9. Kamar Angelia

1954 Kata
Kali ini mereka berdua tengah duduk dalam posisi berdampingan di atas sofa, hanya cahaya dari senter ponsel milik Brian yang menerangi pencahayaan dikala listrik di rumah Angelia tiba-tiba padam. Angelia juga telah menelpon pihak yang menangani masalah saluran listrik, namun untuk mala mini listrik tidak bisa menyala karena ada salah satu pohon besar yang tumbang tersambar petir hingga mengenai tiang listrik dan baru bisa ditangani pada keesokan harinya. “Aku akan menginap di sini.” Brian tanpa ragu mengatakan hal tersebut kepada Angelia, membuat sosok Angelia langsung menolehkan kepalanya pada sosok Brian yang kini juga tengah menatapnya intens. Angelia tidak bisa mengatakan apapun, ia hanya bisa menghela napas panjang. Mengetahui meskipun di menolak Brian pasti akan tetap kukuh dengan keputusannya, sekali pun dalam hatinya ada sedikit rasa senang karena dia menemukan sosok laki-laki yang tampak benar-benar serius mengejarnya setelah sekian lama para laki-laki yang mencoba untuk mendekatinya selalu saja mundur dan tidak sanggup menghadapi berbagai teror tak lazim yang mereka dapatkan. “Apa kau mempunyai lilin?” Angelia kontan menggelengkan kepalanya, karena memang persediaan lilin di rumahnya sudah habis dan dia lupa untuk membelinya karena memang sudah lama sekali jarang ada kejadian listrik padam seperti saat ini. “Aku lupa membelinya.” “Kalau begitu aku akan menemanimu tidur sampai pagi.” “Tapi…” “Mau bagaimana lagi, satu-satunya pencahayaan hanya dari ponselku sementara ponselmu mati. Aku tau kamu takut gelap, jadi aku akan menemanimu tidur malam ini.” Brian mengatakannya dengan tenang, berbeda dengan Angelia yang saat ini merasakan wajahnya memerah namun tidak begitu terlihat karena kondisi pencahayaan yang minim. “Emm aku tahu…” Melihat tak ada penolakan yang cukup signifikan dari Angelia seperti sebelum-sebelumnya mmebuat Brian dapat bernapas dengan lega. Meskipun dalam kondisi minim pencahayaan dan juga hujan lebat di luar sana disertai kilat, petir, dan angin kencang, entah mengapa Brian merasakan perasaannya seakan tak nyaman. Perasaan seakan-akan ada sesuatu yang tengah mengawasinya dari arah belakang, tapi ketika dia menolehkan kepalanya ia justru tak menemukan apapun. Hanya ada bebrapa lukisan kuno, guci, meja dan beberapa hiasan yang menurutnya cukup antik di dalam lemari kaca di belakangnya. Ia menggelengkan kepalanya untuk mengusir pemikirannya yang sempat membayangkan hal tidak-tidak, karena dia tidak ingin lagi berdelusi melihat suatu hal yang tak lazim seperti sebelum-sebelumnya. “Dimana kamarmu?” “Di sebelah sini…” Angelia berjalan terlebih dahulu dengan Brian yang mengikuti langkahnya dari belakang. Mereka terus berjalan melewati lorong-lorong, entah seberapa luas rumah Angelia di mata Brian karena dia merasakan bahwa rumah ini memiliki banyak sekali jalan yang berliku-liku. Dari depan rumah ini tak terlihat begitu besar, namun siapa sangka begitu dia masuk ke dalamnya ternyata ruangan di rumah ini jauh lebih luas dari perkiraanya. “Kau tidur di lantai atas?” Suara tapak kaki mereka menggema memecah keheningan malam, Brian terus saja memegangi ponselnya yang dijadikan sebagai alat penerangan dan berjalan dengan hati-hati saat menaiki satu persatu anak tangga melingkar di depannya agar tidak salah pijak. “Iya, aku tidur di atas.” “Dimana keluargamu?” Brian tentu saja bertanya-tanya dimana keluarga Angelia, karena sedari awal dia nekat memasuki rumah wanita itu ia sama sekali tidak mendapati keberadaan siapapun. Rumah ini bahkan sangat besar jika harus ditinggali seorang diri, sehingga dia berpikiran bahwa rumah ini pasti adalah rumah keluarga Angelia. “Ayahku sudah meninggal, Ibuku pergi ke luar negeri dan jarang pulang.” “Maaf, aku tidak bermaksud…” Brian menyesal telah menanyakan hal yang cukup sensitif bagi Angelia, sehingaa keheningan di antara mereka kembali tercipta hingga keduanya kini tiba di depan sebuah pintu berwarna putih tulang dengan gantungan kayu bertuliskan nama Angelia di depan pintunya. Perlahan Angelia membuka pintu kamarnya, Brian terus mengikuti di belakangnya dan memberikan pencahayaan senter dari ponselnya untuk melihat bagaimana kamar milik Angelia. Ini adalah kali pertama ia memasuki kamar wanita yang dia sukai, tentu saja ada rasa canggung dan antusias di saat yang bersamaan ketika memasuki kamar Angelia yang bisa dikatakan rapi dan wangi. “Masuklah…” Angelia mempersilahkan Brian untuk masuk ke dalam kamarnya terlebih dahulu. “Kau tidurlah terlebih dahulu, aku akan menunggu di sini.” Dalam sisi pendekatannya dengan Angelia dalam jarak yang sedekat ini tentu saja Brian tidak ingin bertindak begitu agresif, ia akan benar-benar menjaga wanitanya tanpa melakukan hal yang tidajk-tidak agar dia tidak dicap sebagai pria b******k oleh wanita yang disukainya. “Terimakasih…” “Untuk?” “Menemaniku dan tidak menyerah…” Brian hanya tersenyum, semua perkataan Angelia yang seakan menolaknya sedari awal tidak lantas membuatnya menyerah begitu saja dengan cepat. Dia bukan tipe pria yang gampang goyah dengan apa yang telah menjadi keinginanya, dia akan berusaha sebisa mungkin untuk bisa mendapatkan apa yang dia inginkan, termasuk Angelia dalam hidupnya. Setelah beberapa saat menunggu, pada akhirnya dapat dia lihat sosok Angelia mulai memejamkan kedua matanya. Deru napasnya tampak teratur, membuat Brian tersenyum pelan memandangi wajah cantik milik Angelia. Baru kali ini dia dibuat begitu menyukai seorang wanita, sekalinya ia jatuh cinta justru banyak sekali halangan yang menghambatnya untuk bisa lebih dekat dengan wanita yang dicintainya. Ia melihat layar ponselnya yang saat ini telah menunjukkan pukul 00.00, tak terasa bahkan hari sudah selarut ini dan dia masih belum bisa memejamkan kedua matanya. Kondisi cuaca di luar masih hujan deras, tak ada tanda-tanda bahwa hujan akan segera mereda. Namun anehnya Brian malah merasakan bahwa saat ini tubuhnya berkeringat, berbanding terbalik dengan cuaca mendung nan hujan disertai angin kencang. Rasanya ruangan yang dia tempati saat ini terasa penuh sesak, membuatnya gerah dan tak nyaman. Ia bahkan kini telah melepaskan seluruh kancing kemeja yang dia kenakan karena terlalu gerah. Peluh juga membasahi keningnya, membuat pria itu sulit untuk bisa tertidur nyenyak. Pada akhirnya Brian tak tahan, ia beranjak turun dari ranjang di samping Angelia. Berkeliling sebentar untuk melihat-lihat isi dalam kamar wanitanya. 'Wanitanya', bolehkan dia telah mengklaim bahwa Anglia adalah miliknya saat ini? Rasa sesak dan pengap semakin dia rasakan, Brian tak tahan lagi dan dia berjalan untuk membuka jendela kamar milik Angelia yang berhadapan langsung dengan balkon, menampilkan pemandangan luar dengan hujan lebat dan angin seketika lansgung mesuk ke dalam hingga menerbangkan gorden kelambu berwarna putih di kamar Angelia. Pada akhirnya Brian dapat bernapas dengan lega ketika sapuan angin malam menerpa tubuhnya, membuat pria itu sedikit bisa menghirup udara bebas dan merasakan angin membelai tubuhnya. Selama beberapa saat Brian tetap bertahan dalam posisi berdiri menghadap ke arah balkon kamar, dia keluar dari pintu kaca yang terhubung langsung dengan balkon. Meskipun di area balkon terdapat beberapa percikan air hujan yang membasahi lantai, hal itu tidak menghalanginya untuk bisa duduk santai di kursi yang disediakan di balkon tersebut. Sambaran kilat dan petir seakan tak membuat Brian merasa takut, justru dia jauh merasa lebih lega saat berada di luar seperti saat ini, meskipun jujur saja perasaannya masih terasa agak kurang nyaman, seakan masih merasakan bahwa dia kini tengah diawasi dari jauh. Kepala Brian berputar dengan cepat tat kala dari ekor matanya ia seakan melihat sesosok bayangan hitam tengah melintas di dalam kamar Angelia dari balik kaca jendela yang dia biarkan terbuka, ditambah dengan adanya kilat yang datang secara bersamaan membuatnya seakan merasa bahwa keberadaan bayangan hitam tersebut terlihat lebih jelas. Brian segera melongokkan kepalanya memasuki kamar Angelia, mengedarkan pandangan matanya ke seluruh kamar dan sama sekali tidak melihat apapun selain sosok Angelia yang saat ini masih tertidur pulas. Ia menyugar rambutnya ke belakang hingga tampak berantakan dan tak beraturan, memejamkan kedua matanya sesaat ketika ia merasa bahwa delusi yang dia alami rupanya kembali datang mengganggu kehidupannya. ‘SSHHHH!’ Brian kembali membuka kedua matanya ketika suara seperti desisan terdengar cukup dekat di telinganya, ia berdiri dengan pandangan linglung dan menoleh kesana kemari layaknya orang yang kehilangan arah. Ia mengacak-acak rambutnya dengan kesal, menjambak rambutnya cukup kuat agar segala bayangan delusi dalam pikirannya segera pergi menghilang agar tak membuatnya merasa frustasi layaknya orang gila. Hingga pada akhirnya Brian kembali masuk ke dalam kamar Angelia, tak lupa dia menutup kembali jendela di kamar tersebut beserta kelambunya. Ia ikut masuk ke dalam selimut yang dipakai oleh Angelia, mencoba untuk memjamkan kedua matanya berharap bisa menyusul Angelia tertidur lelap. Berguling kesana kemari selama beberapa saat, menghadap miring memandangi wajah Angelia, hingga entah berapa lamanya Brian tetap tidak bisa tertidur. Malam ini seakan berjalan jauh lebih lama dari biasanya, meskipun ia bersama dengan Angelia, namun perasaannya terus saja diabuat tak tenang dan was-was setiap saat. “Sepertinya aku perlu minum.” Pada akhirnya Brian memberanikan diri untuk kembali beranjak turun dari tempat tidur, di dalam kamar Angelia ia sama sekali tidak melihat air putih yang bisa dia minum untuk meredakan tenggorokannya yang terasa serak. Cara satu-satunya yang bisa dia lakukan adalah dengan turun dan pergi ke dapur untuk mencari dispenser air atau mencari dimana keberadaan kulkas yang terdapat air minum. Sekalian dia akan mencari pergi ke kamar mandi setelah meminum air nanti. Brian sempat bimbang untuk beberapa saat, ia berpikir akankah dia membawa serta ponsel miliknya untuk dia jadikan sebagai senter agar lebih memudahkannya mencari tahu dimana letak dapur. Tapi dia kembali menggelengkan kepalanya, ia takut saat membawa ponselnya nanti Angelia justru terbangun dan akan kembali merasa ketakutan karena kondisi gelap. Jadi dia memutuskan untuk turun ke bawah tanpa membawa pencahayaan sama sekali, dia hanya akan mengandalkan insting dan juga tangannya untuk meraba=raba dinding agar tidak sampai salah langkah atau terjatuh. Sebelum itu Brian memberanikan diri untuk mengecup kening Angelia, mengucapkan selamat malam dengan perasaannya yang tulus. “Selamat malam, mimpi indah!” __ Suara derit pintu kayu yang terbuka menjadi awal ketika Brian membuka dan menutup pintu kamar milik Angelia, ia meraba-raba dinding dan berjalan dengan pelan, takut-takut bahwa dia salah pijak dan jatuh berguling-guling di tangga. Dengan pelan Brian memegangi besi yang menjadi pegangan anak tangga, menuruni tangga dengan langkah satu persatu, hingga dia bisa sampai di lantai bawah dengan selamat, ia mencoba untuk mengingat-ingat kembali dimana sekiranya letak dapur berada, sekalipun dia sama sekali belum pernah pergi ke dapur di rumah yang luas ini. Suara cicak tiba-tiba saja terdengar seiring dengan langkah kaki Brian yang saat ini masih mencari keberadaan dapur, tangannya terus meraba-raba apa yang ada di depannya. Sempat ia merasa kaget karena merasa seperti memegang sesuatu yang kenyal dan empuk, namun syukurlah rupanya itu hanya sebuah boneka setelah melihat dari cahaya kilat yang masuk. Hampir saja dia berpikir bahwa itu adalah sesuatu hal yang tak nyata, meskipun peluh di tengkuk dan dahinya saat ini tak bisa dia tampik semakin banyak keluar. Seiring dengan rasa pengap di dalam ruangan ini yang entah dia berada dimana saat ini. Setelah waktu yang berjalan sangat lambat bagi Brian, pria itu pada akhirnya kini telah berhasil menemukan sebuah kulkas dan bisa bernapas dengan lega. Ia meraba-raba beberapa botol minuman yang ada di sana dan mengambilnya secara acak, lalu meminumnya yang beruntung rupanya ia telah mengambil minuman soda, meskipun ia sebenarnya lebih ingin meminum air putih. “Siapa?” Brian langsung menolehkan kepalanya ke sekeliling, karena baru saja dia mendengar sebuah suara derap langkah kaki yang berjalan di belakangnya dari arah tangga. “Angelia?” Sama sekali taka da jawaban, namun suara derap langkah kaki itu seakan terdengar semakin menjauh, membuat Brian dilanda rasa bingung dan juga perasaan berdebar. Saat ini dia juga bisa merasakan bulu kuduknya meremang, tengkuknya juga terasa dingin tak karuan, akan tetapi peluh di tubuhnya terus menetes karena rasa gerah dan pengap. Sungguh merupakan sebuah perpaduan rasa yang dia sendiri bahkan tidak bisa mendeskripsikannya dengan kata-kata, seakan-akan pengalamannya yang pernah memasuki wahana rumah hantu sama sekali tidak ada apa-apanya dari apa yang tengah dia rasakan saat ini. “Siapa yang ada di sana?” Dari ekor matanya Bria melihat sekilas sesok punggung wanita dengan rambut panjang bergaun putih tengah melintas memasuki salah satu ruangan, dia tidak tahu siapa wanita tersebut, namun ia yakin bahwa dia bukan Angelia, karena Angelia mengenakan baju berwarna merah.     To be Continued…  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN