Di kesempatan kedua ini, Kimberly tidak hanya akan mengubah dunia Winter Benjamin dan membalaskan orang-orang yang menghancurkan dunia Winter.
Kimberly juga akan memperbaiki dirinya sendiri karena Tuhan tidak mungkin memberikan kesempatan lagi untuknya. Andaipun nanti jika dia sudah berhasil membalaskan dendam Winter, lalu Tuhan mengambil nyawanya, setidaknya dia sudah mengubah mengubah dunia Winter dan kepribadian seorang Kimberly Feodora yang buruk.
Tangan Winter yang memegang segenggam bunga mawar putih beraroma parfum beraroma khas mandarin, dengan ujung tangkai yang basah, terikat sebuah simpul biru di ikat membentuk bunga.
Semua itu kesukaannya Kimberly Feodora, tidak ada yang mengetahuinya selain Kimberly Feodora.
Betapa detailnya seorang seorang Kimberly Feodora, bahkan untuk daun di setiap tangkainya dia harus memiliki enam buah daun karena angka enam adalah tanggal lahirnya yang sesungguhnya yang selama ini Kimberly sembunyikan dari dunia.
Dengan kaki yang gemetar, Winter membungkuk di hadapan makam Kimberly.
Butuh keberanian yang sangat kuat untuk dirinya melihat sesuatu yang mengerikan di hadapannya, yaitu makam Kimberly Feodora, pemilik jiwanya yang sesungguhnya.
Mulai sekarang dia harus berusaha berdamai dengan apa yang telah terjadi.
Merelakan tubuhnya Kimberly Feodora yang sudah hilang terletalan tanah, termasuk menghilangkan semua kehidupan dunia Kimberly Feodora.
Apa yang harus dia lakukan sekarang hanya satu.
Bertahan sampai akhir menjadi Winter Benjamin dan tidak akan membiarkan siapapun orang tahu bahwa jiwa yang berada di dalam tubuh Winter adalah Kimberly Feodora.
Mata Winter bergetar bersama dengan air mata yang terjatuh membasahi pipinya, Winter meletakan bunga itu di atas rumput hijau yang terawat dengan baik.
Dengan lekat dan napas tersendat-sendat, dia menatap makam itu, bibirnya gemetar kesulitan untuk berbicara. Tangan Winter gemetar mengusap rumput yang tumbuh di atas makam Kimberly Feodora, dia tertunduk kembali menjatuhkan air matanya.
“Aku tidak akan melangkah di jalan yang sama seperti dulu. Akan ku nikmati waktu yang Tuhan berikan kepadaku sebagai manusia biasa, bukan lagi seorang bintang.” Bisik Winter dengan sulit.
Beberapa kali Winter harus mengatur napasnya untuk kembali bisa berbicara.
“Aku akan bertahan sampai akhir sebagai Winter Benjamin. Aku bersumpah, tidak akan mengakhiri hidupku lagi meski seluruh dunia membenciku, hanya Tuhan yang boleh mengakhiri hidupku.” Sumpah seorang Winter kepada dirinya sendiri dan kepada Tuhan yang menjadi saksi hidupnya dalam keadaan apapun.
Winter mengangkat wajahnya perlahan dan melihat batu nisan di hadapannya dengan penuh air mata. Gadis itu perlahan menangis tidak dapat menyembunyikan perasaannya lagi yang sudah lama dia tahan.
Cukup lama dia menangis dan bersimpuh di situ dengan keadaan hati yang berkecamuk tidak tahu bagaimana untuk mengungkapkan isi hatinya lebih jauh lagi.
Winter mengusap air matanya dengan punggung tangan, dengan berat dia kembali berdiri dan membuang napasnya bersamaan dengan setumpuk beban yang kini harus dia tinggalkan bersama dengan tempat terakhir raga Kimberly Feodora bersemayam.
“Selamat tinggal Kimberly.” Bisik Winter yang kembali menjatuhkan air matanya lagi. Dengan lemah Winter berbalik dan segera pergi meninggalkan makam Kimberly.
Sesaat Winter harus melihat ke belakang lagi, melihat makam Kimberly yang kini sudah jauh di depan matanya.
Winter kembali berbalik dan segera masuk ke dalam mobilnya.
Baru puluhan menit Winter pergi, kini makam Kimberly Feodora kembali kedatangan tamu yang ingin bertemu dengannya.
Sore yang cerah terlihat sangat indah dan terasa hangat menciptakan bayangan pergerakan lembut seseorang yang bergerak mendekati makam Kimberly. Bayangan itu bergerak di atas bebatuan jalan.
Rumput-rumput bergerak di terpa angin membuat bunga dandelion berterbangan di udara dan di bawah langit yang cerah, bunga-bunga yang terbang itu seakan menyambut kedatangannya yang sering datang.
Bayangan itu terhenti ketika dia sudah berada di depan makam Kimberly.
Sebuah tangan menggenggam seikat bunga mawar putih bersimpul biru dengan dengan jumlah daun enam tangkai, ujung tangkai itu basah dan beraroma mandarin kesukaan Kimberly.
Tangan itu menjatuhkan genggaman tangannya dari bunga yang dia bawa dan membuat bunga itu terjatuh di atas rerumputan.
Manik matanya yang kekuningan terkena sinar matahari sore terlihat cerah dan tajam, matanya yang indah itu bergerak melihat bunga yang di bawanya sama dengan bunga yang ada di atas makam Kimberly.
Mata yang indah dan cerah itu langsung berkaca-kaca..
Tangannya yang gemetar langsung menyentuh dadanya, merasakan detak jantungnya berdegup begitu cepat merasakan sesuatu yang hilang seperti kembali.
“Kim” Panggil Marius nyaris tidak terdengar.
Dunia Marius terasa seperti berhenti sejenak.
Mata Marius bergerak cepat mengedar melihat ke sekitar mencari-cari keberadaan Kimberly, tubuhnya repleks berdiri tidak mempedulikan kenyataan bahwa kedua kakinya sudah tidak bisa berjalan dan berlari seperti dulu. Tubuh Marius terjatuh dari kursi rodanya.
Tubuh Marius luruh tidak bertenaga terjatuh ke rerumputan, jantungnya berdetak begitu cepat dengan pandangan mengedar melihat ke sekitar seakan mencari sosok Kimberly, wanita yang di cintainya dengan setitik harapan bahwa dia dapat melihatnya kembali di dunia nyata.
Tubuh Marius terbaring di antara rerumputan dan bunga-bunga dandelion yang berterbangan.
Bibir Marius terbuka dan bergetar, matanya yang tengah mencari-cari keberadaan Kimberly kini terpaku, melihat pemandangan menyedihkan di hadapannnya.
Pria itu melihat makam Kimberly Feodora. Tempat bersemayamnya tubuh wanita yang dia cintai sejak tiga tahun yang lalu.
Makam itu membuat Marius yang kembali tersadar bahwa Kimberly sudah tidak ada.
Marius menelan pahit sebuah kenyataan yang selalu tidak pernah bisa dia terima dalam hidupnya. Marius masih kesulitan menerima kenyataan bahwa kini hidupnya tanpa Kimberly.
Beberapa kali Marius harus menetralkan napasnya sebelum akhirnya memiliki kekuatan untuk duduk di sisi makam Kimberly dan mengambil bunga yang di tinggalkan seseorang di atas makam itu.
Air mata Marius luruh seketika, mencium aroma yang begitu selalu melekat di kepalanya tentang Kimberly dan dunianya yang hanya Marius dan Kimberly tahu.
Tentang kenangan indah dan cinta yang mereka bangun, di hati mereka masing-masing.
Marius memejamkan matanya bersama dengan air mata yang kembali terjatuh terjatuh di antara bunga itu.
Aroma itu membuat Marius merasakan rasa di dadanya begitu sempurna tidak pernah hilang sedikitpun meski Kimberly sudah pergi meninggalkan dirinya.
Apapun tentang Kimberly tidak pernah Marius lupakan, semuanya masih sempurna tersimpan di kepala dan hatinya meski tubuh Kimberly sudah tidak ada dan hanya meninggalkan kenangan yang kini menjadi racun di dalam hidup Marius.
Kenangan Kimberly menjerat kehidupan yang di jalani Marius.
Cinta membuat Marius menjadikan Kimberly dunianya.
Ketika dunia Marius hilang, Marius merasa tidak hidup lagi.
Marius kembali membuka matanya, tangannya gemetar melihat simpul kesukaan Kimberly sangat sama dengan simpul yang Marius buat.
Tidak ada yang tahu kesukaan Kimberly yang sesungguhnya dan duniannya yang sebenarnya. Hanya Kimberly dan Marius yang tahu.
Jika ada orang lain yang mengetahuinya, lantas siapa orang itu?.
“Kim, kau sudah berjanji bahwa hanya aku yang tahu tentang duniamu yang sesungguhnya. Kau tidak mengingkarinya kan?” tanya Marius memandangi nisan Kimberly dengan mata nanar tidak dapat menyembunyikan luka, kerinduan dan kesedihan yang harus dia jalani setiap detiknya setelah kepergian Kimberly.
Marius membuang mukanya dan mengusap air matanya yang kembali terjatuh dari sudut matanya. “Kau sudah ingkar janji dengan meninggalkan begitu saja. Apa kau mengingkari janjimu yang lain kepadaku?.” Tanya Marius terdengar sedih.
“Kenapa kau membagi rahasiamu kepada orang lain?.” Tanya Marius lagi pada kesunyian.
“Aku masih menderita karena kau pergi begitu saja tanpa memikirkanku.” Bisik Marius memberitahu kesunyian lagi.
Marius membuang napasnya dengan berat, bibirnya mengatup kuat tidak berkata-kata lagi. Pria itu melihat kearah barat, menatap langit sore yang kekuningan.
Malam akan segera tiba, kesedihan akan kembali menjerat Marius lagi hingga esok pagi.
Sama seperti malam-malam sebelumnya.
Hembusan angin yang lembut seperti sebuah bisikan yang menghibur hati Marius, pria itu menatap makam Kimberly yang berada di sampingnya. “Tolong datanglah ke dalam mimpiku, satu kali saja. aku merindukanmu Kim.”
***
“Vincent, apa kau merasakannya?.” Tanya Benjamin dengan serius.
Vincent membulak-balikan document dan membacanya dengan teliti, “Apa maksud Ayah?.” Tanya balik Vincent tampak acuh.
“Winter, dia sudah berubah.”
Vincent langsung menutup document di tangannya. Tanpa perlu Benjamin katakan sekalipun, Vincent sudah bisa merasakannya.
Cukup lama Vincent terdiam, pria itu mengingat banyak hal mengenai perubahan Winter yang sudah terlalu jauh bagi Vincent. Meski dia memakluminya, namun perubahan Winter membuat Vincent merasa sedikit asing dengan adiknya.
Vincent sangat bahagia dengan Winter yang berubah, dia berpikir bahwa adiknya akan kembali menjadi Winter yang ceria penuh dengan kebahagiaan dan rasa percaya diri seperti waktu kecil.
Akan tetapi, perubahan Winter melampaui apa yang Vincent harapkan.
Perubahan adiknya itu perlahan menjadi perhatian yang serius Vincent, perhatian serius Vincent terjadi usai mengetahui jika Winter sudah sudah tidak lagi memiliki trauma dengan air, Winter tidak lagi tergantung kepada Paula.
Dua hal yang sangat mustahil di lakukan Winter itu membuat Vincent kian bertanya-tanya apa yang sudah membuat adiknya berubah.
Trauma yang sangat besar dan kuat melekat di kehidupan Winter yang membuat dia tidak mudah menjalani kehidupan normal seperti gadis-gadis remaja lainnya.
Winter tidak dapat berenang, bahkan dia akan histeris dan pingsan karena trauma. Beberapa kali psikolog mencoba menanganinya, namun tidak berhasil, Vincent terlalu terkejut saat mengetahui tiba-tiba Winter tidak takut air dan lancar berenang.
Vincent sampai harus membawa Winter kembali ke psikolog sepulang dari liburannya, Vincent tidak dapat menahan diri untuk memastikan bahwa adiknya baik-baik saja.
Sebuah keajaiban bagi Vincent saat dokter mengatakan bahwa Winter baik-baik saja.
Perubahan Winter kian membuat Vincent harus memperhatikannya, perubahan Winter memang membahagiakan Vincent, namun di sisi lain dia juga khawatir bahwa perlahan ingatan Winter mengenai kecelakaan bersama ibunya akan kembali.
Vincent sudah menempatkan Nai sebagai pengawal pribadi Winter. Laporan Nai mengenai semua aktivitas Winter tidak menunjukan tanda-tanda bahwa adiknya melakukan sesuatu yang buruk. Justru Winter menjadi lebih baik, bahkan memiliki inisiatif sendiri untuk belajar bisnis dari Vincent maupun ayah mereka.
“Kau merasakannya kan Vincent?.” Tanya Benjamin lagi terlihat penasaran dan bertanya-tanya apakah apa ada di pikirannya sama dengan Vincent.
Benjamin menjadi bahagia sekaligus tidak tenang karena perubahan puterinya.
“Ya, aku merasakannya.” Jawab Vincent dengan serius. “Aku merasakannya sejak saat pertama kali Winter bangun dari kesadarannya, gaya bicaranya langsung berubah. Aksen bicaranya adalah aksen orang-orang Rusia.”
“Tidak hanya aksen bicaranya. Sikapnya juga benar-benar berubah. Gaya hidupnya berubah.”
“Tapi aku lebih suka Winter yang sekarang. Kini, dia bisa menikmati hidupnya untuk dirinya sendiri, bukan lagi menjadi boneka Paula. Kita tidak perlu repot-repot lagi menasihati dia lagi bahwa pergaulannya dengan Paula sangat kacau.” Jawab Vincent dengan jujur, Vincent kembali melihat document di tangannya dan membacanya.
Mendengarkan nama Paula di sebutkan, Benjamin langsung teringat permintaan Winter beberapa jam yang lalu. Benjamin segera menelpon asistannya untuk membicarakannya kepada pihak keuangan agar menghentikan biaya jajan Paula di setiap minggunya.
Apa yang di katakan Vincent mungkin ada benarnya bagi Benjamin.
Benjamin tidak perlu risau dengan perubahan Winter selama itu selalu mengarah pada hal-hal yang baik.
Tidak mudah mengubah pandangan seseorang bila hatinya dan pikirannya tidak sejalan dengan apa yang di harapkan orang lain.
Sudah lama Benjamin berusaha mengubah sosok Winter, puterinya. Winter selalu menolaknya karena alasan tidak suka. Kini, Winter menjalani kehidupan yang Benjamin harapkan dari puterinya.
Bedanya, kini Winter melakukannya karena hatinya, bukan lagi sebuah pemaksaan.
“Vincent, minggu depan Winter ulang tahun.”
Vincent kembali menutup document di tangannya, pria itu langsung berdiri dan tersenyum lebar. “Aku akan menanyakan apa dia mau di rayakan atau tidak.”
To Be Continue...