Episode 6 : Masih Tentang Lintang

1753 Kata
“Halo?” Di kediamannya, di ruang keluarga, Lintang yang sedang sibuk di depan laptopnya, asal meraih ponsel yang berdering meski di sebelahnya ada ponsel lain yang terkapar. “Eh?” Baru Lintang sadari, ponsel yang ia jawab telepon masuknya merupakan ponsel Langit. Buru-buru ia memastikan kontak penelepon yang masih diam dan ternyata justru Zio. Detik itu pula Lintang menjadi bersin. “Pantes. Si jalan tol,” gumamnya yang langsung dibuat jengkel karena dari seberang sama sekali tidak melakukan basa basi. “Langit ke mana? Suruh Langit ke rumahku bila papah kalian sudah pulang. Papahku bilang, ada berkas yang harus diantar.” “Kenapa juga bukan kamu yang ke sini? Lagian enggak mungkin papah kamu menyuruh-nyuruh gitu. Yang berbakat menyuruh-nyuruh itu kamu!” balas Lintang sewot. Ketika ia nyaris mengakhiri sambungan telepon mereka, ia teringat sesuatu. “Satu lagi, ... kamu jangan asal menyuruh-nyuruh Langit, ya! Awas saja kalau aku tahu kamu menyuruh-nyuruh adikku, aku geprek wajahmu biar enggak serata itu!” Kali ini ia sengaja mengancam agar Zio yang selalu semena-mena, jera. “Heh, Lintang. Dari dulu kamu memang enggak pernah berubah, ya. Kurang ajar dipelihara!” umpat Zio meledak-ledak. “Bukan dipelihara, tapi sengaja diternak biar makin banyak!” sela Lintang sewot. Lama-lama aku telan nih orang! Batinnya gondok. “K-kamu ... aku ke kamu sekarang! Bengek, bengek kamu! Opname sekalian biar sekalian disumpal tabung oksigen mulutmu!” Ancaman Zio barusan refleks membuat Lintang syok. Lintang sampai bergidik merinding, tapi ia tak gentar bahkan meski Zio sudah mengakhiri sambungan telepon mereka. Merasa jengkel sekaligus tertantang, Lintang sengaja mengirimi Zio pesan menggunakan ponsel Langit yang memang ketinggalan. “Aku kirimi dia pesan pakai bahasa Jawa saja, biar dia makin bingung!” gumam Lintang benar-benar geregetan. Kedua tangannya sampai gemetaran hebat selain tubuhnya yang terasa sangat panas karena menahan emosi. **** Sekitar tiga puluh menit kemudian, seruan bunyi bel tanda seseorang datang dan menekan bel di luar sana, membuat Lintang yang masih sibuk di ruang keluarga bersama laptopnya, langsung terjaga. Bergegas Lintang mengakhiri kesibukannya yang sampai dihiasi beberapa kamus tebal. Lintang sengaja berlari demi secepatnya sampai. Lintang sangat berharap yang datang merupakan makanan pesanannya karena ia sudah sangat lapar. Karena selain kini merupakan malam Minggu, kenyataan orang tuanya yang tidak di rumah membuat Lintang yang sedang malas masak, memilih memesan makanan di luar. Belum lagi, Langit juga pergi dan berdalih ada urusan super penting yang tidak bisa ditinggalkan hingga Langit terpaksa meninggalkan Lintang sendirian di rumah. “Eng ...?” gumam Lintang dan seketika bengek karena yang ada di balik pintu justru Zio, bukan pengantar makanan sesuai yang ia harapkan. Lintang menggunakan kedua tangannya untuk membekap mulut dan hidungnya meski gadis bermata lebar itu sudah mengenakan masker selain rambut sepunggungnya yang tergerai indah. “Kan, bengek-bengek kamu! Makanya jadi cewek jangan banyak omong!” Zio yang telanjur geregetan sengaja terus menyusul Lintang dengan langkah tergesa. Lintang sampai memutari sofa di ruang keluarga yang mejanya dihiasi setumpuk kamus tebal selain laptop yang layarnya masih menyala. Benar kata orang tua Zio, sepasang anak kembar Edward cerdas semua dan hobi belajar. Pantas Arina dan Zack selalu memuji keduanya setengah mati bahkan ketimbang pada Zio sendiri sebagai anak mereka. “Covid kamu! Stop, pergi sana!” teriak Lintang terus kabur berlari membekap mulut dan hidungnya. “Minggir kepalamu! Sini kamu maju!” omel Zio yang sampai menyingsing lengan kemeja lengan panjang warna hitam yang dikenakan. Kesal karena Zio makin menjengkelkan, Lintang tak lagi menghindar. Lintang putar balik dan mengejar Zio sekalipun dirinya sudah sampai lemas karena terlalu lama bersin, bengek. Kenyataan Lintang yang tampak murka justru melawan, membuat Zio yang sempat memelankan langkah menjadi makin tertantang. Zio tak gentar dan sengaja berhenti di hadapan Lintang. Ia sengaja membusungkan daddanya yang mulai terbentuk dan terbilang bidang. Namun, kalian tahu apa yang Lintang lakukan? Gadis itu tak segan menikam dan membuat tubuh Zio terbanting sebelum akhirnya Lintang juga sampai menggunakan salah satu kakinya untuk menginjak sekaligus menahan punggung Zio hingga terdengar seruan heg kemudian kretek! Semuanya terjadi dengan sangat cepat. Zio bahkan tak bisa berkata-kata karena ulah Lintang membuatnya terlalu syok. Tulang-tulang di tubuhnya terasa remuk semua apalagi tangan kanannya yang sampai dipelintir oleh Lintang. Dan Zio merasa kecolongan bahkan membodohi dirinya sendiri. Bukankah ia tahu meski Lintang memang alergi laki-laki, Lintang jago bela diri? “Ampun, enggak?” bentak Lintang yang masih aktif bersin. Gilla si Lintang, jangankan buat ngomong, napas saja aku jadi engap gemetaran begini! batin Zio yang sampai panas dingin sekaligus berkeringat. Rasanya, tubuhnya benar-benar remuk. “Sayang, Papah Mamah pulang!” seru Embun terdengar semringah sekaligus penuh sayang khas seorang ibu yang begitu menyayangi anak dan keluarganya. Itu suara Tante Embun! Kesempatan ini! Aku harus teriak kesakitan biar Tante Embun panik biar Lintang kena batunya! pikir Zio yang benar-benar dendam pada Lintang. Seperti misinya, susah payah ia sengaja berteriak, meraung kesakitan disusul suara langkah cepat yang beradu dengan bersin Lintang. “Astaga ... Sayang, itu Zio? L-lintang ... Lintang, sudah. Lepas,” ucap Embun yang sampai menjatuhkan empat buah karton berukuran besar yang awalnya ia tenteng. Lintang yang masih sibuk bersin tak sedikit pun gentar. Ia menatap sang mamah kemudian bertanya untuk memastikan. “Lepasin apanya, Mah? Ah, lepasin bajunya saja biar dia pulang telanjaang! Biar tahu rasa, laki beraninya sama perempuan!” ucap Lintang semringah sambil menarik tahanan tangannya terhadap tangan kiri Zio. Embun bahkan Edward yang baru datang, langsung bergidik ngeri melihat ulah anak perempuannya. “Aku pingsan!” seru Zio yang seketika itu merem. Tak mau tertipu, Lintang sengaja melongok wajah Zio yang sampai berwarna merah padam penuh buih keringat. “Yang namanya pingsan ya langsung bres, enggak usah teriak kayak tante-tante sosialita lihat gepokan berlian!” omelnya. Kemudian, setelah melepas tahanan tangannya terhadap tangan kanan Zio, ia sengaja mendorong kuat punggung kepala Zio hingga Embun dan Edward yang masih menjadi penonton baik, menjadi meringis panik. “Aaaa!” teriak Zio refleks karena mendapatkan tendangan di panttatnya dan tentu itu tingkah Lintang. Ulah Lintang membuat Edward dan Embun mendelik kemudian keduanya kompak menelan saliva yang entah kenapa terasa sangat getir. “Enggak ada bunyi kresek-kresek, enggak empuk juga. Berarti sekarang kamu enggak pakai popok sekali pakai, ya?” tegur Lintang sambil berlalu meninggalkan Zio. “Sudah tua, masih saja dikawal baby sister!” Detik itu juga, Edward dan Embun refleks saling tatap sambil mengernyit cemas. Namun, mereka membiarkan Lintang menyalami tangan kanan mereka dengan takzim. Meski setelah itu mereka buru-buru menghampiri Zio untuk memastikan keadaannya. “L-lintang Put-tri, Edward!” lirih Zio. Saking emosinya, tak hanya suaranya yang gemetaran karena tubuhnya sudah mengalami hal serupa. “Enggak usah ngeluh terus! Dasar laki-laki lemah!” omel Lintang sambil berlalu dan benar-benar bar-bar. Sementara itu, di tempat berbeda. Di sebuah ruang VIP, Sultan baru saja datang dan melangkah pelan tak sepecicilan biasanya. Melihat pak Tama sang kakek yang terbaring lemah di ranjang rawat sana, Sultan merasa sangat sedih. Susah payah Sultan menahan diri agar tangisnya tidak lepas. Melihat Sultan yang bersikap manis sangat beda dengan Leon, pak Tama langsung bisa tersenyum. Apalagi tanpa diaba-aba, Sultan langsung menyalami mereka dengan sangat takzim. “Papah bilang, Mas nabrak tukang cendol?” ucap pak Tama yang enggan melepas salaman tangan Sultan. “Aissh, masa iya nabrak tukang cendol gosipnya sampai ke luar angkasa!” Sultan langsung salah tingkah dan menjadikan Leon sang papah yang duduk di sofa sebelah bersama Sasmita sebagai pusat perhatian. Keluh kesah Sultan langsung membuat pak Tama bengek karena terlalu banyak tertawa. Sasmita sang menantu langsung berusaha meredamnya. Menepuk-nepuk penuh sayang punggung pak Tama yang makin ringkih. Setelah keadaan makin baik, hal yang selalu ingin pak Tama lakukan adalah menghabiskan waktunya bersama cucu semata wayang. Cucu semata wayang berjiwa bar-bar tapi memiliki hati sangat lembut. Karena sekadar memakan makanan yang sebelumnya bernyawa semacam ayam goreng, ikan dan semua olahan daging lainnya, Sultan tidak sanggup. “Mas, bagaimana kabar nilai Mas?” pak Tama bertutur lirih sarat perhatian. “Seperti biasa, Kek. Nilaiku selalu ceria kayak orangnya!” balas Sultan Sambil memberikan senyum terbaiknya. Ia membiarkan tangannya digenggam oleh tangan sang kakek yang terasa dingin, layaknya biasa. Meski sempat syok, setelah itu pak Tama kembali tertawa ceria. Hanya Leon yang kebingungan. “Hon, nilai ceria seperti apa, sih? Kompakan sepuluh apa seratus, begitu?” bisiknya pada sang istri. Sasmita tidak menunjukkan ekspresi bahagia maupun ekspresi sedih. Ia menatap sang suami sambil menggeleng. “Menurut Papah, angka yang selalu ceria dalam suka maupun duka apa? Angka tiga, kan?” Mendengar itu, Leon langsung memelotot syok kemudian mengalihkan tatapannya pada kebersamaan Sultan dan pak Tama, di sebelahnya. “Mas mirip Papah, jadi pintarnya tertunda. Kalau Mas mirip Mamah, pasti Mas selalu jadi juara kelas bahkan juara sekolah,” ucap pak Tama yang teramat sulit mengakhiri senyum bahagianya bila sudah bersama sang cucu. “Enggak juga, sih, Kek. Aku memang sengaja slow biar murid-murid beasiswa enggak terlalu mendidih kepalanya karena terlalu over belajar. Bayangkan, seandainya aku mengeluarkan jurus tenaga dalam yang bikin aku paling pandai, ... meledak lah kepala mereka!” ucap Sultan sengaja berbisik-bisik di depan wajah sang kakek, membuat pria tua itu kembali bengek karena terlalu banyak tertawa. Kembali, Sasmita dan Leon bekerja sama untuk meredamkan semuanya khususnya kesehatan pak Tama. “Mas Sultan, seandainya Kakek meninggal besok, ... bagaimana?” Suasana mendadak diselimuti kesedihan karena pertanyaan pak Tama barusan. “Ya dikubur lah, Kek. Masa iya diajak joging? Aku ... aku pasti sedih. Namun, aku akan merawat dan selalu memastikan makam Kakek baik-baik saja. Tak lupa, aku juga akan selalu kirim doa.” Sultan memilih menunduk karena ia sudah langsung berkaca-kaca. Tak beda dengan Sultan, Leon dan Sasmita yang sudah kembali duduk di sofa juga langsung bersedih. Keduanya kompak menunduk sambil menyeka sekitar mata mereka yang basah menggunakan kedua jemari tangan. Tak mau membuat kebersamaan larut oleh kesedihan, pak Tama sengaja mengatakan maksudnya. “Pacar, Kek?” ulang Sultan sambil menatap sang kakek dengan tatapan tak percaya. Pak Tama langsung mengangguk-angguk di tengah senyumnya. “Iya, Mas sudah punya belum? Pacar ... cemceman kalau kata papah Mas!” “Nyaris, Kek!” ucap Sultan bersemangat menggebu-gebu. “Woaa? Hahahaha ... lanjutkan, Mas! Bawa dia untuk menemui kakek secepatnya, ya!” pak Tama sungguh bahagia. “Penginnya memang begitu, Kek. Apalagi lirikannya saja kode keras berasa ngajakin ke KUA!” ucap Sultan yang mengakhiri ucapannya dengan tertawa lepas. Ketika pak Tama tertawa lepas dan Sasmita menjadi tersipu, tidak dengan Leon yang langsung menunduk sambil menutupkan kedua tangannya pada wajah. Tuhan, berilah aku petunjuk agar aku bisa segera menemukannya! Batin Sultan yang tentu saja masih tentang Lintang. Bersambung .....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN