BAB 27: Aku, Tidak Peduli

2003 Kata
“Winter, minggu depan kau ulang tahun. Kau mau merayakannya?. Aku akan mempersiapkan pestanya sekarang jika kau mau membuat pesta dan merayakannya.” Ucap Vincent dengan penuh semangat. Winter bernapas dengan cepat, kakinya bergerak di atas treadmill tengah olahraga, “Tidak kakak, terima kasih.” Kening Vincent mengerut, alisnya sedikit menurut terlihat kecewa dengan jawaban Winter. Sudah beberapa tahun mereka terpisah karena Vincent tinggal di Inggris, ini untuk pertama kalinya Vincent tinggal sedikit lebih lama di Neydsih. Vincent ingin membuat susatu yang indah bersama adiknya. “Kenapa?. Selama ini kau tidak merayakan ulang tahunmu, namun ulang tahunmu kali ini melewati masa sweet seventeen, apa salahnya membuat acara ulang tahun di tahun pertama kedewasaanmu?.” Winter tersenyum samar menahan decihan gelinya. Sepanjang hidupnya ketika masih menjadi Kimberly Feodora, dia tidak pernah mau merayakan hari ulang tahunnya. Bagi Kimberly.. Tidak ada gunanya merayakan hari kelahiran. Mengapa orang bersenang-senang hingga berpesta ketika waktu kehidupannya di dunia kian berkurang?. Itulah pandangan seorang Kimberly Feodora. “Kakak, aku masih malu dan belum siap mengadakan pesta usai banyak masalah yang datang kepadaku.” Jawab Winter dengan pandai. “Kenapa kau malu?.” Nada suara Vincent naik seketika, Vincent langsung berdiri di hadapan Winter. “Kau itu sempurna, siapa yang berani mempermalukanmu? Biar aku hajar orang itu.” Winter tidak dapat menahan senyumannya, jiwanya menghangat merasa senang karena tidak pernah memiliki sosok keluarga yang memperhatikan dirinya di masa lalu. Jari Winter menjangkau layar untuk mengatur pergerakan treadmill agar dia bisa berjalan. Winter mengusap keringat di wajahnya dan menatap Vincent dengan hangat. “Kakak, aku sudah berjanji kepada kakak jika terjadi sesuatu aku harus mengatakannya. Aku hanya belum ingin merayakannya saja.” Vincent tersenyum puas mendengarnya. “Jika kau tidak mau merayakannya, kau mau hadiah sesuatu dariku?.” “Ada.” “Katakan saja.” “Aku butuh perawatan kecantikan terbaik jika nanti aku berhasil kurus. Aku butuh operasi plastic jika nanti nanti ada kulit yang bergelambir dan tidak bisa di hilangkan dengan olahraga. Aku juga tidak mau kulitku cacat dengan bekas operasi.” Bibir Vincent terbuka lebar, pria itu berkedip beberapa kali. Butuh waktu lama untuk mencerna apa yang Winter katakan kepadanya. “Winter, kau serius?.” Bisik Vincent tidak percaya. “Apa kakak tidak mau memberikan hadiah yang aku inginkan?.” Tanya balik Winter tanpa menjawab pertanyaan Vincent. “Winter” Vincent tidak dapat melanjutkan ucapannya karena terlalu terkejut, Vincent menarik napasnya dalam-dalam memikirkan kata apa yang harus dia ucapkan agar tidak menyakiti hati adiknya. “Aku akan memberikan apapun yang kau mau, namun apa kau serius dengan kemauanmu?. Meja operasi sangat mengerikan, risikonya sangat tinggi. Ayah histeris hanya dengan melihatmu mendapatkan suntikan, ini meja operasi, Ayah bisa gila karena keinginanmu.” “Aku juga tidak akan melakukannya jika tubuhku baik-baik saja dan tidak memiliki bekas kegemukanku jika nanti aku sudah kurus. Aku sendiri akan pergi ke dokter kecantikan dari sekarang agar semuanya bisa di tangani dengan mudah.” Itu benar, Winter sudah pergi ke dokter kecantikan sejak beberapa hari yang lalu, dia memutuskan untuk melakukan penyedotan lemak agar proses dietnya berjalan semakin cepat. Jawaban Winter membuat Vincent bisa bernapas sedikit lega. “Nona Winter.” Seorang pelayan mengetuk pintu tempat olahraga. “Nona Paula datang ingin bertemu dengan Anda. Apa Anda mengizinkannya masuk?” Winter perlahan turun dari treadmill dan melihat kearah pintu. “Suruh dia masuk. Tapi aku harus mandi terlebih dahulu.” “Biar aku yang menemuinya.” Jawab Vincent. *** Suara tawa terdengar di bawah, Winter berjalan penuh kehati-hatian dan berdiri di sisi pagar melihat ke bawah. Satu jam Winter menghabiskan untuk mandi luluran dan berdandan, dia tidak mempedulikan kedatangan Paula, bahkan Winter berharap Paula sudah pulang. Namun apa yang Winter harapkan tidak terjadi karena kini Paula masih berada di bawah menunggunya. Paula terlihat pandai menahan Vincent dan bermanja-manja kepadanya. Winter dapat melihat, ada ketidak nyamanan yang tengah Vincent rasakan saat berbicara dengan Paula. Entah apa tujuan Paula bersikap manis kepada Vincent. Winter hanya menemukan dua jawaban.. Paula ingin Vincent jatuh cinta kepadanya, atau Paula ingin Vincent menganggap dia adiknya, sama seperti kepada Winter. Winter mengibaskan rambutnya dan menegakan tubuhnya, gadis itu tersenyum miring teringat kejadian hari ini. Entah untuk apa Paula menemuinya sekarang. Winter ingin melihat apa yang akan Paula lakukan kepadanya sekarang. Winter segera turun meneruni satu persatu anak tangga. Menyadari kedatangan Winter, Paula segera melepaskan rangkulannya dari lengah Vincent dan segera berdiri, “Winter kenapa kau lama sekali?.” Paula tersenyum lebar penuh keceriaan, dia berlari kearah tangga menyusul kedatangan Winter. Paula melakukannya agar bisa menyeret Winter ke kamarnya dan banyak berbicara dengannya disana. Jika Paula berada di luar kamar Winter, kemungkinan akan ada pelayan atau pengawal yang mendengar dan mengetahui tindakannya kepada Winter. Paula menengok ke arah Vincent dan tersenyum dengan lebar. “Kak Vincent, aku dan Winter akan bermain di kamar, terima kasih sudah menemaniku. Ayo Winter.” Ajak Paula tanpa menunggu persetujuan apapun dari Winter. Vincent terdiam, dia tidak sempat menjawab karena Paula sudah menyeret Winter pergi kembali ke atas menuju kamarnya. Winter hanya berpura-pura bingung hanya patuh berjalan sedikit terseok-seok dalam seretan Paula yang menariknya pergi menuju kamarnya. Begitu sudah sampai di kamar Winter, Paula mengunci pintunya. Paula meletakan tasnya di atas laci dan melihat ke sekeliling, memperhatikan apakah kecurigaannya yang kian kuat itu benar atau salah. Kamar Winter masih sama seperti sebelum-sebelumnya, tidak ada yang berubah sedikitpun. Paula langsung melihat Winter yang kini diam dan tertunduk, dengan kesal Paula mengeluarkan kartu milik Winter dari dalam tasnya dan memberikan kembali kepada Winter. “Tidak bisa di gunakan. Sekarang sudah di blokir.” Pupil mata Winter melebar, dengan mulus dia berpura-pura kaget dan bingung. “Benarkah?. Bagaimana ini” bisik Winter sedih dan panik. Paula bersedekap di hadapan Winter penuh dengan aura yang mendominasi, “Bagaimana katamu?. Aku harus membayar semuanya dengan uang hasil meminjam.” “Kau bisa mengajak teman-temanmu ke restaurant biasa jika tidak mampu membayar di restaurant mewah Paula.” Bisik Winter menasihati. Paula berdecih kesal, “Katakan saja padaku jika kau merasa terbebani karena aku terus meminta kepadamu dan merepotkanmu.” Jawab Paula dengan ketus, “Kita bersahabat sejak kecil, ku pikir kau tulus kepadaku. Ternyata kau sangat suka perhitungan kepada mntang-mentang aku miskin.” Tuduh Paula seakan “Aku berkata seperti itu karena aku takut kau kesulitan ketika aku tidak ada di sampingmu.” Bibir Paula membentuk senyuman miring meremehkan. “Winter, kau tidak berhak berkata seperti itu karena kau sendiri tidak dapat mengurus dirimu sendiri.” “Maaf Paula.” Paula membuang napasnya dengan kasar, sorot matanya kian serius melihat Winter yang kini berdiri di hadapannya. Semakin hari Winter semakin cantik, tidak mustahil jika Winter juga bisa menjadi orang yang sudah menjebak Paula. “Katakan padaku. Kau juga yang memasukan dompet orang lain pada tasku?.” Tanya Paula penuh tekanan. “Maksudmu apa?.” “Aku harus berada di kantor polisi hingga larut malam karena kau memasukan dompet orang asing ke dalam tasku!. Semua teman-temanku mencemoohku dan menjadikanku lelucon gara-gara kau” teriak Paula tanpa ragu. Tidak ada yang bisa mendengarnya karena kamar Winter kedap suara. Winter menutup mulutnya berpura-pura kaget, “Apa tidak tahu apapun Paula. Kenapa kau menuduhku begitu saja?, bagaimana bisa aku mengkhianati sahabatku sendiri.” “Hanya kau yang beranjak dari tempat duduk. Kau juga sudah berubah Winter, bagaimana bisa aku tidak curiga padamu!. Kau ingin balas dendam padaku kan?.” Cecar Paula lagi. “Untuk apa aku balas dendam padamu?. Apa kau sudah melakukan kesalahan yang besar padaku?” tanya Winter dengan tenang. Pertanyaan Winter berhasil membuat Paula terbungkam dengan rasa malu karena logikanya memang mengakui bahwa dia sudah memiliki kesalahan yang besar pada Winter. Namun hati dan mulut Paula tidak mengakuinya karena dia tetap ingin berhenti untuk menghancurkan Winter dan mengambil alu dunianya. “Paula, mungkin kau sudah berbicara dengan orang lain sebelum kita betemu denganku di toilet.” Kata Winter lagi dengan samar. Paula semakin di buat diam seribu bahasa, gadis itu mengingat bahwa dia memang bertemu dengan seorang pria ketika hendak menuju toilet. Kepala Paula terangkat, dia menatap Winter masih dengan tatapan tajam penuh kemarahannya seakan masalahnya dengan Winter masih belum usai. “Lalu, kenapa tadi kau menurunkan aku Winter?.” Tanya Paula penuh tuntutan membutuh penjelasan. Paula masih bisa mengingat tatapan tajam dan ucapan tegas Winter sebelum mengusirnya turun dari mobil. Paula merasa asing dan takut dengan perubahan Winter, dan yang paling menakutkan bagi Paula adalah Winter tidak bisa lagi dia atur sesuka hatinya. “Aku sudah tidak nyaman lagi denganmu.” Jawab Winter samar. “Apa maksudmu?.” “Kau berubah Paula. Kau terlalu mengaturku dan terus menuduhku, aku merasa sedih dengan semua tuduhanmu.” Kening Paula mengerut samar. Paula memang sedikit lebih menekan Winter di setiap kali melihat gadis itu berubah, Paula menekannya karena dia tidak ingin Winter berubah kian jauh dan tidak bisa Paula atur lagi. “Aku mengatur demi kebaikanmu Winter. Aku tidak menuduhmu, aku hanya tidak ingin kau berubah.” Bisik Paula dengan lembut dan bertindak seperti seseorang yang peduli. “Aku satu-satunya orang yang peduli dan tulus kepadamu. Aku lebih suka Winter yang dulu, jika sekarang kau berubah, mungkin aku tidak mau menjadi sahabatmu lagi Winter.” Ucap Paula lagi yang secara tidak langsung tengah mengancam. Paula mengancam Winter untuk kembali seperti dulu lagi bila masih ingin bersahabat dengannya. Hal seperti ini biasanya cukup membuat Winter ketakutan dan semakin patuh kepadanya karena Winter berpikir dia tidak akan memiliki teman lagi selain Paula. “Sudahlah Paula.” Winter memutar kunci di pintu dan membukanya. “Aku butuh waktu sendiri.” “Kau berani mengusirku?.” Tanya Paula tampak kaget dengan respon Winter yang sangat jauh dari bayangan Paula. “Ini rumahku.” Jawab Winter dengan enteng. Tanpa berbicara apapun lagi, Paula segera mengambil tasnya, lalu pergi keluar dari kamar Winter. Perasaan Paula menjadi tidak menentu, gadis harus berpikir keras memikirkan bagaimana dia bisa mengembalikan semua keadaan karena Winter benar-benar telah berubah. Paula tidak lagi patut curiga, karena kini Paula harus waspada dan segera mencari suatu jalan agar Winter kembali seperti dulu. Perubahan Winter sudah berada di luar kendali, dia harus menyelidiki apa yang sebenarnya yang sudah membuat Winter berubah. *** Kaki Winter berjinjit menekan-nekan bel sebuah panthouse. Marvelo yang kemarin dia temui dan hari ini kembali tidak datang ke sekolah mau tidak mau membuat Winter datang mencarinya. Winter membutuhkan jawaban Marvelo sekarang juga, dia tidak ingin menunggu lagi. Kali ini Winter sudah merasa yakin dan percaya diri untuk menemui Marvelo karena dia sudah memiliki bukti lain untuk mengancam Marvelo. Bahkan Winter tidak perlu menjelaskan apapun lagi kepada Marvelo karena Marvelo sendiri sudah tahu. Dan disinilah Winter sekarang, berdiri di depan pintu sebuah panthouse mewah apartement tempat di mana Marvelo tinggal. Cukup lama Winter menunggu, jarinya tidak berhenti menekan bel. Tidak berapa lama pintu terbuka. Winter tersenyum lebar begitu Marvelo yang membuka pintu, sementara Marvelo menunjukan ekspresi dingin seperti biasa, Marvelo terlihat tidak begitu kaget dengan kedatangan Winter seakan ini bukan pertama kalinya Winter datang ke tempatnya. Senyuman Winter kian lebar melihat Marvelo yang hanya mengenakan celana selutut bertelanjang d**a. Sangat beruntung menjadi seorang Marvelo, dalam keadaan apapun dia terlihat menawan dan panas. Dan lebih beruntung Winter, dia bisa mencuci mata karena Marvelo enak untuk di pandang. “Kenapa kau ada di sini?.” Tanya Marvelo dengan dingin. Pertemuan terakhir mereka kemarin semakin mengubah penilaian Marvelo pada Winter. Marvelo kesal, lebih jelasnya dia marah kepada Winter Benjamin. Perubahan Winter membawa angin segar, namun tindakannya yang mengancam dan mencoba membuat Marvelo masuk ke dalam kehidupannya adalah sebuah sekenario takdir yang salah. “Kau sendiri kenapa tidak sekolah?. Sudah dua hari kau tidak sekolah.” “Itu bukan urusanmu.” Winter mendengus kesal mendengar jawaban Marvelo yang begitu-begitu saja. Kalau tidak dingin, ya ketus. Beruntung Jiwa Kimberly memakluminya karena Marvelo masih muda. “Kau tidak mau mengajakku masuk?.” Tanya Winter yang tidak mempedulikan sikap dingin Marvelo. “Ada yang ingin aku bicarakan.” “Aku tidak mau bicara denganmu.” “Oh, benarkah?. Mau aku sebarkan semua aib memalukanmu?.” Balas Winter mengancam. Tanpa bicara Marvelo langsung mendorong pintunya menjadi semakin lebar dan memberi Winter jalan untuk masuk. To Be Continue..
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN