“Tapi kata maaf enggak bisa mengembalikan keadaan, Mas. Dan akan semakin enggak baik, kalau kita terus bersama terlebih sampai tinggal satu rumah, sedangkan status kita sudah bukan siapa-siapa.”
Episode 4 : Ajakan Rujuk
****
Tari membutuhkan banyak keberanian, hanya untuk menatap Sam. Apalagi, apa yang baru saja ia dengar dari mulut pria yang selama ini selalu bersikap dingin kepadanya, sungguh sulit membuatnya percaya. Sam mengajaknya rujuk? Atas dasar apa? Bukankah pria itu yang mengharapkan perpisahan di antara mereka? Bukankah Sam sendiri yang menjatuhkan talak kepada Tari dan berdalih, pria itu melakukannya karena mencintai wanita lain? Akan tetapi, apakah karena niatan rujuk yang baru Sam minta juga, Sam belum menceritakan perihal perceraian yang pria itu minta, pada orang lain termasuk pada keluarga mereka?
“Tapi masa iya, aneh banget? Padahal, Mas Sam sendiri yang menjatuhkan talak kepadaku. Bahkan aku masih hafal setiap ucapan yang Mas Sam katakan kepadaku, saat itu. Di malam itu, Mas Sam membebaskanku, memintaku untuk segera meninggalkan rumahnya karena Mas Sam mencintai wanita lain. Mas Sam lebih memilih berpisah denganku! Satu lagi yang masih sangat aku ingat. Mas Sam sempat bilang, pernikahan kami tidak akan membuatku rugi, karena selama kami menikah, Mas Sam tidak pernah menyentuhku!” batin Tari. Batinnya meronta-ronta dan menolak percaya perihal apa yang Sam yakinkan kepadanya. Mengenai ajakan rujuk. Pria itu mengajaknya rujuk yang justru membuatnya bingung. Haruskah Tari marah, bahagia, atau justru tertawa bak orang gila?
“Aku benar-benar minta maaf, Ri ....” Sam masih memohon. Sebelah tangannnya juga masih menahan sebelah tangan Tari. Yang ada, ia sengaja mengeratkan tahanannya agar Tari tetap dalam jangkauannya. “Kita pulang, ya?” pintanya masih berusaha meyakinkan sang mantan istri yang sangat ingin kembali ia miliki.
Sam sungguh kehilangan rasa malu. Entah pergi ke mana rasa itu, setelah apa yang ia lakukan kepada Tari, selama ini. Sungguh, Sam tidak peduli. Asal dirinya bisa kembali memiliki dan bersanding dengan Tari, hinaan dan semua pembalasan, siap pria itu rasakan.
Tari menggeleng. Baginya, sungguh tidak benar perihal apa yang Sam minta. Setelah sempat mendadak mengajaknya rujuk, pria itu me ngajaknya pulang? “Mengenai minta maaf, ... Mas enggak perlu minta maaf karena sebelum Mas minta maaf pun, aku sudah memaafkan Mas.”
Tari masih belum berani menatap Sam, ia sengaja menjeda ucapannya untuk menghela napas demi meredam sesak di dadanya. Antara sedih, kesal bahkan marah, itulah yang kini ia rasakan akibat apa yang Sam lakun. “Namun mengenai pulang apalagi rujuk, aku ... aku masih belum siap. Butuh banyak keberanian bagiku untuk menerima kenyataan itu. Apalagi terlepas dari semuanya, ... aku sungguh menghargai keputusan Mas. Bukankah Mas sendiri yang ingin kita berpisah? Mas menceraikanku, karena Mas mencintai wanita lain, kan?” Setelah mengatakan itu, Tari menjadi merasa cukup lega, meski jauh di lubuk hatinya, sebenarnya Tari juga ingin mengamuk. Meledak-ledak dan bahkan memaki Sam yang dengan seenaknya mempermainkannya.
Balasan Tari begitu menampar Sam. Karena dengan kata lain, wanita itu menolak ajakan rujuk yang Sam lakukan, kan? Bahkan kini, perlahan-lahan Tari berusaha melepas tahanan tangan Sam. Di mana, wanita itu juga masih belum mau menatap Sam.
Hati Sam menjadi terasa sakit sesakit-sakitnya. Namun, Sam belum mau menyerah. Pria itu nekat menarik sebelah tangan Tari yang masih ditahan. Sam memeluk erat Tari, seerat-eratnya. Tak sampai di situ, sebab Sam juga mengendus dalam-dalam kepala bahkan leher Tari. Sebuah kenyataan yang langsung membuat Tari merinding. Batin Tari bergejolak, apalagi biar bagaimanapun, sekalipun Sam telah sangat menyakitinya, Sam juga merupakan satu-satunya pria yang Tari cinta. Tari tak mau, apa yang Sam lakukan justru membuatnya goyah. Terlebih, kini saja hatinya sampai berdebar-debar terlepas dari jantungnya yang telah lebih dulu berdetak lebih kencang. Terlepas dari semuanya, tubuh Tari mendadak kaku, kendati ia juga sampai gemetaran.
Meski sadar apa yang ia lakukan sukses membuat Tari terkejut, tetapi Sam bisa mendengar degup jantung Tari yang menjadi begitu cepat bahkan kencang. Yang dengan kata lain, Tari juga masih memiliki rasa lain kepadanya. Tari juga masih mengharapkannya, seperti kebersamaan terakhir mereka sewaktu Sam belum menjatuhkan talak kepada wanita itu.
“Kamu mencintaiku. Kamu juga ingin kembali kepadaku. Bukankah begitu?” lirih Sam tanpa mengubah keadaannya.
Tari tak kuasa berkata-kata. Lidahnya mendadak kelu, terlepas dari dirinya yang juga semakin takut akan benar-benar goyah, jika Sam terus berusaha dan memberinya perhatian.
Di waktu yang sama, Titan datang. Titan nyaris melangkah memasuki area swalayan kebersamaan Sam dan Tari. Pemuda itu mencari-cari, mengamati suasana sekitar dengan sangat teliti. Namun, ketika Titan tidak sengaja melihat kebersamaan Sam dan Tari, detik itu juga pemuda berambut cukup ikal itu terkejut. Titan refleks mundur bahkan langsung menepis kebersamaan Sam dan Tari seiring rasa kesal bahkan kecewa yang menggerogoti kehidpannya. Titan marah sekaligus sakit hati atas kenyataan kini.
“Padahal aku sudah sangat berharap mereka benar-benar berpisah. Namun, ... jika memang Mas Sam bisa membuat Tari bahagia, aku juga merasa lebih lega!” batin Titan.
Setelah terdiam cukup lama tak ubahnya orang bodoh yang membiarkan dirinya menyakiti sendiri hanya karena bertahan dan memandangi kebersamaan Sam dan Tari, Titan memutuskan untuk meninggalkan kebersamaan dengan banyak rasa sakit. Rasa sakit yang terasa begitu menyiksa. Bahkan, hatinya sampai terasa sangat ngilu karenanya.
“Mas Sam apa-apaan, sih? Ini tempat umum dan ....” Tari berusaha mengakhiri keadaan. Tak hanya apa yang Sam lakukan, tetapi juga mengenai pertahanan dirinya yang mulai goyah. Karena tidak bisa Tari pungkiri, apa yang Sam lakukan telah membuat Tari terbuai.
Tari berusaha mendorong Sam, menyingkirkan tahanan pria itu, tapi yang ada, Sam kembali mengendalikannya.
“Kita pulang!” tegas Sam. Kali ini Sam benar-benar memaksa.
“Mas, jangan begini ... kalau Mas begini, justru aku bisa benar-benar marah sama Mas!” Tari kembali menyingkirkan dekapan Sam. Napasnya mulai memburu karena menahan kesal.
Sam dengan egoisnya tidak mengindahkan peringatan yang Tari tegaskan. Pria itu menggandeng paksa Tari untuk masuk mobilnya. Sam membuka pintu sebelah kemudi dan ia tujukan untuk Tari yang masih ia tahan.
“Masuk. Kita pulang!” pinta Sam menuntun Tari.
“Enggak, Mas. Aku enggak mau pulang, ... aku enggak mau ikut Mas, sebelum Mas kasih aku surat pernikahan kita!” tegas Tari.
Bagi Tari, satu-satunya cara mendapatkan status resmi dalam hidup Sam hanyalah surat pernikahan yang hingga detik ini belum Sam berikan. Dan saking sulitnya melarikan diri dari Sam, Tari sampai menyelinap dari bawah ketiak pria itu.
Sam yang merasa kecolongan pun menggeleng tak habis pikir. Pria itu menatap kepergian Tari sambil berseru, “oke, Ri ...! Malam ini juga aku akan urus surat-surat pernikahan kita!”
Apa yang Sam lantangkan sukses membuat langkah Tari berhenti. Tari ... dengan segala rasa sakit yang tiba-tiba kembali menyiksa wanita itu, hanya mampu terpejam pasrah. Tari mencoba meredam semuanya melalui keadaannya saat ini. Ia masih terpejam sambil mengatur napas pelan.
Dengan jarak mereka yang belum begitu jauh, tak kurang dari lima meter, Tari menyadari langkah yang terdengar mendekatinya merupakan langkah Sam. Tari yakin lantaran langkah tersebut juga disertai aroma parfum Sam yang tercium semakin kuat.
“Kenapa enggak dari dulu? Kenapa Mas enggak mengurusnya dari dulu? Kenapa baru sekarang? Mas pasti punya alasan, kan, kenapa Mas tiba-tiba berubah?” tanya Tari dengan rasa sakit yang masih menggerogoti.
“Kenapa Mas, terkesan sengaja mempermainkan pernikahan? Mas melakukannya hanya karena pernikahan kita karena perjodohan? Atau, karena aku enggak seperti wanita pada kebanyakan?” Tiba-tiba saja, Tari teringat luka fatal di wajah sebelah kanannya. Luka fatal yang sempat membuatnya merasa sangat buruk bahkan hingga sekarang. Di mana, kenyataan tersebut juga membuat Tari tak kuasa menahan kesedihan berikut air matanya. Air matanya berlinang dengan lancang, menorehkan semua jerit batin sekaligus luka yang tidak bisa ia tuangkan.
Sam terdiam bingung. Namun tiba-tiba saja ia berkata, “kita bicarakan ini di rumah saja.”
“Rumah? Rumah mana, Mas? Rumah Mas yang Mas minta agar aku meninggalkannya secepatnya? Mana mungkin aku berani ke sana, sedangkan Mas sudah wanti-wanti aku?” balas Tari.
“Ayolah, Ri. Aku akui aku salah. Kita bahas semuanya di rumah saja!” tepis Sam.
“Mas lupa, kalau pernikahan kita hanya pernikahan siri? Sedangkan Mas sudah menjatuhkan takal kepadaku?” balas Tari cepat dengan kenyataannya yang masih memunggungi Sam.
“Demi Tuhan, Ri ... aku benar-benar meminta maaf. Iya aku salah, aku sadar!” tepis Sam lagi.
“Tapi kata maaf enggak bisa mengembalikan keadaan, Mas. Dan akan semakin enggak baik, kalau kita terus bersama terlebih sampai tinggal satu rumah, sedangkan status kita sudah bukan siapa-siapa!” ‘Bukan siapa-siapa’ merupakan status yang Tari yakini untuknya dan Sam. Karena setahunya, jika seorang istri siri sudah ditalak bahkan diusir untuk pergi, dengan kata lain, ikatan pernikahan siri wanita tersebut juga hilang bersama talak yang didapatkan.
Yang jelas, Tari tidak mau memiliki ikatan pernikahan sebatas pernikahan siri yang sampai kapan pun akan merugikan pihak wanita sekaligus anak dari hubungan tersebut. Tari tidak mau memiliki anak dari hubungan pernikahan siri yang otomatis akan kehilangan masa depan, lantaran statusnya tidak diakui hukum yang kuat, bahkan sekalipun sekadar untuk meminta tanggung jawab dari ayah kandungnya sendiri.
Kali ini, Sam-lah yang terpejam pasrah. Sebab, apa yang dikatakan Tari memang benar. “Demi Tuhan aku janji, aku enggak akan macam-macam. Aku akan menuruti semua kemauanmu, asal kamu mau pulang dan kembali bersamaku. Kita sama-sama lagi, Ri. Aku mohon! Atau kalau enggak, sekarang juga, kita menikah lagi, ya?” tawarnya masih berusaha mendapatkan Tari.
Tari, sungguh tidak mengerti, kenapa Sam begitu menginginkannya untuk kembali? Kenapa pria itu begitu sibuk meyakinkannya dan bahkan rela melakukan semuanya untuknya? Sebenarnya, apa yang terjadi? Kenapa Sam tiba-tiba berubah? Kenapa pria berusia dua puluh sembilan tahun itu rela menjilat ludahnya sendiri?
“Aku mohon, ayo kita pulang!” bujuk Sam lagi.
Namun, Tari masih takut setelah apa yang ia alami dalam hubungannya dengan Sam. Tari butuh waktu untuk memikirkannya, selain Tari yang membutuhkan status sekaligus posisi yang kuat. Tari tak mau sekadar menjadi istri siri. Terlebih, Tari juga memikirkan masa depan. Jika Tari sampai mempunyai anak dari Sam. Apakah pria itu juga akan tetap sama layaknya sekarang bahkan pada anak mereka?
Tari menghela napas pelan. “Aku ... dengan segala kekuranganku, ... aku benar-benar sadar diri!” batinnya. “Besok saja, Mas. Besok kalau semuanya sudah siap. Lebih baik, sekarang kita sendiri-sendiri saja.”
“Demi Tuhan, Ri ... aku janji enggak akan macam-macam. Aku janji enggak bakalan menyentuh kamu sebelum surat resmi pernikahan kita jadi!” ucap Sam sambil memutari Tari dan membuatnya berdiri di depan Tari.
Tari mendengkus sambil membenarkan kaitan tas di pundak kanannya. “Besok juga masih ada waktu, Mas. Lagi pula, aku juga sudah punya tempat tinggal sendiri. Besok saja. Tolong hargai aku. Tolong beri aku waktu untuk berpikir lebih dulu.”
Tari masih dengan keputusannya. Dengan semua kekurangan yang baginya bisa dengan sangat mudah dicampakkan. Jadi, bersikap hati-hati menjadi satu-satunya cara untuknya melindungi diri. Sebab jika bukan dirinya yang melindungi dirinya sendiri, siapa lagi? Tari sungguh tidak mempunyai siapa-siapa termasuk keluarga. Sebatas keluarga bibinya yang pastinya tidak mungkin akan benar-benar ada untuknya, karena mereka juga memiliki kepentingan yang harus lebih diutamakan.
“Masa iya, aku harus memaksa?” Sam benar-benar masih memohon.
Tari sangat berharap, Sam mau menghargai keputusannya. “Kalau Mas serius, pasti Mas juga bisa menghargai keutusanku!” tegasnya.
“Ya sudah. Kalau begitu, setelah kita menikah lagi, aku akan langsung antar kamu pulang ke tempat tinggalmu. Dan nanti, ... setelah surat-surat pernikahan kita sudah jadi, aku akan langsung jemput kamu dan kasih semua itu ke kamu!” ucap Sam kemudian dengan sangat meyakinkan.
Tari menatap Sam penuh pertimbangan. “Tolong kasih aku waktu buat berpikir, Mas!”
“Berpikir apa lagi?” tanya Sam tak habis pikir. Kemudian ia kembali menggandeng sebelah tangan Tari.
Tari kebingungan menatap gandengan tangan mereka.
”Ayo, mumpung masih pukul lima. Kita menikah hari ini juga!” Sam kembali menuntun Tari.
Dan kali ini, Tari benar-benar tidak bisa menolak. “Mas, aku mohon, tolong kasih aku waktu!”
“Aku juga mohon, Ri. Aku serius, aku mau rujuk. Aku ingin kamu jadi istriku. Iya, aku salah karena sebelumnya, aku telah menyia-nyiakanmu!” tegas Sam.
Tari terdiam bingung seiring batinnya yang mulai bertanya-tanya. Apakah Sam bisa dipercaya? Dan apakah ia sungguh akan bahagia jika memilih kembali menikah dengan pria itu?
****