Lintang Putri Edward mematut penampilannya di cermin rias yang menghiasi kamar bernuansa biru muda miliknya. Lintang mengagumi kecantikannya. Hidung yang mancung, mata yang lebar bak mata boneka, bermanik mata hitam dan terlihat sangat bening, gigi putih sekaligus rajin, kulit putih bersih tanpa harus membuatnya melakukan perawatan. Juga, rambut hitam tebal lurus yang membuat penampilannya makin sempurna. Namun, ketika pintu kamarnya dibuka dari luar disusul sosok pria paruh baya yang menyambutnya dengan senyum canggung, detik itu juga Lintang menjadi sibuk bersin. Kecantikan yang awalnya tampak sempurna menjadi berantakan tanpa terkecuali rambut indahnya yang harus buru-buru ia kuncir.
Edward, pria paruh baya selaku pelaku yang membuka pintu kamar Lintang langsung panik. “Its oke, Sayang. Its oke!” ucap Edward buru-buru menutup pintu kamar Lintang.
Lintang yang Edward tinggalkan buru-buru mengambil masker dari meja rias kemudian memakainya. Melalui masker tersebut, ia mencoba menghalau aroma laki-laki yang tertinggal.
Semenjak lahir, Lintang memang memiliki alergi aneh yaitu alergi pada laki-laki bahkan pada papahnya sendiri. Namun, pada Langit Putra Edward selaku adik sekaligus kembarannya, alergi tersebut tidak berlaku. Lintang akan baik-baik saja jika bersama Langit. Asal ada Langit, berada di tengah banyak laki-laki pun, Lintang tidak akan separah jika dirinya justru melakukannya sendirian.
Di luar kamar, Edward masih mencoba meredam detak jantungnya yang kacau sekaligus berisik. Hingga detik ini, Edward memang masih bertanya-tanya, kenapa putri yang ia lahirkan menggunakan kedua tangannya sendiri karena saat itu dokter yang membantu Embun Susanti sang istri justru pergi dan sibuk sendiri, sampai alergi pada laki-laki bahkan padanya yang merupakan papah kandung Lintang. Bahkan karena alergi itu juga, Edward sangat jarang berdekatan apalagi kontak fisik dengan Lintang termasuk sekadar bergandengan tangan. Hanya di beberapa kesempatan dan jika sudah kepepet saja mereka melakukannya semacam berpelukan dan itu pun akan membuat Lintang bengek karena terlalu banyak bersin.
Dulu, Edward memang sempat alergi pada wanita, sebelum akhirnya Edward kenal dan menikah dengan Embun dan perlahan, alergi Edward hilang dengan sendirinya asal ia sedang bersama Embun. Sedangkan alasan Edward alergi wanita karena Edward mengalami hal yang benar-benar membuat Edward trauma, trauma yang juga sampai membuat Edward jijikk pada wanita.
Persis seperti Lintang, dulu, Edward akan sibuk bersin, cegukan bahkan bengek jika Edward dekat bahkan sekadar menghirup aroma wanita dari kejauhan. Tak jarang, Edward harus opname karena alerginya saat itu.
Edward merasa wajar, dulu dirinya pernah alergi pada wanita karena memang Edward memiliki pengalaman sekaligus masa lalu tidak mengenakan dan berkaitan dengan wanita. Namun Lintang, putrinya itu benar-benar alergi semenjak lahir.
“Apa gara-gara aku yang brojolin pakai kedua tanganku langsung, ya? Ah, masa sih? Sejauh ini juga banyak laki-laki yang jadi dokter kandungan. Tetap enggak masuk akal dan sampai kapan, Lintang begini?” Edward terus bertanya-tanya, hingga akhirnya pintu kamar Lintang terbuka dengan kasar karena seseorang dan ia yakini Lintang, melakukannya.
Mengenakan masker yang sampai menutupi sebagian wajah dan membuat kecantikan putrinya itu tersembunyi, juga rambut lurus yang sudah dikuncir tinggi, lengkap dengan gerak Lintang yang begitu buru-buru, membuat Edward yakin, gadis cantiknya itu akan langsung pergi ke sekolah.
“Morning, Pah? I love you!” seru Lintang yang buru-buru berlalu dan sampai setengah berlari.
Tak hanya Edward yang merasa terluka akibat kenyataan mereka yang harus selalu menjaga jarak. Sebab, hal tersebut juga membuat Lintang kembali merasa sangat nelangsa. Lintang ingin hidup normal layaknya manusia lainnya, layaknya remaja kebanyakan yang bisa bermanja ria pada sang papah dengan leluasa. Apalagi selain sangat menyayanginya, Edward papahnya juga sangat keren sekaligus genius. Edward serba bisa dan selalu menciptakan banyak tawa di dalam kebersamaan mereka. Bahkan dari Edward pula, bersama Langit, Lintang tak hanya belajar mengendarai mobil dan motor gede, tetapi sampai belajar melakukan perawatan mesin hingga Lintang dan Langit juga menjadi serba bisa layaknya sang papah.
“Mamah sudah menunggu di ruang makan. Ambil bekal kamu dan jangan lupa, paling enggak kamu minum air hangat dulu, habis itu minum susuu!” seru Edward.
“Oke, Pah! Aku sayang Papah!” Lintang berseru sambil terus berlalu. Ia meraih sebuah kunci motor dari rak kunci di dinding sebelum memasuki area dapur.
Dari kejauhan, Edward masih memperhatikan gerak-gerik Lintang. “Semoga, alergi kamu segera sembuh agar kita bisa menjalani hubungan yang normal, Sayang. Papah ingin peluk kamu, Papah juga ingin ajak kamu jalan-jalan dengan leluasa. Paling tidak kita bisa motoran bareng tiap hari.”
Sementara itu, di kediaman yang jauh lebih megah, Sultan Arsy Abdi Guna masih sibuk mengatur napas. Buih keringat mengalir dari kepalanya membasahi wajah tampannya yang kali ini menahan banyak tegang.
“Cepat!” omel Leon yang sampai menimpuk pantatt sang anak menggunakan kemoceng.
Sultan yang sudah mengenakan seragam putih abu-abu khas anak sekolah menengah atas, refleks mendengkus kesal akibat ulah Leon sang papah. Sambil memasang wajah cemberut, ia menatap sang papah yang berdiri sekitar satu meter dari keberadaannya.
“Papah, ya ... aku kan enggak nunggak bayar kontrakan tapi gaya Papah mirip emak-emak penagih tunggakan kontrakan di tipi tipi,” keluh Sultan.
“Papah bisa lebih menggila dari emak-emak, kalau sampai sekarang, sudah segede ini kamu masih enggak bisa naik motor!” omel Leon yang sampai menggunakan kemoceng di tangan kanannya untuk menekan pundak, punggung, bahkan kepala sang anak. “Sudah, naiki motornya. Nanti kamu telat!”
“Kasihan, Pah. Masa iya motor dinaiki, nanti motornya sakit!” rengek Sultan tak mau kalah.
Leon menggeragap saking jengkelnya. Meski ia sudah sering mendapatkan jawaban sama dari sang putra yang memiliki hati sangat lembut, ia tetap tidak terima putra semata wayangnya sampai tidak mau naik motor hanya karena Sultan takut melukai motornya bila Sultan menunggangi motornya.
Menahan emosi, Leon melangkah tergesa memutari Sultan yang masih mendiamkan motor gede dan sudah Leon sediakan. “Seharusnya kamu mikir, masa iya, kamu enggak mau naik motor juga? Motor itu sudah takdirnya diduduki, tapi kalau kamu bisa mengendarai motor sambil berdiri oke, berarti kamu hebat!” omelnya sambil memukul-mukul motor menggunakan kemoceng. Seperti biasa, Sultan langsung sibuk mengelus bagian yang baru saja Leon pukul.
“Logikanya kalau kamu enggak mau menyakiti, kenapa kamu pakai sandal apa sepatu yang tiap saat kalau dipakai selalu diinjek-injek?” lanjut Leon masih mengomel.
Dengan polosnya, Sultan bertanya, “Berarti aku boleh nyeker dong, Pah, biar aku juga enggak menyakiti sepatu sama kaos kaki aku?”
“Heh!” Leon refleks berseru saking syoknya.
Leon menjadi terengah-engah, menghela napas pelan beberapa kali, selain ia yang refleks mematahkan kemocengnya bak pegulat andal.
“Papah tuh lebih suka kalau kamu badung sekalian. Jadi ketua geng motor, jadi preman sekolah apa bagai mana, jangan lembek begini! Masa iya, naik sepeda apalagi naik motor, kamu takut! Enggak jelas banget ih, kamu!”
“Mah ...?”
“Enggak usah bawa-bawa Mamah karena ini urusan laki-laki! Maco, kamu harus badas!” Leon benar-benar kesal, tapi kekesalannya beralasan. Ia tak rela jika karena kelembutan hati anaknya, anaknya itu dipandang sebelah mata dan parahnya sampai dipermainkan.
Merasa tertantang, sambil membusungkan d**a kemudian menahan napas, Sultan duduk gagah di atas motor gedenya. Segera ia menyalakan mesin motornya, sebuah kenyataan yang langsung disambut bahagia oleh Leon.
“Nah ... nah, terus, semangat, tarik, jalan!” seru Leon berusaha menyemangati selain semangatnya yang menjadi berkobar-kobar.
Ngeeengg!
Sultan memacu motornya dengan kecepatan tinggi, benar-benar tinggi dan terlihat kewalahan. Tubuh Sultan terlihat sampai nyaris melayang.
“Pah ... tolongin, Pah!” seru Sultan panik.
“Bisa dimasukin toples aku sama Sasmita, kalau putra kesayangannya sampai terluka!” Mau tidak mau, Leon yang panik sekaligus mengkhawatirkan sang putra buru-buru lari menyusul.
Di tengah usianya yang tak lagi muda, Leon nyaris mengalami serangan jantung ketika melihat anaknya nyaris menghantam gerbang rumah. Beruntung, Sultan mendadak mengerem laju motornya. Motor yang Sultan tunggangi sampai menjadikan roda depan sebagai penopang motor karena bagian belakangnya terangkat. Gaya Sultan benar-benar seperti pembalap andal.
Detik berikutnya, Sultan yang terbahak sengaja membuka kaca helmnya. Ia menatap Leon dengan mengejek. “Akhirnya, aku bisa bikin Papah olahraga pagi! Hahaha ....”
“Kurang ajar, yah, kamu! Jantung Papah nyaris copot gara-gara panik!” ucap Leon refleks. Leon tidak tahu, haruskah ia senang karena ternyata Sultan sudah bisa naik motor? Atau, Leon harus kesal karena selama ini, Sultan sudah mengelabuhinya?
“Mah, suamimu! Hahaha ... akhirnya setelah sekian purnama, Papah olahraga pagi lagi!” ucap Sultan yang masih tertawa. “Besok aku mau bikin Papah panik lagi biar jantung Papah beneran lepas, habis itu kita ganti jantung Papah sama jantung semut, Mah! Biar Papah jadi lebih memiliki jiwa lembut, hahaha!”
Leon benar-benar syok dengan ulah Sultan apalagi di balkon lantai atas sana, ada Sasmita yang ternyata menjadi sponsor terbesar Sultan dalam mengelabuhinya.
“Hati-hati, yah!” ucap Sasmita melambaikan tangan pada sang putra sambil tersenyum penuh rasa sayang.
Leon menggeragap, merasa kecolongan meski pada kenyataannya, hubungan Sultan dan Sasmita memang sangat dekat. “Kalian, ya?” keluhnya pada Sasmita yang langsung menahan senyum sambil menatapnya. “Sudah, olahraganya dilanjut. Semangat, masa nyuruh anak semangat, buat sendiri melempem?”
“Aku sudah rapi gini,” protes Leon yang juga berkeluh kesah.
“Ingat, asam urat sama rematik kamu tinggi, By!” balas Sasmita yang kemudian tersenyum sangat santai.
***
Ketika terjebak macet karena lampu merah, awalnya Sultan menatap biasa motor gede yang baru saja menepi di sebelahnya, tanpa sedikit pun merasa berbeda apalagi aneh. Pengemudi motor tersebut memakai celana olahraga panjang warna hitam, tapi ketika Sultan nyaris mengalihkan tatapannya, pemuda itu terkejut karena pengemudi tersebut tak hanya memakai celana olahraga. Ada rok seragam warna abu-abu yang turut menyertai!
Gila, itu cewek? Motornya sama kayak punyaku, cuma beda warna. Papah bilang, ini keluaran terbaru, batin Sultan terbengong-bengong dan melepas kepergian motor barusan dengan tatapan tak percaya cenderung takjub. Wah, kalau ketemu lagi aku ajak balap! Eh, apa aku ikutin saja, ya? Kalaupun aku bolos kayaknya oke-oke saja. Papah aja punya cita-cita aku jadi preman sekolah bahkan begal, kan?
Sultan yang sampai membuka kaca helmnya, menatap serius motor yang pengemudinya merupakan Lintang, tapi Sultan tak bisa melihat wajah Lintang karena wajah Lintang tertutup kaca helem.
Klakson yang makin berisik bersama laju kendaraan yang mulai tak terkendali, menyadarkan Sultan dari renungan. Sultan bergegas mengemudi dan buru-buru menyusul Lintang, tak mau tertinggal sedikit pun.
Bersambung ....