pemilik rumah. “Semangat, Chel!” Chelsea segera meletakkan tas bawaannya di sofa ruang tamu dan mulai membersihkan rumah. Yayasan Aline tak menyediakan seragam yang biasa digunakan banyak yayasan sebagai tanda pengenal pekerja mereka, karna Aline tak suka jika asisten rumah tangga dianggap sebelah mata. Pekerjaan itu terpuji, walau terkesan rendah. Manusia harus diperlakukan seadil mungkin. Chelsea mulai membersihkan ruang tamu, dapur, dan terakhir menuju kamar utama. Rumah berlantai dua ini, memakan waktu banyak untuk diberishkan, sepadan dengan biaya yang dikeluarkan pemilik rumah. Chelsea tak pernah mengeluh karna ia sadar benar akan kedudukannya sekarang. Ia memerlukan pekerjaan ini demi melanjutkan hidup. Seperti yang ia pernah katakan pada Olive. Sebenarnya menjadi asisten rumah tangga untuk kalangan atas ada susah senangnya. Jika bertemu majikan baik, maka ia merasa dimanja, tapi ada beberapa yang menilainya rendah dan kerap memarahinya, namun Chelsea tak mau ambil pusing. Setiap pekerjaan tentu ada resikonya sendiri. Chelsea terpaku di kamar utama. Ia terpaku sesaat. Entah mengapa desain kamar itu mengingatkannya akan kamarnya dulu. Sofa panjang di dekat jendela yang bagian bawahnya disulap menjadi rak buku, lemari besar yang berada di samping pintu kamar mandi, tanaman hidup di samping meja rias. “Ternyata selera kita sama.” Senyum Chelsea mengembang Wanita itu segera menyelesaikan pekerjaannya. Menit demi menit telah berlalu, ia memutuskan untuk duduk menghabiskan waktu di taman rumah sembari mengerjakan tugas kuliah. Chelsea tersenyum miris mengingat kehidupannya.  Hidup memang penuh misteri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN