Banyak orang yang ingin terburu-buru menikah. Dalam pemikiran mereka, menikah hanya tentang menemukan pemilik hati saat membuka mata dan menjalani hari penuh tawa. Akan tetapi, pernikahan tak semudah itu.
Seperti saat Angga harus menahan amarah melihat kecerobohan Chelsea, atau sikap manja Chelsea yang perlahan mulai terlihat menyebalkan. Banyak hal-hal yang dulu tak begitu terlihat, kini mampu menyulut amarahnya. Baru beberapa bulan mereka menikah, namun perlahan semua sifat buruk keduanya mulai terlihat.
Angga mengacak rambut gusar, sedang Chelsea semakin menundukkan kepala. Merasa takut dan juga bersalah karna telah membuat Angga marah. Ia tak tahu, jika Angga yang lembut bisa terlihat begitu marah dan meneriakinya. Padahal inginnya sederhana, memberikan kejutan untuk lelaki itu dan membuat lelaki itu tersenyum.
Kue coklat yang bertulisakan, “selamat ulang tahun, Sayang.” Dibiarkan begitu saja di meja, sedang si penerima kue menatap gadis di hadapannya penuh amarah.
“Ga ... maafin aku,” gadis itu terisak.
Angga menarik napas panjang, lalu menghelanya perlahan. “Seharusnya, kamu nggak melakukan ini, Chel.” Angga mengacak rambut gusar, “Aku membiarkanmu menyimpan uang itu untuk keperluan calon bayi kita. Bukan untuk membeli sesuatu yang nggak berguna begini.”
Air mata Chelsea mengalir semakin deras. “Jam tanganmu talinya udah rusak dan aku lihat sepatunya juga udah sobek, makanya aku membelikan barang-barang ini untukmu.” Chelsea meraung, semakin membesarkan volume menangisnya. Ia tak peduli jika dirinya terlihat seperti anak kecil. Padahal ia begitu memikirkan Angga, namun mengapa lelaki itu malah marah.
Lagipula, ia sudah berusaha berhemat. Biasanya dengan uang sepuluh juta ia hanya bisa membeli tas tangannya, namun kali ini ia bisa membelikan sepatu dan juga jam tangan untuk Angga. Ia bahkan merasa bangga karna bisa membeli barang yang terbilang murah untuknya.
Angga mengusap air mata Chelsea. Ia harus banyak bersabar dan mengajarkan Chelsea arti mahal sesungguhnya. Walau bagaimanapun, wanita itu yang akan mengelola keuangannya dan harusnya Chelsea tahu tingkat kesanggupan Angga dalam membeli barang.
“Chel ... uang sepuluh juta itu kukumpulkan dalam hitungan tahun. Mungkin bagimu, kamu hanya perlu mengadahkan tangan dan uang yang menghampirimu, tapi nggak begitu denganku. Aku bekerja keras demi uang itu.”
Angga tersenyum, lalu menangkup wajah Chelsea dengan kedua tangannya. “Kemampuanku dengan kemampuan ayahmu dalam membeli barang itu berbeda, Chel dan itu yang harus kamu pahami.”
“Aku akan meminta uang dari papa untuk mengganti uang itu, Ga. Kamu nggak usah mikirin semuanya.” Chelsea tersenyum menenangkan, “Papa pasti akan memberikan lebih.”
Angga melepaskan tangannya dari wajah Chelsea. Memang sulit membuat Chelsea paham dengan keadaan mereka kini. “Aku yang bertanggungjawab atas hidupmu sekarang, Chel. Bukan ayahmu!” Angga mengeraskan rahang, “Ini kehidupan kita dan aku nggak mau ayahmu mencampuri pernikahan kita, Chel.”
“Tapi, Ga ...”
Angga menempatkan jarinya di hadapan bibir Chelsea. “Chel ... tolong dengarkan dulu dan pahami keadaanku sebagai suamimu.” Ia tersenyum, “Kita memang terlalu muda dan semua ini terasa sulit bukan hanya untukmu, tapi juga untukku.”
“Maafin aku, Ga. Aku akan mencoba untuk mengerti dirimu.”
Senyum Angga mengembang. Dipeluknya erat istrinya. “Maaf karna aku menerikakimu.” Ia mengusap puncak kepala Chelsea, “Tolong bungkus semuanya dan aku akan mencoba mengembalikan semua barang ini.”
Chelsea tersenyum tipis dan mengangguk pelan. Ia segera membungkus kembali semua hadiah yang tadinya diberikannya pada Angga dengan senyum lebar. Mengapa begitu sulit membuat Angga memiliki pandangan yang sama dengannya? Harusnya, lelaki itu tak perlu marah. Ia berniat baik saat membelikan semua hadiah itu untuk Angga. Kecewa, namun tak bisa melakukan apa pun karna sekuat apa pun menyangkal semua yang dikatakan lelaki itu ada benarnya. Ia harus mulai bisa menerima keadaan mereka.
Chelsea menempatkan kembali kantung-kantung berisikan barang-barang yang harusnya dihadiahkannya pada Angga ke meja. Lingkaran pada perutnya membuat tubuh Chelsea menegang sesaat.
“Chel ... makasih untuk semuanya, aku seneng, hanya saja, lain kali pikirkan lebih bijak tentang keuangan, Chel.”
Chelsea mengangguk. “Maafin aku, Ga.”
Angga menempatkan kepalanya pada pundak Chelsea, lalu menenggelamkan wajahnya pada leher gadis itu, menghirup aroma tubuh Chelsea yang memabukkan dalam-dalam.
“Kita makan kuenya ya?”
Angga membalik tubuh Chelsea dan menatap lembut gadis itu. “Terkadang, bukan hadiah mewah yang membuat hari ulang tahun selalu dinantikan, tapi merayakannya bersama dengan orang yang kita sayangi adalah hal yang paling berharga. Bakal uang banyak sekalipun nggak bisa menggantikan moment ini.”
Chelsea tersenyum. Lagi-lagi Angga mengajarkannya hal baru yang belum pernah ia ketahui sebelumnya. “Selamat ulang tahun, Suamiku tercinta.” Chelsea mengecup bibir Angga, hanya pertemuan dua bibir tanpa pergerakkan apa pun.
“Nanti ... jika aku sudah bisa menghasilkan banyak uang, kamu bebas untuk membeli apa pun yang kamu mau, Chel. Hari itu pasti tiba, Chel. Kamu mau menunggunya, ‘kan?” Angga menatap Chelsea memohon.
Chelsea tersenyum, lalu mengangguk. “Aku akan selalu berada di sisimu.” Gadis itu menangkup wajah Angga dengan kedua tangannya, “Aku akan sangat sangat mencintaimu dan memperlakukanmu dengan baik. Aku akan membuatmu tak bisa lepas dariku.”
Angga memeluk erat tubuh Chelsea. “Aku juga nggak akan melepaskanmu.” Angga menempatkan wajahnya di telinga Chelsea, “Aku mencintaimu. Sangat.”
Pelukan keduanya terlepas dan mereka berbagi senyum. “Ayo kita habiskan kuenya bersama,” ucap Chelsea sembari menarik tangan Angga untuk kembali ke meja makan.
Ia menyalakan lilin yang berada di kue coklat tersebut, lalu berkata, “Make a wish dan tiup lilinnya, Ga.”
Angga memejamkan mata, lalu meniup lilin di atas kue. Ia tersenyum menatap wajah cantik Chelsea. Chelsea mengangkat lilin yang tadi ditiup Angga dan meletakkannya di meja.
“Apa yang kamu harapkan?”
“Rahasia, Chel.” Angga tertawa saat melihat wajah cemberut Chelsea, ia mengecup kening gadis itu dan dalam sekejap tawa lelaki itu menular padanya.
“Katanya, nggak bakalan terkabul kalau dikasih tahu ke orang.”
Chelsea mengangguk-angguk mengerti. “Iya, ya, aku tahu.”
Angga tergelak dan mengacak puncak kepala Chelsea. Ia memotong kue coklat dan menyuapi Chelsea, lalu Chelsea menyuapi Angga. Canda tawa menemani kebersamaan mereka. Mereka menyantap kue tersebut dengan bahagia sembari bercerita tentang kegiatan mereka hari ini. Bersantai bersama seperti saat ini bagai rutinitas baru mereka.
Pernikahan memang tidaklah mudah. Bertengkar, lalu berbaikan dan kejadian itu terjadi terus-menerus. Anehnya, mereka tak merasa lelah mengulang adegan menguras perasaan itu. Karna cinta tak melulu tentang tawa, terkadang tangis dan amarah akan hadir dan menghiasi rasa yang mewah itu. Cinta bagai benda mahal yang jauh lebih berharga karna tak semua orang bisa memahaminya dan hanya sebagian kecil yang mampu menjalani apa yang cinta persembahkan.
“Kalau dilihat-lihat, kue seharga lima ratus ribu, cukup mahal juga,” ucap Chelsea sembari menyuapkan kue ke mulutnya.
Angga terbelalak kaget. “Kue beginian lima ratus ribu?”
Chelsea takut-takut mengangguk. “Ini dari toko kue yang sangat terkenal.”
Angga menarik napas panjang. Ini saatnya ia mencoba mengerti Chelsea. Toh pernikahan tentang dua orang, jadi ia tak boleh egois dengan meminta dirinya saja yang dimengerti, namun ia tak melakukan hal yang sama.
“Tapi harganya sesuai dengan harganya, Chel. Ini enak kok.”
Senyum Chelsea mengembang, bahagia bukan main. “Aku seneng kalau kamu suka, Ga. Lain kali, aku beliin lagi ya.”
Dengan cepat Angga menggeleng. “Lain kali, aku ajarin buat kue. Lebih beda kesannya kalau makan kue buatan sendiri.”
Chelsea mengangguk setuju. “Iya juga.”
Angga menggeleng-geleng. Hidup bersama Chelsea bagai tengah mengasuh bayi besar, namun anehnya Angga yang biasanya tak suka direpotkan merasa bahagia untuk mengurus Chelsea. Walau terkadang sikap gadis itu menyebelakan, akan tetapi Angga tak keberatan.