Episode 5 : Angan dan Harapan

1939 Kata
“Tadi si wajah tol ke sini? Ngapain dia?” Lintang menatap serius Langit. Sambil menunggu balasan, ia berangsur duduk di kursi kosong sebelah Langit. “Menurutmu, untuk apa lagi kalau bukan untuk menemui aku?” ucap Langit dengan entengnya. Pemuda bermata sipit yang mewarisi ketampanan sang ayah, tengah sibuk mengetik di laptop. “Dia itu sebelas dua belas sama kita, enggak bisa bergaul dengan sembarang orang. Lagian enggak mungkin juga dia nyari kamu meski kalian saling kenal. Dia tahu keadaan kamu karena ketampanannya bisa bikin kamu opname. Enggak lucu kan, kalau dia harus kena kasus gara-gara bikin anak perempuan orang bengek hanya karena dia terlalu tampan?” Mendengar balasan sang adik yang juga merupakan kembarannya, Lintang mendengkus sinis sambil membuka tas gendong miliknya yang ada di meja. “Lagian kenapa sih, kamu benci banget ke dia? Masa iya setampan itu kamu samakan dengan jalan tol? Bahkan kalau aku menyebut namanya, kamu langsung minta aku bayar kompensasi? Ini luar biasa, sih. Kebencian kamu ke dia sudah di luar batas.” Langit masih fokus membiarkan jemarinya sibuk mengetik di laptop yang ia taruh di meja. Sesekali, ia akan melirik Lintang. Dari semua laki-laki yang akan membuat Lintang alergi, ia merupakan satu-satunya yang tidak membuat hal serupa menimpa sang kembaran. Iya, padanya, Lintang tidak alergi. “Emang kenyataannya dia lebih datar dari jalan tol, kan? Jalan tol saja ada tanjakan sama tikungannya, ada terjalnya dikit. Lah dia lurus rata seperti mahluk enggak bernyawa. Patung-patung saja banyak yang diciptakan berekspresi, tersenyum. Nah, dia? Ditabrak gajah saja aku jamin ekspresinya tetap rata!” Lintang mengatur napas pelan. Entahlah, membahas Zio selalu membuat Lintang sesak napas karena baginya, pemuda yang merupakan anak dari bos Edward sang papah, benar-benar aneh. Balasan Lintang membuat Langit sibuk menahan tawa. Lintang mendengkus kesal. “Yang enggak habis pikir lagi nih, yah, dia kan sudah segede itu, kenapa juga masih dijaga sama pengawal? Dia kan sudah enggak pakai popok, masa iya ke mana-mana bahkan ke toilet umum saja sampai dikawal!” Lintang sampai membanting buku tebal yang baru ia keluarkan dari tasnya, ke meja. “Rasanya seomosi ini kalau harus bahas dia. Heran, kapan aku bisa merasa nyaman dan menemukan kedamaian dari sederet keanehan yang ada di dunia ini, sih?!” “Pacar, apa jodoh, maksudnya?” goda Langit. Ulah Lintang langsung mencuri perhatian. Penghuni kelas yang kaget langsung menatapnya dengan tatapan kesal. Kenyataan tersebut dikuatkan dengan cara menatap mereka pada Lintang yang sampai mengerutkan dahi dan membuat sepasang alis mereka menyatu. Beda dengan ketika mereka menanggapi Langit khususnya para siswi yang kerap tebar pesona. Kenyataan tersebut terjadi karena sesuai kesepakatan, Lintang dan Langit yang merahasiakan status mereka dan tak mau memiliki fans, sengaja mengaku sebagai pasangan. Semua murid mengetahui Lintang dan Langit berpacaran. Itu juga yang membuat Lintang dan sudah dicap aneh karena alergi pada laki-laki tanpa bisa lepas dari masker memiliki banyak hater. Hanya Langit yang menertawakan kekesalan Lintang dan membuat para siswi meleleh, tak hentinya mencuri-curi pandang ke arah Langit. “Dia itu anak sultan, Lin. Orang kaya. Ya wajarlah kalau ke mana-mana dia dikawal. Lagian kamu juga harus siap lahir batin karena ke depannya, dia pasti bebas mondar-mandir di sini.” “Hah? Kenapa? Jangan bilang dia jadi donatur atau apa pun itu, sampai-sampai, dia dengan leluasa gentayangan di sini? Enggak mungkin juga dia jadi guru di sini apalagi selain dia hanya terpaut satu tahun lebih tua dari kita, usaha keluarganya butuh dia untuk mengurus dan ....” Setelah bertutur cepat, Lintang mendadak terdiam. Memikirkan Zio akan wara-wiri di sekolah langsung membuat Lintang merinding. Ia dapati bulu kuduk di kedua tangannya yang kompak berdiri. “Masa iya aku harus bilang, Ya Tuhan, tolong kirimi aku peri cantik yang baik hati dan akan melindungiku agar aku tidak gampang emosi?” “Aku perhatikan, kamu tahu banget tentang dia ya, Lin? Jangan-jangan, kebencian kamu ke dia udah jadi cinta! Hahaha!” balas Langit yang akan selalu heboh jika sudah tertawa, selain pemuda itu yang akan sulit mengakhiri tawanya, bahkan sekalipun sedang di tempat umum. Lintang mendengkus lemas, sebagian nyawanya seolah hilang hanya karena ia mendengar kabar barusan. “Celaka ... gila saja kalau tiap hari lihat dia, bisa-bisa aku beneran ngontrak di rumah sakit buat opname.” Lintang melipat kedua tangannya di tepi meja kemudian membenamkan wajahnya di sana. “Biarin lah, buat mengurangi populasi fansku di sekolah ini. Biar meja dan lokerku enggak penuh hadiah. Ulah mereka mulai meresahkan, kan? Sampai bikin keadaan enggak nyaman gara-gara tiap hari area loker penuh hadiah dari fans,” ucap Langit. “Gila sih, masa iya ngefans sampai segitunya, kesannya gimana, gitu, ya? Enggak kebayang kalau aku lepas masker, kayaknya aku langsung dapat banyak pelet sama santet gara-gara aku terlalu cantik!” Lintang melirik Langit tanpa banyak perubahan berarti. Ia membenamkan wajah di atas tumpukan tangannya. Apa yang baru saja Lintang keluhkan membuat Langit makin sulit mengendalikan tawa. “Iya, jangan dibuka maskermu. Nanti aku tambah cinta. Apalagi lihat matamu yang lebarnya kayak lapangan golf!” “Sekalian saja disewakan nih mata, ada dua kan lumayan. Punya dua lapangan golf, pasti bisa dapat banyak cuan!” omel Lintang. Langit sampai terpingkal-pingkal. Segera ia meninggalkan kesibukannya dan menahan kedua sisi wajah sang kakak. Ia menatap mata lebar sang kakak yang memang selalu memuatnya iri. “Bisa-bisanya berubah drastis, ya? Padahal waktu kecil kamu juga sipit, lho.” “Kalau mataku sesipit mata kamu, nanti mataku dikira mata ayam!” cibir Lintang. “Mata ayam gimana? Mataku ini mirip mata papah,” protes Langit. “Tapi papah yang tertampan, enggak kayak kamu!” cibir Lintang. Langit yang merasa gemas dengan sang kakak yang selalu ceplas-ceplos seperti Edward papah mereka, sengaja mendekap kepala Lintang. “Kita itu kembar, kemiripan wajah kita nyaris sembilan puluh tujuh persen. Hanya mata saja yang bikin kita terlihat beda. Sama tinggi tubuhmu yang memang agak tertunda! Hahaha!” “Bilang saja kalau kamu mau ngatain aku pendek. Lagian, kalaupun aku pendek, aku bisa pakai heels. Bersyukur lho, bukan kamu yang pendek karena kamu enggak mungkin pakai heels!” ucap Lintang sambil melepaskan diri dadi dekapan Langit yang masih tertawa. “Heels? Memangnya kamu bisa pakai heels? Bukannya tambah tinggi, nyungseb iya!” Langit benar-benar sulit menghentikan tawanya jika mereka sudah bersama dan membahas banyak hal. “Bayangin kalau kamu yang pakai heels!” omel Lintang. “Aku, pakai heels? Kamu pikir aku cowok sinting! Bisa pingsan mamah papah kita kalau mereka lihat aku pakai heels terus melenggak lenggok cantik!” Di tengah kesibukan Langit tertawa, Lintang mendadak membayangkan. “Cowok sampai pakai heels demi cewek yang ditaksir. Contohnya, ya, kalau sampai ada cowok yang nekat deketin aku, dia menyamar jadi cewek cantik dan sampai pakai heels hanya untuk membahagiakan aku.” Di tengah tawanya, Langit sengaja menyela ucapan sang kembaran. “Jangan, ... jangan sampai. Takutnya aku naksir dia!” “Waras kamu, Lang!” balas Lintang yang menjadi geli sendiri, membayangkan angan-angannya sungguh terjadi dan Langit sampai naksir si cowok cantik yang mendekati Lintang. **** Di mobil, di tempat duduk penumpang, Zio sengaja melepas kancing jasnya bersama ingatannya yang dihiasi pertemuannya dengan Lintang. Tatapannya menerka-nerka karena ia masih merasa tak percaya, bahwa beberapa saat lalu, dirinya baru bertemu Lintang setelah bertahun-tahun lamanya mereka tidak bertemu. Rambut dikuncir setinggi itu dan jadi mirip ekor kuda, terus pakai masker sampai nutupin mata. Seaneh itu, tapi mamah bilang cantik banget? Cantiknya dari mana, sama sekali enggak kelihatan? Kelihatan enggak beretika iya! Pas masih kecil, dulu dia lumayan, sih. Tapi yaitu, ... aneh. Bengek dia. Serumit itu hidupnya, lihat pria saja langsung bengek. Ya ampun, memikirkan kerumitan hidupnya saja jadi sesesak ini, batinnya yang sampai mengendurkan dasi yang melingkar di kerah jas biru gelapnya. Tiba-tiba saja ia berpikir, Seandainya enggak ada Langit, aku tanya-tanya sama siapa? Otomatis ke dia, kan, apalagi memang enggak ada orang lain yang aku kenal selain dia karena aku juga enggak mungkin tanya ke Pia. Lagian Papah bilang, kalau bukan Langit, ya si Lintang aneh ini yang akan bantu-bantu aku. Astaga, berurusan dengan orang seaneh dia? Zio refleks menghela napas dalam kemudian mengelus d**a. Kemudian Zio menatap ke depan, membuatnya berkode mata dengan sang sopir. “Kita ke perusahaan, ya. Saya mau bertemu Papah.” Bepergian sendiri layaknya kini tanpa ada teman mengobrol membuat Zio merasa bosan. Serius, aku butuh teman buat bertukar pikiran, tapi Langit kan masih belum lulus. Dia masih harus sekolah. **** “Nanti malam kamu ke rumah Om Edward, kasih ini ke Om Edward, terus nanti kamu ambil beberapa berkas yang buat Papah. Om Edward baru pulang dari luar kota, enggak enak kalau minta dia buat langsung antar berkasnya ke rumah.” Zack bertutur santai sambil menyodorkan tiga tumpul map pada sang putra yang duduk di hadapannya. Mereka hanya dipisahkan oleh meja kerja Zack yang terbilang megah. Zio langsung gelisah. “Enggak salah, Pah? Aku ke rumah Om Edward?” Zack menatap bingung sang putra yang menjadi mendadak gelisah dan terlihat jelas keberatan dengan permintaannya. “Memangnya kenapa?” Zio nyaris jujur, tapi ia tak mungkin melakukannya. Tak mungkin ia jujur dan mengatakan dirinya tidak mau bertemu apalagi berurusan dengan Lintang yang baginya sangat aneh. Bisa dimarahi habis-habisan ia oleh Zack, jika ia sampai melakukannya. “Aku ada janji sama Pia. Malam Minggu, Pah. Masa iya Papah lupa kalau nanti malam waktunya anak muda kencan?” Zio yakin, Zack tak mungkin marah padanya karena Zack tahu ia dan Pia memang sudah berpacaran. Terbukti, Zack langsung menghela napas dalam dan perlahan mengempaskan punggung ke sandaran kursi tempatnya duduk. “Kalau tidak salah, Pia satu sekolah dengan Langit dan Lintang, kan?” tanya Zack dan sukses membuat sang putra bungkam. Selalu seperti itu, Zio selalu berusaha merahasiakan latar belakang Pia sang kekasih. Zack sampai heran, apalagi Arina sangat ingin menjodohkan Zio dengan Lintang yang memang menurut Zack jauh lebih membuat Zio lebih terarahkan, aman. *** Langit sore ini sudah makin gelap ketika Sultan masih mondar-mandir di jalan yang Sultan yakini dilintasi oleh Lintang. Sultan masih belum juga menemukan jejak Lintang, membuatnya memilih menepi di depan sekolah Lintang dan membuatnya kembali bertemu satpam Soleh. Sultan mengulas senyum pada satpam Soleh yang langsung menatapnya dengan sangat serius. Satpam Soleh sampai berlari menghampirinya. “Santai Pak, saya bukan mata-mata apalagi begal. Mana ada begal setampan saya!” protes Sultan. “Lagian ngapain juga kamu masih keluyuran? Jam berapa ini? Sana pulang, ibumu pasti sudah nungguin kamu!” omel satpam Soleh. “Saya enggak punya ibu, Pak!” balas Sultan sambil bersedekap dan kebetulan memasang wajah sedih karena tak kunjung bertemu Lintang. “Innalilahi, im sorry!” “Masih hidup, Pak Satpam!” “Iya, saya masih hidup, Mas!” “Maksud saya, mamah saya! Saya memang enggak punya ibu, tapi saya punya Mamah!” “Apa bedanya?!” Berurusan dengan Sultan membuat sang satpam merasa sangat depresi. “Hahaha!” “Ya Tuhan, bisa beneran gila bila saya lama-lama berurusan dengan dia!” Sultan tidak peduli dengan keluh kesah sang satpam. Karena hingga detik ini, yang paling penting untuknya hanyalah menemukan Lintang dan mengetahui semua hal yang menyangkut gadis itu. “Ya Tuhan, ini malam minggu, tunjukanlah ... berilah mukjizat petunjuk pada Hambamu ini untuk menemukannya!” seru Sultan. Sultan menengadah menatap bentangan langit yang benar-benar gelap. JEDUEER! Guntur mendadak menggelegar disertai angin kencang. Satpam Soleh apalagi Sultan langsung panik. Hujan deras semacam badai seolah akan langsung turun detik itu juga. “Iya ... iya, aku pulang. Aku pulang ke Mamah Mita!” ujar Sultan buru-buru menjalankan motornya. “Bocah setres! Enggak punya ibu, tapi punya mamah, apa masalahnya? Sejak kapan ibu dan mamah beda!” cibir satpam Soleh yang buru-buru masuk dan menutup gerbang sekolah. Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN