Episode 3 : Seaneh Mereka

1726 Kata
Sultan menepikan motornya di depan sebuah sekolah menengah atas. Ia sengaja mendekati seorang satpam yang berjaga di sana. Satpam tersebut baru saja membantu sedan warna hitam sangat mengkilap, parkir di dalam sana, di tempat parkir khusus yang ada di dalam area sekolah terbilang elite tersebut. “Ada apa, Mas? Sepertinya, Mas bukan murid sini?” tanya satpam tersebut, seorang pria muda yang kiranya baru berusia sekitar dua puluh lima tahun. Sultan berangsur melepas helm-nya meski ia sudah sampai menaikan kaca bagian wajah helm warna merah beraksen hitam yang dikenakan. Sultan melakukannya agar terkesan lebih sopan. “Mas Satpam, ... Soleh?” Sultan membaca tag name di seragam putih si pria. Pria tersebut langsung mengangguk, membenarkan anggapan Sultan. “Alhamdullilah, Mas. Saya terbilang soleh, dan enggak badung-badung amat!” balas satpam tersebut, sangat bersemangat sekaligus bangga. Setelah terdiam heran, demi menjaga perasaan sang satpam, Sultan juga turut bersuka cita dan turut mengucapkan alhamdullilah. “Namanya benar Mas Soleh, ya, Mas Satpam?” Sultan sengaja memastikan. Sambil menatap Sultan penuh terka, satpam tersebut kembali mengangguk. “Iya, Mas. Nama saya memang Soleh. Memangnya ada apa, sih, Mas?” Sultan tersenyum semringah. “Gini, Mas, saya mau tanya. Kalau boleh tahu, seragam celana olahraga buat siswi di sini, panjang warna hitam, bukan, ya?” Sultan memasang senyum terbaiknya, senyum yang membuat kedua lesung pipit di pipi putih mulusnya, bermekaran indah, membuatnya makin manis sekaligus menggemaskan. Namun, karena si satpam yang ditanya justru kebingungan, senyum yang awalnya Sultan pasang hingga gigi rajinnya kering, juga dibarengi dengan rasa kesal yang akhirnya tersulut. “Ya ampun, Mas, masa iya, mikirnya lama banget? Masak rendang saja bisa sampai mateng cuma karena nungguin jawaban dari Mas,” keluh Sultan. “Lagian kan saya cuma nanya seragam olahraga siswi di sini, enggak sampai celana dalamnya karena enggak mungkin juga celana dalam siswi di sini seragam!” Lanjutan ucapan Sultan barusan langsung membuat satpam Soleh mendelik. “Kok sampai bahas celana dalam, sih?” tegur satpam Soleh dengan suara lirih menyerupai berbisik. “Lagian Mas-nya lama jawabnya! Kan erosi!” balas Sutan ketus. “Emosi, emosi, bukan erosi!” sergah satpam Soleh. Belum sempat ia melanjutkan, dari dalam seseorang yang baru keluar dari sedan hitam, sudah berseru. “Mas Satpam, tolong, dong. Ini, sengeri ini.” Suara pemuda yang mengenakan setelan jas hitam di depan masih terdengar jelas di telinga Sultan yang ditinggalkan oleh sang satpam. “Ini cicak, Mas Zio.” Sultan mengenali suara tersebut sebagai suara satpam Soleh. “Iya, saya tahu itu cicak, Mas.” Suara pemuda yang dipanggil Mas Zio oleh satpam Soleh kembali terdengar. Bagi Sultan, gaya pemuda yang Sultan tafsir berusia sebaya dengan satpam Soleh, mirip dengan tuan muda yang apa-apa serba diladeni. “Oh, Mas Zio takut cicak?” “Saya enggak takut, Mas. Saya hanya geli apalagi kalau ekornya sampai lepas.” Mendengar itu, Sultan terkikik. “Ekornya sampai lepas? Dikiranya tuh cicak ciptaan dia kali, ekornya bisa lepas pasang!” Susah payah ia mengendalikan tawanya. “Ya ampun, Mas! Bahkan di sini ada kadal, kodok, ular! Sebenarnya ini sekolah apa kebun binatang, sih?!” Lanjutan suara Zio barusan langsung membuat Sultan terbahak. “Kebun binatang? Kenapa enggak sekalian bilang, tuh hewan sama reptil lagi pada reuni atau parahnya lebaran di sini? Duh, jadi ragu, jangan-jangan tuh Mas tuan muda pakai celana dalam warna pink! Masa iya, cowok tampilannya sedinas itu takut hewan kecil! Cukup takut sama Tuhan lah, jangan yang lain! Eh, takut sama Mamah Papah juga karena mereka perantara Tuhan yang bikin kita ada, hahaha!” Sultan yang belum melihat seperti apa sosok Zio, baru menyadari, ia sudah terlalu lama keluyuran sedangkan jarak sekolahnya dengan sekolah keberadaan Zio, terbilang jauh. Ketar-ketir, Sultan buru-buru mengenakan helm dan tak lupa mengancingnya demi keselamatannya selama berkendara. Dengan kecepatan penuh, Sultan mengemudikan motornya meninggalkan sekolah yang baru saja dikunjungi. Ketika akan turun dari tanjakan, Sultan dihadapkan dengan pedagang cendol yang mendorong gerobaknya untuk menyebrang. Baik Sultan maupun tukang cendolnya tak sengaja bertatapan, keduanya sama-sama langsung syok. “Woy, minggir, jangan lewat! Enggak ada yang jualan nyawa, bahaya!” Sultan refleks berteriak, si tukang cendol pun melakukan hal serupa. Bedanya, ketika Sultan tetap menunggangi motornya, si tukang cendol sengaja mendorong gerobaknya hingga gerobak cendolnya menyeberang sendiri. Kenyataan tersebut membuat keadaan kacau karena gerobak cendolnya juga justru mengarah pada tukang ojek yang sedang nongkrong di dekat jejeran motor yang terparkir di seberangnya. Mereka semua kocar-kacir, bubar demi menghindar hingga suasana menjadi genting. Setelah itu, mereka pun berniat mengejar Sultan untuk meminta pertanggung jawaban. “Heh, bocah, balik!” teriak salah satu bapak-bapak di sana sambil menunjuk-nunjuk ke arah Sultan. Sultan yang menoleh dan mendengar titah tersebut berkata, “Masalahnya dari zaman Firaun sampai sekarang pemerintahannya Papah Jokowi, belum ada motor yang jalannya mundur, Pak! Assalamualaikum, nanti sebentar lagi pasti ada yang urus dan ganti semua kerugiannya, kok. Bismilah, semoga kita masuk surga!” balas Sultan sengaja berseru. Sultan yang awalnya sibuk menoleh di tengah kesibukan motornya yang terus melaju, langsung banting arah ke kiri. “Kan, nyaris kebablasan. Enggak punya mata banyak, sih ... eh, kalau mataku banyak ya ngeri juga!” *** Sekitar sepuluh menit dari kepergian Sultan, kehadiran Lintang yang sampai mengenakan celana olahraga padahal Lintang mengenakan rok, langsung mengusik perhatian Soleh yang terjaga di depan gerbang sekolah. Memang bukan hanya Lintang yang baru datang, tapi perbedaan penampilan Lintang yang begitu mencolok dari celana olahraga maupun masker yang membuat sebagian wajah Lintang tertutup, membuat siswi tersebut terlihat paling berbeda. Namun sepertinya enggak hanya berbeda, deh? pikir Soleh yang melepas kepergian Lintang penuh terka. Lintang memasuki tempat parkir yang berseberangan dengan tempat parkir keberadaan mobil Zio. Dan ketika Lintang sudah meninggalkan motor gedenya, Soleh baru ingat Sultan yang sempat menanyakan perihal seragam olahraga siswi di sekolah Soleh bekerja. Namun masa iya, enggak nyambung juga, kan? Maksudnya, enggak mungkin juga Mas-Mas tadi nyari Mbak Lintang pacarnya Mas Langit? pikir Soleh. **** Meski sudah memakai masker yang membuat sebagian wajahnya tertutup, Lintang tetap sibuk bersin karena di sana memang banyak siswa yang lalu lalang ia lewati. Lintang berharap bisa secepatnya sampai kelas, agar ia bisa secepatnya bersama Langit selaku adik sekaligus sang kembaran yang hari ini mendadak pergi lebih awal tanpa menunggunya. Karena ketika Lintang bersama Langit, alergi anehnya pada laki-laki akan sedikit reda. “Si Lintang? Cewek aneh itu? Penyebar virus dia, kerjanya bersin terus!” ucap salah satu siswi sambil memilin rambut bergelombangnya yang tergerai. “Namun dia beruntung karena Langit sayang banget sama dia.” “Iyes, ... beruntung banget tuh si Lintang. Bisa-bisanya Langit pilih cewek jadi-jadian penebar virus seperti dia.” “Iya ... bener banget! Paling enggak harusnya Langit sama Pia yang selalu jadi siswi tercantik sekaligus terpintar di sekolah kita. Apalagi Pia juga selalu aktif dan sampai jadi wakil ketua OSIS selama dua tahun berturut-turut!” “Eh, jangan lupa, Langit, Lintang, Pia, ketiganya selalu peringkat satu. Cuma yaitu, kalau dibandingin, Langit lebih cocok sama Pia apalagi Langit kan ketua OSIS dan aktif di berbagai kegiatan kayak Pia.” Mendengar itu, Lintang yang awalnya melangkah lurus menuju lorong lain refleks menghentikan langkahnya. Rasa sesak tiba-tiba menyumbat dadda Lintang yang memilih putar balik, menunda tujuan awal langkahnya. Dan Lintang memilih untuk menghampiri empat orang siswi yang sedang menjadikannya sebagai bahasan utama. Setelah mengamati nama yang tertera di seragam bagian d**a kiri si siswi yang membuka obrolan dan ternyata bernama : Citra Wulandari, Lintang berkata, “Citra Wulandari, cewek tukang nyinyir? Kelebihan bibir dia, ... kurang kerjaan, hidupnya enggak bahagia makanya asal nyinyirin orang!” tegas Lintang kesal. Tentu kenyataan tersebut membuat yang bersangkutan murka. Melalui lirikan, cewek bernama Citra itu langsung menyuruh ketiga rekannya untuk menahan Lintang. Ulah mereka sukses membuat mereka mendapati tag name di seragam putih bagian d**a yang Lintang kenakan. “Ternyata si virus di sini,” ucap Citra di sela tawanya. “Oke, kita lihat cewek virus sok cantik ini yang enggak bisa hidup tanpa masker. Gimana kalau kita lepas maskernya?” ucap Citra yang menarik paksa masker Lintang. Setelah apa yang Citra lakukan yaitu melepas paksa masker Lintang, suasana di sana mendadak menjadi hening. Keempat pasang mata yang mengelilingi Lintang menatap Lintang tak percaya. “Memang aku cantik. Yang sok cantik itu kalian. Tampang pas-pasan tapi sok gaya! Sori, ya. Mulutku kalau lagi emosi memang lebih pedes dari abon cabe level setan!” cibir Lintang yang kemudian mengeluarkan selembar masker cadangan dari saku seragam bagian dadanya. Lintang berlalu dari sana sambil memakai maskernya, tapi ia juga mendadak berhenti kemudian menoleh pada kebersamaan Citra dan ketiga rekannya. “Oh, iya. Aku lupa, tadi aku habis lap ingus pakai masker, maaf kalau tuh masker lengket,” serunya. Mendengar itu, Citra langsung memelotot sebelum akhirnya menjerit jiijik, panik. “Jiijik ... jiijik! Ihhh, tisu ... tisu ... ahh ... kamar mandi, kamar mandi!” Citra panik, benar-benar panik hingga ketiga temannya kebingungan dan tak bisa mengimbangi. Ketiganya hanya menjelma menjadi satelit yang mengikuti ke mana pun Citra lari. Lintang tersenyum sambil menggeleng geli. Ia kembali melanjutkan langkahnya dengan tujuan semula. Ketika menaiki anak tangga menuju lantai atas tujuannya, ia mendadak bersin. Ada seorang cowok yang ternyata berlawanan arah dengannya dan justru ikut berhenti tepat di hadapannya. Eh ... dia ... dia Zio anaknya Om Zack, kan? Kok dia di sini? Dia sekolah di sini? Apa ada perlu, apa bagaimana? Apa dia sengaja nyari Langit, ya? Tumben, enggak pakai pengawal? batin Lintang di tengah kesibukannya bersin. Lintang buru-buru berlalu bahkan sampai berlari meski cowok yang ia kenal sebagai anak dari bos Edward sang papah terus menatapnya. Dia Lintang, kan? Enggak berubah, seaneh itu! Sampai pakai celana begitu kayak mau lomba Agustusan atau malah mau pergi ke sawah! Ih ... seaneh itu! batin Zio yang masih berdiri kaku tak ubahnya patung hidup. Pemuda yang mengenakan setelan jas biru gelap lengkap dengan dasi yang menyempurnakan penampilannya itu melepas kepergian Lintang dengan tatapan heran. Kalau si Zio tahu ini aku, pasti dia menganggap aku sombong. Dia pasti akan bilang gini, seaneh itu? Dasar anak karyawan enggak beradab! Ah biarin, ah. Salah siapa dia aneh. Ada, manusia pendiam kayak dia yang bernapas saja enggak ada tanda-tandanya. Dia bahkan enggak pernah senyum, wajahnya rata. Jalan tol saja ada tanjakannya sama belokannya, kan? batin Lintang. Tiba-tiba saja Lintang menghentikan langkahnya. Kira-kira, dia masih menganggapku aneh apa tidak, ya? Ah ... dia bahkan membenciku hanya karena aku bengek! Peduli amat sama orang sok sempurna seperti dia! Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN