Episode 3 : Penyesalan Sam yang Ingin Kembali Dengan Tari

1960 Kata
“Pulang, yuk? Mengenai malam itu, ... aku minta maaf. Aku mau kita baikan. Kita sama-sama lagi. Kita mulai semuanya dari awal.” Episode 3 : Penyesalan Sam yang Ingin Kembali Dengan Tari *** Semenjak mengetahui wanita yang dicintai adalah wanita yang sama, ... wanita yang ia sia-siakan tak ubahnya istri yang tak diharapkan, Sam ... pria itu benar-benar menyesal. Sam menjalani waktunya dengan banyak rasa takut. Takut jika wanita yang ia cintai justru dimiliki orang lain. Juga, ... wanita itu tak mau memaafkannya setelah apa yang Sam lakukan dan tentunya telah menorehkan banyak luka. Luka yang juga sangat dalam. Sam, ... Ingin Tari kembali. Kembali padanya dan benar-benar menjadi miliknya tanpa orang lain di antara mereka. Dan karena semua rasa takut berikut penyesalannya, Sam jadi tidak bisa tidur. Yang ada, pria berahang tegas itu tak hentinya menatap setiap sudut ruangan di rumahnya. Sam membayangkan mengenai Tari yang membereskan semua itu dengan penuh cinta. Sam juga yakin, betapa wanita itu terluka karena sikap dinginnya selama kebersamaan mereka. Semua penolakan sekaligus ketulusan Tari yang selalu Sam sia-siakan. Tanpa terkecuali, semua masakan Tari dan biasanya memenuhi meja saji. Juga, semua sikap manis sekaligus santun wanita itu kendati Tari cenderung takut bahkan untuk sekadar menatap Sam. Sam sadar dan sangat yakin, kala itu, Tari sangat mengharapkannya. Namun, setelah semua luka yang Sam berikan berikut status hubungan mereka yang tak lagi sama, tentu semuanya juga sudah berubah. Bahkan saat pertemuan di halte di mana yang ada, Tari sampai mengembalikan uang yang sempat Sam berikan ketika mereka masih bersama, Tari terlihat jelas tak mau memiliki urusan apalagi hubungan lagi dengan Sam. Lantas, jika keadaan sudah seperti sekarang, apa yang harus Sam lakukan? Sam merasa sepi. Kesepian, tepatnya. Rasa sesal berikut ingin memiliki Tari kembali yang turut dibubuhi rindu, membuat pria itu terkurung dalam ruang waktu yang begitu gelap sekaligus senyap. Sam sangat tersiksa karenanya. Lantaran semua rasa yang begitu menyiksa itu tak kunjung usai, Sam mencoba membayangkan apa yang Tari lakukan ketika ia mengunci diri di dalam kamar, dan membiarkan wanita itu tidur di luar. Kemudian, Sam juga membayangkan betapa tersiksanya Tari atas rasa sepi yang menggerogoti wanita itu, ketika Tari harus tidur sendiri sambil menatap bantal yang seharusnya Sam tempati. Layaknya kini, Sam yang melakukannya dan tidur seorang diri di tempat tidurnya, berharap di hadapannya ada Tari. Sam sungguh berharap Tari ada, menempati bantal kosong yang ada di hadapanya, sebelum akhirnya mereka bercengkerama dan menjalani malam berikut kebersamaan dengan mesra. Memikirkan semua itu, Sam benar-benar sakit. Sam seolah dipaksa untuk menelan banyak pil pahit. Hatinya gamang. Begitu banyak luka di sana yang hanya bisa disembuhkan oleh Tari yang kali ini tengah membuatnya menahan rindu yang tak berkesudahan. Dan Sam tak kuasa menahan kesedihan berikut tangis penuh sesal yang akhirnya pecah. Sam meraba bantal berikut kasur di hadapannya yang ia harapkan ditempati Tari sekarang juga. Pria yang selalu menyikapi Tari dengan dingin itu memejamkan mata sambil menghirup udara dalam-dalam, berharap, ada aroma Tari yang tertinggal di sana dan masih bisa ia miliki, meski hanya sedikit. “Ri ... besok juga kamu pulang, ya? Aku minta maaf. Kita sama-sama lagi. Aku mohon ... demi Tuhan, Ri ... jauh darimu seperti ini, ... enggak hanya dadaku yang sakit, tetapi semuanya!” batin Sam sambil memeluk bantal di hadapannya dan sampai ia kecupi, membayangkan bantal itu sebagai Tari. “Aku hancur, dan aku butuh kamu.” *** Keesokan harinya, Tari keluar dari kontrakannya dengan sangat bersemangat. Meski masih memikirkan pekerjaan apa yang harus ia lakukan dan sebisa mungkin jangan sampai bentrok dengan pekerjaan yang ada, tetapi Tari optimis bisa mendapatkan pekerjaan tambahan sesuai rencana. Terlebih, Tari berniat mencari tahu kepada teman kerjanya, agar ia lebih cepat mendapatkan pekerjaan tambahan. Pagi ini, langit benar-benar cerah dengan sisa hujan kemarin yang masih terlihat sangat kentara. Beberapa ranting pohon yang basah dan di antaranya masih dihiasi buih-buih air hujan, selain nuansa basah yang memang masih menyelimuti kehidupan. Terlepas dari semuanya, aroma aspal berikut debu yang tergerus hujan, juga  menjadi aroma kuat pagi ini. Tari berjalan tergesa karena ingin secepatnya sampai di tempat kerja. Wanita ayu yang akan terlihat sangat cantik bila berias itu melakukannya, karena ingin langsung bertanya kepada teman kerjanya. Dan ketika wanita itu melihat beberapa pedagang kue di sekitar jalan yang dilalui, dari yang sudah memiliki tempat jualan maupun yang masih harus mendagangkan jualannya, dari tempat satu ke tempat lainnya demi menggaet hati pembeli, Tari jadi memiliki ide untuk melakukan hal serupa. “Kenapa aku enggak dagang kue saja, ya? Tapi tunggu dulu ... yang jualan kue saja sudah terlalu banyak. Belum lagi, ... jualan kue juga butuh modal. Sedangkangkan aku hanya punya uang tiga ratus, dan itu harus buat bayar kontrakan, ... makan, biaya hidup satu bulan ... ya ampun, aku harus segera mendapatkan uang!” gumam Tari kebingungan dan sampai menepuk-nepuk kepalanya menggunakan kedua tangan. Tari terus melangkah cepat, melalui rindang pohon beringin yang sampai membuatnya merinding saking dinginnya suasana di sana, yang memang sudah sangat teduh, meski mendung bahkan hujan tidak turun. Karenanya, Tari sampai menyimpan kedua tangannya di sisi saku jaket yang dikenakan. “Ada enggak, pekerjaan tanpa harus modal dan enggak bentrok dengan pekerjaan yang sudah ada? Lagian, jadi SPG kan, kerjanya enggak selalu tetap. Kadang pagi, apa malah malam?” gumam Tari. Ia sudah nyaris sampai di halte biasa dirinya menunggu bus. Dari belakang Tari, Titan yang baru keluar dari salah satu kontrakan yang sempat Tari lalui keberadaan gangnya, tapi tak sengaja melihat sosok Tari, menjadi kebingungan. Titan bisa langsung mengenali tari meski hanya melihat wanita itu dari sebelah sisi bahkan kejauhan. “Serius, Tari dari sana? Beneran semalam dia bermalam di sana? Ngapain juga dia dari sana, sedangkan rumah Mas Sam, sangat jauh dari sini? Kira-kira, dia di sana bareng Mas Sam, atau sendirian bahkan ...? Ya ampun, ... kok firasatku jadi enggak enak begini?” gumam Titan mencoba menerka-nerka. Dengan kedua tangan masih tersimpan di sisi saku celana panjang yang dikenakan, Titan yang sudah rapi meski sebatas mengenakan kaus yang dibalut jaket, segera mengejar Tari. “Tari dan mas Sam, ... enggak sedang ada masalah dan mereka sampai pisah, kan?” pikirnya. Setahu Titan, selain memiliki sifat prefeksionis, Sam kakaknya juga sangat protektif apalagi untuk urusan pasangan. Sedangkan bagi Titan, melihat Tari sampai berdandan sangat cantik layaknya sekarang dan kemarin saja, sudah membuat pemuda bertubuh kurus itu sulit untuk mempercayainya. Dan yang membuat Titan semakin menyikapi keadaan Tari dengan serius, tak lain perihal wanita itu yang sampai keluar masuk kontrakan tak jauh dari kontrakan Titan. Semua kenyataan tersebut membuat Titan yakin, ada yang tidak beres dengan hubungan Tari dan Sam. Belum lagi, keduanya menikah karena dijodohkan, sedangkan selama itu juga, Titan tidak pernah melihat kedekatan apalagi keromantisan dari keduanya yang bahkan belum pernah Titan pergoki menghabiskan waktu bersama. Yang ada, di setiap Tari ada, secepat kilat Sam langsung pergi. Sam akan pergi dan terus begitu tanpa mau diikuti oleh Tari. Kini, Titan sudah ada di belakang Tari. Mereka ada di halte yang sama. Di depan sana, Tari terlihat begitu antusias menunggu kedatangan bus. Belum pernah Titan melihat Tari sesemangat sekarang, apalagi semenjak wanita itu memiliki luka yang meninggalkan bekas fatal di wajah sebelah kanan. Karena semenjak itu juga, Tari seolah lupa seperti apa itu bahagia, berikut semangat layaknya apa yang kini Titan dapati menyelimuti Tari. “Andai aku enggak kerja, ... pasti aku bisa awasin Tari dan membuktikan kecurigaanku!” batin Titan yang menjadi geregetan sendiri. Ketika bus datang, Tari langsung masuk bersama beberapa penumpang lain yang sebelumnya sempat menunggu tanpa terkecuali Titan. Hanya saja, demi merahasiakan kecurigaannya, Titan memilih menjaga jarak dan bahkan sengaja bersembunyi dari Tari. Titan terus berusaha mengelabuhi Tari tanpa mengusik wanita itu yang masih terlihat sangat bersemangat. Tari masih terlihat sangat antusias dan cenderung tidak sabar untuk melakukan sesuatu yang sepertinya menjadi alasan wanita itu sesemangat sekarang. Titan duduk di kursi penumpang paling belakang, tertutup oleh beberapa orang yang berkerumun, sedangkan Tari duduk di kursi penumpang tak jauh dari barisan paling depan. Setelah nyaris tiga puluh menit perjalanan, bersama dua orang penumpang lainnya, Tari turun di halte kemarin malam, wanita itu menaiki bus. Titan yakin, ada yang Tari lakukan di sekitar sana. Namun, apa yang wanita itu lakukan? Apakah itu juga yang membuat Tari seantusias sekaligus bahagia layaknya sekarang? Sungguh, Titan menjadi semakin penasaran. Tak mau kehilangan jejak, meski masih dari dalam bus, Titan berusaha memastikan. Tari, ... wanita itu memasuki sebuah swalayan yang keadaannya baru dibuka dan belum ada pengunjung yang datang, kecuali pekerja. Beberapa pekerja dan di antaranya wanita yang mengenakan seragam sama dengan Tari--hem berkerah warna biru muda, tampak berdatangan memasuki swalayan tersebut, layaknya apa yang Tari lakukan. “Tari masuk ke swalayan itu? Dia mau ngapain? Tari, kerja di sana?” pikir Titan. Sayangnya, ia tak lagi bisa mengamati lebih jauh lantaran selain Tari yang sudah masuk swalayan, bus yang membawanya juga semakin jauh meninggalkan swalayan. “Ya sudahlah. Nanti aku cari tahu ke kontrakan yang sempat Tari masuki saja,” gumam Titan. Ia kembali duduk dan mencoba bersikap lebih tenang, kendati pikirannya terus saja sibuk memikirkan Tari. *** Setelah seharian bekerja dengan rasa lelah yang berdominan di kedua kakinya lantaran seharian penuh harus mengenakan hak tinggi, Tari dikejutkan oleh kehadiran Sam di tempat parkir. Pria itu berdiri di sebelah mobil yang Tari ketahu sebagai mobil Sam.  Sam terdiam sambil bersandar pada pintu sebelah kemudi, seolah-olah, pria itu sedang memikirkan hal bahkan masalah cukup serius. Selain itu, Sam terkesan sedang menunggu. Mungkin menunggu seseorang. Tari yakin itu. Namun, Tari tidak berani menatap apalagi menyapa setelah apa yang menimpa mereka. Bahkan, Tari sampai berputar arah lantaran tidak berani sekaligus telanjur takut membuat pria itu merasa terganggu jika sampai melihatnya.  Tari memutuskan untuk pergi melalui pintu keluar sebelah. Ia memilih lewat belakang Sam, di tengah jantungnya yang mulai berdetak lebih kencang dan lama-lama menjadi kacau, hanya karena wanita itu tahu, dirinya sedang ada di tempat yang sama dengan pria itu. “Seharusnya, ... apa yang kulakukan, sudah benar, kan?” batin Tari. “Harusnya memang sudah enggak ada urusan, apalagi uang dua juta dari Mas Sam juga sudah aku kembalikan, sedangkan selama ini, benar-benar enggak ada nafkah yang kuterima selain itu dari mas Sam? Enggak harus ada yang aku balikin lagi, kan? Apa aku lupa?” pikir Tari. Seperti biasa, memikirkan Sam hanya membuat Tari menjadi manusia lemah. Tari merasa sangat sesak. Sesak di d**a berikut sakit di hati yang seketika menyerangnya, membuat wanita itu kesakitan luar biasa. Tari mendadak rapuh tak berdaya. Tak hanya air mata yang dengan lancangnya menuangkan rasa sakit berikut semua luka yang berusaha wanita itu sembunyikan, sebab saking sakitnya, Tari yang memilih menunduk, sampai meremas dadanya. Tari berharap, apa yang ia lakukan bisa mengurangi rasa sakit di sana. Terlebih, dadanya tak hanya sesak, melainkan sangat sakit hanya karena ia mengingat apa yang pernah terjadi antara dirinya dan Sam. “Semuanya sudah berlalu ... dan kamu enggak seharusnya sedih terus, Ri! Sudah, semangat, ... kamu enggak salah, kok!” batin Tari yang mencoba menyemangati dirinya sendiri. Ketika Tari baru saja berhasil melewati mobil Sam, tiba-tiba sebelah tangannya ditahan oleh sebuah tangan dan itu ternyata Sam! Tari nyaris jantungan karena hal tersebut, apalagi wanita itu juga sempat menengadah demi memastikan pelakunya. Melihat dan bertatap muka dengan Sam layaknya sekarang, semakin membuat Tari ketakutan. Tari buru-buru menunduk, demi menepis tatapan Sam. “Aku salah apa lagi?” batin Tari kebingugan. Tari sampai menggeragap dan hanya diam dalam kegelisahan yang mencoba melumpuhkannya. “Katakan sesuatu, Ri! Katakan!” Tari masih mencoba meyakinkan dirinya sambil menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. “Pulang, yuk? Mengenai malam itu, ... aku minta maaf. Aku mau kita baikan. Kita sama-sama lagi. Kita mulai semuanya dari awal.” Sam mengatakan itu dari hatinya yang paling dalam. Ia tulus dan tidak mungkin menunggu lagi, terlebih ia sudah telanjur takut kehilangan wanita di hadapannya. “Apa ...? Tadi, ... Mas Sam bilang apa?” batin Tari bergejolak. Tari sampai bergidik ngeri saking tidak percayanya. Namun, ia masih menunduk dan memang masih belum berani menatap Sam. Bahka saking takutnya pada pria itu, Tari sampai gemetaran. Bersambung ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN