“Dhaffin?” panggil Luna yang menatapnya dari balik pintu kamar. Pemuda yang dipanggil namanya itu hanya bisa meringkuk semakin dalam terantuk disisi ranjang dengan tangan yang masih pula stagnan menggenggam. Selimut yang entah oleh siapa dipasangkan pada tubuhnya melorot. Luna mendekat, menepuk bahu sang adik yang dia sayangi dan menatap miris terhadap pemandangan yang disaksikan. Sudah semalaman Dhaffin berada disini, tanpa sedikitpun keluar dari ruangan. Mengabaikan kepentingan pribadinya sendiri. Menyadari ada tangan yang menyentuhnya. Kaget, Dhaffin beringsut dari posisinya. Mata mereka bertemu. Ada sorot kekecewaan disana, yang Luna pikir pemuda itu sempat mengira bahwa dirinya adalah Edna. “Bagaimana perkembangan kondisi ayah dan Ibu ?” Dhaffin bertanya untuk menghilangkan rasa gan