BAB 6
“Kamu jangan sok jual mahal gitu, Mel! Mas bisa kasih kamu uang kalau kamu tutup mulut! Lagian ‘kan kamu pasti kesepian juga! Yasa bukannya sudah diusir bapak, ya?” seringainya.
“Istighfar, Mas! Aku gak serendah itu! Kumohon Mas, cepat pergi dari kamar ini!” ucapku sambil berjalan menggeser langkah. Aku tidak boleh terus mundur atau akan terpojok olehnya.
“Ayolah Mel, Mas sudah nggak tahan! Sudah lama Mas suka sama kamu sebetulnya!” ucapnya sambil membuka kancing kemejanya.
Aku segera berlari menuju pintu yang kuncinya masih menggantung di sana. Namun tangan Mas Hasim menarik kain dasterku dari samping. Beberapa kancing depan terlepas.
“Jangan, Mas!” Aku menepis lengannya tapi tidak merubah posisi. Mas Hasim semakin mendekat ke arahku.
“Mau lari ke mana, Mela! Layanin Mas dulu, sebentar saja!” bisiknya. Menjijikan.
Kusikut perutnya tapi dia malah terkekeh. Dia mendorong tubuhku sehingga terjatuh di antara tumpukan pakaian.
“Mas, Lepas! Tol--,” satu tangannya membekap mulutku.
Air mataku sudah mengalir. Kulirik semprotan pewangi untuk menyetrika tergeletak tidak jauh dariku. Segera kuraih dengan satu tangan dan kusemprotkan pada matanya.
“Awww!” Bekapan tangannya terlepas. Aku mendorong tubuhnya sekuat tenaga. Berhasil, aku terlepas darinya.
Kuraih setrikaan yang masih panas dan kuarahkan padanya. Aku mundur mendekat ke arah pintu.
“Mela!” hardiknya ketika aku sudah memutar anak kunci. Dia tidak berani mendekat. Kalau saja berani akan kusetrika wajahnya.
Pintu berhasil kubuka. Setrikaan panas itu kutarik paksa. Bagaimanapun aku masih khawatir dia menangkapku kembali dan mengunci pintu depan. Agis benar sudah tidak ada, sudah pergi bermain rupanya.
“Mela! Jangan berani mengadu pada siapapun kalau tak ingin kamu menyesal!” ancamnya dengan napas turun naik.
Dia berjalan mendekat padaku yang sedang membuka pintu depan. Setrikaan masih kupegang di tangan.
Aku melempar setrikaan ke arahnya ketika pintu sudah berhasil terbuka. Aku berlari pulang sambil menangis. Tidak menyangka kakak iparku sendiri akan berbuat serendah itu.
“Kamu kenapa Mel? Baju kok pada lepas kancingnya gitu!” Ibu menatapku. Alika masih tertidur di ayunan.
Tidak kujawab. Aku langsung memeluk tubuh ringkihnya. Kutumpahkan semua rasa takut dan kesal atas kejadian yang kualami hari ini.
“Mas Hasim, Bu! Di—dia mau melecehkanku,” ucapku disela isak.
“Astagfirulloh!” Ibu mengucap istighfar sambil mengeratkan pelukannya padaku. Diusapnya punggungku dan ditenangkannya.
Namun belum selesai aku melepas semua rasa trauma ini. Tiba-tiba terdengar pintu dibuka dengan kencang.
“Mela! Anak nggak tahu diuntung! Malu-maluin, bapak saja kamu kerjanya!” teriaknya. Bapak datang dengan Murka.
Aku melepas pelukanku pada ibu. Kumenoleh pada bapak yang datang bersama Mbak Miranda ternyata.