Dia yang Kembali

1083 Kata
Seperti hari-hari biasanya, pagi-pagi sekali Chelsea sudah membersihkan rumah, lalu berpamitan pada Bi Lisa untuk pergi bekerja. Sesungguhnya, Bi Lisa ingin bekerja menggantikan Chelsea agar wanita itu bisa fokus dengan kuliahnya, namun Chelsea menentangnya. Ia tak ‘kan membiarkan Bi Lisa yang sudah tua menanggung hidupnya. Walau bagaimanapun, ia harus bisa berdiri di atas kakinya sendiri tanpa merepotkan orang lain. Agar tak jenuh, akhirnya Bi Lisa meminta izin pada Chelsea untuk membuka warung sembako di rumah mereka. Ia tak ingin bengong seharian tanpa melakukan apa pun karna Chelsea telah mengambil alih sebagian besar pekerjaannya. Mebersihkan rumah, mencuci, dan juga memasak, tak meninggalkan pekerjaan apa pun untuk Bi Lisa yang sudah tua. Chelsea menyambut bahagia ide Bi Lisa yang ingin membuka warung sembako, setidaknya menjaga warung tak begitu melelahkan dan Bi Lisa jadi mempunyai kegiatan yang tak ‘kan membuatnya bosan karna berada di rumah terus-menerus. “Masak apa hari ini, Non?” Suara wanita itu membuat Chelsea menoleh ke sumber suara, ia tersenyum saat menemukan Bi Lisa di balik punggungnya. Ia menarik kursi dan meminta wanita tua itu untuk duduk, Bi Lisa duduk dan Chelsea mengambil tempat di samping wanita itu. “Aku masakin gulai ayam dan tumis kangkung. Bibi suka, nggak?” Bi Lisa mengangguk. “Suka banget. Non Chelsea semakin mahir memasak, masakannya udah ngalahin Bibi. Enak banget.” Chelsea tertawa mendengarkan pujian yang diberikan Bi Lisa untuk masakannya yang sebenarnya tak seenak masakan Bi Lisa yang membuatnya kecanduan. “Masih enakkan masakan Bibi berkali-kali lipat.” Wanita tua itu tersenyum hangat dan memperhatikan wajah Chelsea. Wanita itu sudah banyak berubah, kerasnya hidup dijalani Chelsea dengan kuat. Ia bukan lagi gadis yang suka merajuk dan mogok makan. Kini, wanita itu tahan banting. Tak peduli dengan apa yang orang katakan ataupun lelah yang menyiksa raga, wanita itu tak pernah mengeluh. Walau Bi Lisa masih sering melihat Chelsea menangis sendiri saat tengah malam, akan tetapi, ia tahu, Chelsea sudah semakin kuat. “Non ... kalau capek, istirahat aja.” Chelsea menggeleng. “Aku nggak capek sama sekali, Bi.” Chelsea mengambil sepotong ayam dan menaruhnya di piring Bi Lisa, “Bibi ‘kan paling suka bagian paha.” Bi Lisa mengusap lembut wajah Chelsea. “Makasih banyak karna udah hadir di hidup Bibi ya, Non. Makasih karna Non udah berusaha tegar selama ini.” Wanita tua itu menggenggam erat tangan Chelsea dan tersenyum bangga. “Aku yang makasih, karna Bibi nggak ninggalin aku saat semua dunia mulai menjauh.” Wajah keibuan  wanita itu menyihir Chelsea. Tuhan terlalu baik, mengambil ibunya, namun meninggalkan ibu lainnya untuk dirinya. Bi Lisa mengeratkan genggaman tangannya. “Yang semangat ya, Non.” Chelsea mengangguk antusias. Mereka bertukar senyum, lalu kembali melanjutkan kegiatan makan mereka. Seperti biasa, hanya ada kehangatan di meja makan itu. Chelsea telah menemukan rumah yang selama ini tak pernah ia dapatkan. Walau miskin materi, ia tak pernah kekurangan cinta. *** Chelsea berlari sekuatnya, ia sudah terlambat memulai pekerjaannya. Ia tak ingin menjadi orang tak bertanggungjawab walau rumah tempatnya bekerja tak berpenghuni. Lagipula, ia harus berlomba dengan sang waktu agar bisa mengerjakan semuanya. Chelsea baru menyadari betapa berharganya waktu yang dimilikinya, karna sangkala adalah satu-satunya hal yang tak bisa dikembalikan. Sekali kehilangannya, maka ia tak ‘kan pernah bisa ditemukan lagi. Chelsea mengatur napas yang terengah-engah. Ban motornya bocor, hingga ia harus berdesakan di dalam bis demi mencapai tempat ini. Jalan ke dalam perumahan ini pun tak dilalui oleh kendaraan umum, hingga mau tak mau ia berlari secepat kilat. Dengan perlahan ia membuka pintu yang tertutup rapat. Ia memandang sekeliling dan memastikan Si pemilik rumah masih belum pulang. Aline bilang, pemilik rumah akan kembali dalam waktu dekat, hingga Chelsea harus memastikan keadaan rumah sebelum memulai pekerjaan. Akan tak enak jika secara tak sengaja mereka bertemu dalam keadaan dirinya yang tengah membersihkan rumah, bukan tak suka dilihat saat bekerja, hanya ia takut dianggap tak sopan dengan menyentuh barang-barang orang lain, walau memang itu bagian dari pekerjaannya. Akan tetapi, pikiran setiap manusia berbeda, bukan? Seperti biasa, Chelsea langsung menuju dapur. Mengambil alat tempur dan segera mengerjakan semua pekerjaannya. Kesunyian rumah itu terasa menakutkan, Chelsea memutuskan untuk menggunakan headset sembari mengerjakan pekerjaannya. Musik dapat membuat pekerjaan jadi lebih ringan dan cepat. Bagian yang paling Chelsea sukai dari rumah ini adalah kamar utama. Tempat itu selalu mampu membawanya ke masa lalu. Chelsea suka menatap sekeliling dan membersihkan setiap perabotan yang ada di sana dengan hati-hati. Terkadang Chelsea memberanikan diri untuk duduk di sofa dekat jendela sembari membaca beberapa n****+ yang ternyata kebanyakan adalah n****+-n****+ roman yang sangat disukainya. Dulu, di kamarnya ia pun menyimpan beberapa n****+ dengan judul yang sama. Bagai Dejavu, kamar itu membuatnya kembali ke masa itu. Saat di mana ada dirinya dan Angga. Bergumul dalam selimut, saling menghangatkan, dan bercerita panjang lebar hingga tengah malam, membiarkan kantuk menjemput mereka. Chelsea tersenyum tipis mengingat masa lalu. Setelah membersihkan setiap sudut kamar, Chelsea memutuskan untuk duduk di sofa kesukaannya dengan terlebih dahulu mengambil n****+ di rak bawah sofa dan membacanya. “Maaf pemilik rumah. Saya nggak bermaksud lancang, tapi sayang kalau n****+ di sini nggak disentuh,” ucap Chelsea sebelum membuka n****+ yang dipilihnya tadi. Tugas kuliahnya bisa menunggu, biarlah ia tenggelam dalam kesendirian dan menikmati kegiatan yang sudah lama tak bisa lagi ia nikmati. Dulu, saat memiliki waktu luang, ia suka duduk seperti ini dan Angga akan rebahan di pangkuannya, lalu ia akan membacakan n****+ untuk Angga. Mereka akan bercerita membahas n****+ tersebut, terkadang kegiatan itu akan diakhiri dengan penyatuan dua tubuh yang membakar gairah keduanya. Chelsea menggeleng. Ia segera menutup n****+ dan segera menyimpannya kembali ke rak bawah sofa. Ia tak mau terus tenggelam dalam bayangan semu yang tak bisa lagi ia wujudkan untuk menjadi nyata. Walau hingga kini ia masih selalu melihat bayangan lelaki itu di semua tempat yang pernah mereka kunjungi bersama, ia tak mau terbuai. Ia harus menjaga kesadarannya dan menerima kenyataan pahit yang tak bisa dihindari. Chelsea membeku di tempatnya saat berdiri dan hendak meninggalkan tempat itu. Jantungnya berhenti berdetak dalam hitungan detik, lalu berdebar tak menentu. Chelsea tak mampu menyembunyikan keterkejutannya, begitupun dengan lelaki yang berdiri di hadapannya. Mereka saling berpandangan dalam diam, waktu seakan berhenti berdetak, meninggalkan mereka dalam ruangan hampa bernama masa lalu. Pedih merangkak perlahan, memenuhi setiap relung hati. Chelsea memejamkan mata, berharap sosok di hadapannya adalah ilusi yang selalu muncul ketika ia merindukan lelaki itu. Biasanya, ketika ia membuka mata kembali, bayangan lelaki itu turut menghilang. Sepert itu, hingga ilusi mulai terasa begitu nyata baginya. Perlahan Chelsea membuka mata, namun sosok itu masuk berdiri di sana. Di ambang pintu sembari menatapnya dengan tatapan yang tak bisa Chelsea artikan. Chelsea tak mampu mencegah jantungnya yang berdegub liar, namun ada sekelebat pedih yang merasuki hatinya yang tak lagi utuh. “Chelsea ...” suara lelaki itu terlalu nyata, hingga membuat dadanya sesak. Air mata Chelsea turut mengalir, ia seakan kehilangan seluruh oksigen di sekitarnya, kesulitan bernapas. “Angga?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN