Kebingungan melanda Lila. Dia benar-benar dilema sekarang. Jika ajakan Bara berasal dari hati dan bukan karena paksaan. Tentu saja Lila akan menerimanya dengan senang hati.
Di lain sisi ada Anan Murtopo yang ingin melihat mereka menikah. Laki-laki itu sudah tua, usianya sudah kepala tujuh, kondisinya tidak baik, sering sakit-sakitan dengan berbagai macam penyakit komplikasi yang di derita.
Sekarang, apakah Lila sanggup menolak keinginan orang yang merasa hidupnya tidak lama lagi? Jawabannya tentu tidak. Apalagi dia seorang dokter.
Tapi bagaimana dengan dirinya?
Bagaimana dengan Hera?
Bagaimana dengan Bara? Meski laki-laki itu yang memintanya menikah secara langsung.
Meski bingung, Lila akhirnya membuat keputusan. Pilihan dari hatinya hanya untuk membahagiakan semua keluarga. Meski pada akhirnya akan ada hati yang terluka.
Kalau bisa Lila ingin menolak tawaran Bara tetapi ada nyawa yang harus dipertaruhkan. Lila tidak bisa membayangkan kalau dia menolak ajakan menikah dari Bara. Pastinya hal yang buruk akan terjadi pada Anan Murtopo. Dan jika hal itu terjadi, Lila akan menyesalinya seumur hidup.
Walaupun akan ada hati yang terluka. Setidaknya pengharapan semua keluarga bisa menjadi nyata.
"Terima kasih, Lila, " Ucap Bara setelah Lila menyatakan kesediaannya.
Menjelang pagi Lila mendapat kabar dari Bara jika kakeknya sudah siuman. Lila senang mendengarnya. Meski begitu Lila sudah tidak bisa mundur dari pilihannya.
***
Semua keluarga sudah tahu jika Bara dan Lila siap untuk menikah. Kedua keluarga pun melakukan pembicaraan dan bersepakat untuk melaksanakan pernikahan satu minggu ke depan.
Lila tampak terkejut mendengar hal itu. Pernikahannya dan Bara dilakukan tujuh hari lagi. Ini gila... Ini terlalu cepat.
Keluarga Bara ingin pernikahan dilakukan secepatnya. Meski sudah sadar kakek Bara tampak lemah dan sulit di ajak berkomunikasi. Setidaknya sebelum pergi, Anan Murtopo bisa melihat cucunya menikah. Bukan berniat mendahului kuasa Tuhan tetapi bisa mewujudkan harapan seseorang bukanlah hal yang buruk.
"Ini salah, La... Nggak seharusnya kamu nerima pernikahan ini. " Nada suara Dian jelas tidak menyiratkan persetujuan.
"Terus aku harus gimana? Jadi orang jahat yang bikin kecewa semua keluarga? "
"Pernikahan bukan permainan rumah-rumahan, La... Yang pemainnya bisa di ganti kapanpun. "
"Aku tau itu. Aku Pun sudah siap jika nantinya pernikahan ini akan gagal. Tapi setidaknya untuk sekarang, aku nggak ingin mengecewakan siapapun. "
"Aku tau kamu suka sama Bara, terus gimana sama kamu? Aku tau kamu, La... Kamu nggak akan pernah mengecewakan apalagi menyakiti orang lain. "
"Aku akan baik-baik saja, Yan. " Lila tersenyum menenangkan.
"Aku benci kamu yang selalu mikirin orang lain daripada diri kamu sendiri. "
"Aku memeng teman yang menyebalkan. " Canda Lila. Dia tahu sahabatnya itu marah tapi dia juga tahu kalau Dian tidak akan benar-benar marah padanya.
"Aku benci punya temen yang baik. "
"Dan aku suka punya sahabat yang suka marah-marah. "
Dian mendengus dan nyatanya dia memang tidak bisa benar-benar marah pada sahabatnya.
"Jadi rencana nikahnya kapan? "
"Seminggu lagi. "
"WHAAAT???"
Lila melihat sekeliling berharap pengunjung cafe yang ada di sekeliling mereka tidak melihat ke meja mereka. Pekikan Dian tadi terlalu keras. Benar saja pengunjung cafe yang ada di dekat mereka menoleh ke arah mereka.
"Jangan becanda kamu, La... Masa nikah seminggu lagi? " Suara Dian sudah kembali normal.
"Aku maunya malah setelah residen aku selesai. Melihat keadaan kakek Bara yang kayak gitu... Menurut keluarga lebih baik di percepat. "
"Dan kamu mau? "
"Aku bisa apa, Yan? Mau nggak mau aku harus nurutin permintaan mereka. Setidaknya kakek Bara akan bahagia melihat aku menikah sama cucunya. "
Dian mendesah. Dia tidak mau memperpanjang perdebatannya dengan Lila. Kesimpulannya, sahabatnya itu lebih mementingkan kebahagiaan orang lain daripada kebahagiannya sendiri.
***
Satu minggu rasanya seperti sehari. Begitu cepat. Tidak terasa hari ini akhirnya tiba juga. Hari dimana Lila akan menikah dengan Bara. Selama seminggu Lila maupun Bara tidak ikut andil mengurusi persiapan pernikahan. Semuanya di urus oleh kedua keluarga.
Pernikahan Bara dan Lila di laksanakan di rumah sakit. Di ruangan Anan Murtopo di rawat. Keadaan laki-laki tua itu semakin lemah. Bernafas pun di topang alat bantu. Tidak memungkinkan untuk membawanya pulang.
Keluarga Bara berulang kali meminta maaf sebab harus melakukan acara pernikahan seperti ini. Seharusnya ada pesta yang meriah. Layaknya pesta pernikahan pada umumnya. Ada kartu undangan, gaun pernikahan, resepsi, makanan, serta para tamu undangan.
Mereka pun berencana menggelar resepsi pernikahan setelah keadaan kakek Bara membaik. Lila tidak tahu kapan itu? Ataukah tidak akan pernah terjadi. Yang ia lakukan hanyalah membahagiakan keluarganya. Bukan karena Bara, meski Lila mencintainya.
Di ruangan VIP itu sudah banyak orang. Dari keluarga Lila, keluarga Bara, penghulu, Dian, dan dua orang saksi dari keluarga Bara.
Wajah salah satu seorang saksi seperti tidak asing untuk Lila. Setelah di ingat ternyata laki-laki paruh baya itu adalah direktur rumah sakit ini. Dan yang membuat Lila merasa bodoh sekali adalah dia baru tahu jika rumah sakit tempatnya bekerja adalah milik keluarga Murtopo.
Astaga... Lila merasa bodoh sekali. Dalam hati ia merutuki diri sendiri. Bisa-bisanya dia tidak tahu apa-apa. Pastinya sekarang para pegawai rumah sakit sedang membicarakannya.
Pandangan Lila kemudian bergeser pada laki-laki tampan yang kini menatapnya. Bara terlihat tampan dengan setelan jas berwarna hitam.
Dari tempat duduknya Bara juga memandang Lila yang sudah cantik dengan kabaya warna putih yang membalut tubuhnya. Teman SMA-nya itu sangat cantik.
Ira kemudian mengantar putri bungsunya duduk di sebelah calon suaminya.
"Kamu cantik. " Bisik Bara.
Lila hanya tersenyum. Pujian yang manis tapi sayangnya kurang tepat sasaran. Seharusnya pujian itu di tujukan untuk wanita lain.
Di ranjangnya. Di bagian atas ranjang yang sedikit di tinggikan, Anan Murtopo menyaksikan proses pernikahan cucunya. Kebahagiaan menyelimuti hatinya. Akhirnya keinginannya untuk menikahkan cucunya dengan cucu dari sahabatnya bisa terlaksana.
Dengan satu kali tarikan nafas Bara dengan tegas mengucapkan ijab qobul. Akhirnya mereka sudah sah menjadi suami istri.
Semesta memang kadang bercanda. Bertahun-tahun Lila menyukai Bara, bertahun-tahun mereka terpisah, dan kini karena perjodohan mereka sudah dah menjadi suami istri.
Semua orang di sana tampak bahagia. Lila pun sama.
"Akhirnya kita sekarang menjadi satu keluarga, " Ucap Amin pada sahabatnya. Kakek Bara hanya bisa mengangguk pelan.
Acara berlanjut dengan penandatanganan buku nikah lalu kedua pengantin bergantian menyematkan cincin di jari masing-masing.
"Terima kasih. " Lirih Bara yang masih bisa didengar oleh Lila.
Wanita itu hanya mengangguk kaku.
Kini dunia Lila sudah berubah. Dia buka lagi single namun sudah berstatus sebagai seorang istri.
Lila tidak tahu apa yang yang akan terjadi kedepannya dengan pernikahan karena paksaan seperti ini. Namun ia akan berusaha menjadi istri yang baik, sampai waktu itu tiba. Waktu di mana Bara akan meninggalkannya dan kembali pada wanita yang dicintainya.