Hari ketiga Zio dirawat di rumah sakit, dan selama itu juga, Lintang yang menjadi penyebab pemuda itu dirawat di sana, terjaga. Lintang menjelma menjadi pengawal sekaligus pengasuh Zio sebagai wujud dari hukuman yang harus Lintang jalani atas ulahnya yang sampai membuat Zio terdampar sekaligus menjalani perawatan intensif di rumah sakit.
Dari semua luka, Punggung Zio paling bermasalah. Selain tangan kanan Zio yang dipelintir Lintang dan dikata dokter sampai ada beberapa saraf yang geser. Laki-laki lemah! Begitulah Lintang menyebut Zio.
“Diem terus. Sudah dekat, ya, sakratulmaut-nya?” sindir Lintang yang sesekali bersin meski ia sudah sengaja menjaga jarak.
Lintang duduk di sofa kecil di sudut ruang sekat sebelah, hingga meski mereka berada di ruangan yang sama, mereka tidak sampai saling tatap. Kenyataan tersebut sengaja dilakukan demi menjaga kesehatan Lintang yang memang alergi pada laki-laki. Alergi aneh yang hingga saat ini belum ada obat bahkan sekadar obat untuk meredamnya. Satu-satunya hal yang bisa sedikit meredam alergi Lintang hanyalah menjaga jarak dan menghindari aroma para laki-laki.
“Mulutmu isinya cuma cabe, ya? Makanya semua yang keluar pedas!” cibir Zio. Kemudian ia melirik sebal tangan kanannya yang dililit perban.
“Aku bosan hanya diam begini. Aku sampai enggak sekolah, enggak bisa motoran, enggak bisa masak. Pokoknya kamu bikin aku super siial!” keluh Lintang.
Mendengar itu, Zio refleks menelan saliva. “Kamu masih sehat saja bilang begitu, apa kabar aku?”
“Retak, kan, tulang punggung kamu? Untung cuma tulang punggung. Karena kalau otakmu sampai retak bahkan rusak, makin nyusahin saja hidup kamu. Pengawal kamu pasti lebih dari tujuh kurcaci dan kamu jadi tuan putri!” cibir Lintang sambil bersedekap dan meluruskan kedua kakinya.
“Kamu yang bikin aku begini. Bahkan gara-gara kamu, Pia mengambek! Malam Minggu kemarin dia nungguin aku sampai subuh di kafe!” omel Zio meledak-ledak hingga leher dan tulang punggungnya makan sakit. Ia sampai menyeringai dan refleks merintih kesakitan.
“Ah, ... hiperbola itu mah. Di mana-mana, enggak ada yang bisa menunggu selama itu, kecuali kalau dia yang punya kafe. Ingat, yah, ... meski kamu anak bos papah aku dan Pia pacar apa cemceman kamu, IQ aku jauh lebih tinggi dari kalian. Jadi, kalaupun kalian mau ngibulin aku, ... no! Ngadi-ngadi! Hidup tuh jangan pakai mulut. Otak juga harus dipakai biar enggak malu-maluin diri sendiri!” omel Lintang.
Bukannya bikin aku cepat sembuh, kalau yang jagain aku sekelas pendakwah kayak Lintang, yang ada hidupku berasa di Neraka! Batin Zio tak bisa berkata-kata. Dan ia sengaja berdeham guna memperkuat sandiwaranya. “Tenggorokanku sakit, Lin. Aku haus. Punggungku lebih-lebih sakitnya! Enggak berguna banget sih kamu jadi orang!” rintih Zio kesakitan.
Mesk jengkel, Lintang berangsur beranjak dan melangkah mendekati Zio. Pun meski ia masih sibuk bersin. Melalui sebagian wajahnya yang tertutup masker, matanya menatap marah sosok Zio. “Satu hal yang enggak bisa bikin aku bersikap baik ke kamu meski kamu anak bosku, bahkan meski kamu sampai menyembah-nyembah ke aku.” Lintang bertutur cepat dan memang jengkel.
“Kamu selalu bilang aku enggak berguna, sedangkan mata sama kuping kamu masih berfungsi. Orang tua khususnya mamah aku itu susah payah hamil aku, mamah papahku susah payah melahirkan aku, dan membesarkanku, orang tuaku selalu memberikan yang terbaik buat aku. Aku pun susah payah jadi terbaik, tapi mulut sama otakmu enggak ada aturan dan selalu ngatain aku enggak berguna!” lanjut Lintang. “Kalau kamu ingin menghina aku, tolong dipikirkan dulu benar tidaknya. Kalau aku enggak berguna, mana mungkin aku selalu juara kelas dan bahkan orang tuamu sampai ngefans ke aku? Sementara mengenai alergiku, harunya kamu bersyukur bukan kamu yang dapat alergi seperti ini. Dan bila aku sering bilang kamu lemah, itu fakta. Kamu lemah karena sakit dikit saja sampai menginap tiga hari tiga malam di rumah sakit.”
“Giila saja, kamu. Bahkan aku yakin apa yang dilakukan orang tuaku juga dilakukan orang tua kamu. Orang tua kamu selalu kasih terbaik buat kamu. Orang kayak kamu tuh harusnya ditabok apa malah dicekik lelembut, biar ngerti batasan ngejeplak! Mulai sekarang hati-hati kalau kamu bicara, takutnya mulutmu miring enggak bisa ngomong lagi!”
Dikatai sangat banyak oleh Lintang, Zio langsung syok.
“Punya mulut kok jahat banget! Aku kalau kamu enggak mulai ya enggak akan sebenci ini ke kamu. Hanya karena aku punya alergi aneh? Picik banget kamu yah, mikirnya. Sumpah, aku kasihan banget ke orang tua kamu.”
“Dan seumur hidupku aku enggak akan bisa memaafkan kamu karena bagiku orang tuaku itu segalanya!” Setelah berucap cepat nyaris tak berjeda, Lintang menambahi, “Lama-lama mending aku cari dukun santet buat nyantet kamu!” Dengan jengkel, ia meraih sebotol air mineral dari nakas di sebelahnya lengkap dengan sebuah sedotan.
Zio yang menjadi menunduk kesal, melirik sinis angsuran minuman Lintang. “Enggak perlu kalau pada kenyataannya kamu enggak ikhlas urus aku.”
“Ya memang aku enggak ikhlas!” tegas Lintang sengaja memotong ucapan Zio.
Seketika itu juga, Zio langsung menatap sengit Lintang.
“Kan sudah aku bilang, sejak awal kesalahanmu sudah fatal!” Lintang sengaja menegaskan.
Zio yang masih terbaring, refleks menghela napas dan menggeleng tak habis pikir. “Bahkan Tuhan saja bisa memaafkan kesalahan fatal sekalipun, tapi kamu?” ia menatap kecewa sekaligus tak habis pikir Lintang.
“Masalahnya aku ini Lintang, aku bukan Tuhan!” balas Lintang sewot. “Sudah ini minum! Enggak menghargai banget, sih? Aku bengek sampai lemas begini, masih saja enggak dihargai!”
“Pergi saja sana! Aku enggak perlu bantuan cewek bar-bar kayak kamu. Sudah tinggal saja, biar Pia saja yang urus aku, bentar lagi dia datang!” omel Zio.
“Kok jadi tegang gini, ya? Seaneh ini?” ujar Lintang yang menjadi bingung sendiri.
“Yang aneh itu kamu!” balas Zio masih uring-uringan. “Seaneh kamu, sebar-bar kamu. Bahkan kamu nekat mau nyewa dukun santet buat nyantet aku ... astaga ... sebegini ribetnya berurusan sama kamu?”
“Ngeluh saja terus!” Lintang meletakan sebotol air minumnya pada nakas. Tak lama setelah itu, seseorang membuka pintu ruang rawat keberadaan mereka.
Sebuah kaki mulus tapi tidak jenjang dan terbilang berisi tak ubahnya balok kayu lurus semok di atas rata-rata, melangkah memasuki ruang rawat Zio. Baik Zio maupun Lintang yang masih aktif bersin, memperhatikannya yang mengenakan gaun merah selutut. Gadis berpipi gembul tersebut memang tidak wah dalam artian tidak sangat cantik, tapi ketika tersenyum, gadis tersebut cukup manis.
Lintang sengaja berdeham. “Selera kamu bi saja. Tinggian seleranya si Langit! Ya sudah, aku mau membebaskan diri. Alhamdullilah akhirnya bisa rehat juga ... oh iya, cukup WA saja kalau pacarmu ini sudah mau pulang biar aku bisa gantiin dia jagain kamu buat gantiin popok kamu. Bye!” bisik Lintang yang sampai menahan tawa di tengah kesibukannya bersin.
Mendengar itu, Zio yang murka refleks mengepalkan kedua tangannya sedangkan rahangnya mengeras karena gigi-giginya yang bertautan.
“Hai?” sapa si gadis yang baru datang dan tak lain Pia, pacar Zio.
“Hai?” balas Lintang menyikapi Pia dengan ramah.
“Aku Pia!” balas Pia yang memiliki gigi gingsul di atas sebelah kanan. Kenyataan tersebut pula yang membuat Lintang menilai Pia terlihat manis ketika senyum.
Sambil menjabat tangan Pia, Lintang berkata, “Iya, aku tahu. Kamu duduk di seberang belakangku sama Samudra, kan? Kita satu kelas. Oh, iya ... aku ... aku calon istrinya Zio!” Lintang sengaja jail.
Balasan Lintang tak ubahnya petir di siang bolong. Pia langsung kehilangan ekspresi saking terkejutnya. Lain dengan Zio yang refleks menarik diri untuk mengambil botol air mineral kemudian melemparkannya dan mengenai punggung Lintang.
“Sesetres ini, yah, kamu? Gila kamu! Sudah, Pi, jangan didengerin. Dia ini pengawal baruku dan memang rada sintting!” semprot Zio.
“Apaan, sih, Mas. Gitu amat tanggapannya, kan Mas tahu sendiri kalau kita memang sudah dijodohkan sejak kecil!” balas Lintang sengaja, tapi pada kenyataannya, apa yang ia katakan barusan memang benar. Ia dan Zio sudah dijodohkan sejak mereka masih kecil.
Nih cewek beneran enggak punya hati atau memang enggak punya otak, ya? Pantas di sekolah enggak ada yang suka dia! batin Pia sambil melirik sebal kepergian Lintang, meski ketika ia menatap Zio, ia kembali bersikap hangat. Ia kembali memberikan senyum terbaiknya dan langsung dibalas dengan senyum tak kalah hangat oleh Zio meski jika dilihat, Zio masih kesakitan. Zio masih tidak baik-baik saja.
“Itu si Lintang, ... kenapa dia bisa di sini? Dia pacarnya Langit, kan? Kok ngaku-ngaku begitu?” Pia menyayangkan cara Lintang.
“Meski kami enggak pernah akur, kami juga sudah terbiasa bercanda.” Zio meyakinkan.
“Dia memang murid bermasalah, sih. Semua murid di sekolah saja benci banget ke dia. Padahal kalau dia mau menjaga sikap, anak-anak kan kasihan ke dia karena alergi anehnya itu,” jelas Pia.
Hah? Masa sih Lintang begitu? Kalau Lintang murid bermasalah harusnya enggak sampai juara kelas, kan? Pikir Zio yang untuk kali pertamanya menjadi meragukan sang kekasih.
“Sebenarnya Lintang anaknya seperti apa, sih? Dia beneran bermasalah? Dia itu anak kepercayaan papah aku, makanya dia bisa lalu-lalang di kehidupan aku.” Zio sungguh penasaran.
Sambil duduk di sebelah wajah Zio, Pia berkata, “Aku juga kurang paham, Sayang. Aku hanya dengar dari anak-anak, tapi semua kabar dari anak-anak beneran enggak enak. Itu wajahnya, anak-anak bilang wajah Lintang serem banget. Semacam ada luka fatal dan masih ... serem lah pokoknya.”
Tentu saja Zio juga langsung ngeri. Membayangkan luka fatal yang dimaksud dan mungkin karena itu juga Lintang selalu memakai masker bahkan sampai berlapis-lapis.
****
Mengerjai Zio sungguh membuat Lintang bahagia. Lintang sengaja melepas maskernya, menyibak rambutnya ke belakang karena entah atas dasar apa, Zio memberinya peraturan khusus dan tak membolehkannya mengikat rambut apalagi menguncir tinggi bak ekor kuda.
Dari depan, tampak Sultan yang baru keluar dari salah satu ruang rawat dan memang ruang rawat pak Tama. Sultan yang awalnya murung mendadak memelotot ceria, menatap tak percaya sosok Lintang. “Dia ... dia si lirikan kode keras ngajak ke KUA! Ya Alloh ya Robbb, ... cantik banget! Cocok dong, sama aku yang terlalu tampan dan sampai harus berulang kali minta maaf karena ketampananku yang terlalu paripurna?”
Adegan Lintang yang tengah merapikan asal penampilannya apalagi ketika Lintang membenarkan rambut panjang tebal warna hitamnya membuat pikiran Sultan berfantasi. Suasana rumah sakit mendadak berubah menjadi pantai berpasir putih dan berair warna biru cerah. Berasa lihat Ante Rosalinda lagi syuting video klip! Jerit Sultan benar-benar girang.
Sultan, putra kesayangan Leon dan Sasmita itu bergegas melangkah cepat bahkan sampai berlari demi segera sampai di hadapan Lintang.
“Hazim!”
Eh, bengek! batin Sultan yang menatap bingung Lintang karena selain Lintang buru-buru memakai masker dan membuat sebagian wajahnya tertutup, gadis cantik tersebut juga buru-buru mundur menjaga jarak tanpa bisa mengakhiri bersinnya. Membuat Sultan yang awalnya berbunga-bunga, menjadi iba, kasihan.
“Kamu fobia cowok tampan, ya?” tebak Sultan serius karena Lintang mendadak bengek setelah ia dekati.
Nih cowok punya indera ke enam atau memang keturunan dukun, ya? Balasan Tuhan biar aku bisa nyantet Zio? Batin Lintang.
“Maafkan aku yang terlalu tampan, ya. Meski belum lebaran, enggak apa-apalah aku minta maaf sekalian kenalan!” ucap Sultan yang kemudian mengangsurkan tangan kanannya. “Namaku Sultan, tapi kamu cukup panggil aku Sayang!” Ia sengaja memberikan senyum terbaiknya.
Lintang benar-benar tak bisa berkomentar. Baginya, tingkah Sultan sangat aneh. Memang tampan, sih. Namun masa sepede ini? Dia waras, kan? Atau jangan-jangan, dia ini pasien RSJ yang kabur? Celaka! Kalau gini caranya, mending aku di ruang rawat Zio. Enggak apa-apalah meski jadi obat nyamuk mereka yang lagi pacaran!
“Rossalinda, kenapa kamu pergi?!” seru Sultan kebingungan karena Lintang justru kabur. “Eh, namanya memang Rossalinda? Eh ayo kejar nanti aku ketinggalan jejaknya lagi!” Sultan buru-buru menyusul Lintang dengan berlari. Gadis bengek berwajah cantik itu memasuki salah satu ruang rawat di sana.