"Aku lupa bayar taksi tadi." Ringan sekali nada bicara Aaliyah, tak merasa bersalah menelepon orang di tengah malam, hanya karena lupa bayar.
"Hhh ... aku kira ada apa."
Gafi menarik nafas lega.
"Tahu darimana nomerku?" Tanya Gafi.
"Apa yang aku tidak tahu tentang kamu, Om Tua? Selain yang ada di dalam celana kamu." Aaliyah mengatakan itu tanpa tertawa.
"Eh!" Mata Gafi melebar mendengar ucapan Aaliyah yang tidak sopan menurutnya.
"Selamat tidur Om Tua. Tenang saja, nanti pasti aku bayar ongkos taksinya."
Gafi menatap layar ponsel. Gafi belum bisa menilai seperti apa sifat Aaliyah sebenarnya. Gafi juga tidak tahu, akan seperti apa hubungan mereka setelah menikah. Gafi meletakkan ponsel di samping bantal. Lalu ia berbaring miring menghadap istrinya. Gafi meraih jemari istrinya. Dikecup jemari Aulia, lalu diletakkan ke d**a telapak tangan istrinya.
Gafi memejamkan mata.
'Ya Allah, aku mohon jaga hatiku. Jaga hatiku hanya untuk istriku. Aku mohon, lancarkan, mudahkan, apapun urusanku, aamiin.'
Gafi berusaha tidur, tapi tidak bisa. Matanya terpejam, pikirannya terus bekerja. Gafi masih penasaran kenapa dirinya yang dipilih untuk menanamkan benih di rahim putri kesayangan bosnya. Baginya ini seperti tidak masuk akal.
'Tapi, apa yang tidak mungkin bagi Allah. Berpikir baik, Gafi. Mungkin ini cara Allah untuk memberi kesembuhan pada istrimu. Dan memberi bahagia pada kedua ibumu. Tapi bagaimana aku harus menjalani pernikahan ini nantinya. Ini memang hanya pernikahan sementara. Namun Aaliyah sah menjadi istriku. Selain kewajiban yang harus aku lakukan di atas perjanjian, aku juga punya kewajiban untuk membimbing dia. Haruskah kewajiban itu aku abaikan saja? Apakah aku tidak akan berdosa? Dosa? Bukankah pernikahan dengan perjanjian juga sebuah dosa? Hhh ... entahlah. Yang akan terjadi biar terjadi. Berpikir lebih lelah daripada bekerja dengan menguras tenaga.'
Gafi membawa jemari Aulia ke bibirnya lagi. Lalu kepalanya menoleh untuk menatap wajah istrinya.
"Aku akan selalu mencintaimu, Sayang. Kemarin, hari ini, selamanya. Kamu harus punya semangat untuk sembuh. Kami rindu senyum, dan tawamu. Kami rindu binar di matamu. Jalan untuk kesembuhan sudah terbuka, tinggal semangat dari dirimu sendiri saja. Aku mencintaimu' Aulia Almira."
Gafi mengecup telapak tangan Aulia dengan mata terpejam. Dua bulir bening meleleh di sudut matanya. Merasa bersalah karena sekian tahun tak mampu mengobati istrinya.
*
Pagi hari saat sarapan.
Gafi menceritakan tentang kejadian semalam pada kedua ibu.
"Jadi Non Aaliyah itu naik mobil yang kamu bawa?" Tanya Bu Fatma.
"Iya, Bu. Dia tanya, sudah punya jawaban belum, aku jawab sudah. Terus kata dia, aku langsung bertemu orang tuanya saja untuk menyampaikan jawaban. Sampai ke rumahnya, aku diajak masuk. Aku katakan keputusanku, setelah itu aku pamit pulang. Diberi rantang itu oleh Bu Alda."
"Mereka orang baik ya. Sudah kaya raya, baik, dan sopan lagi." Bu Dini memuji keluarga Hutama.
Gafi menundukkan kepala, entah bagaimana penilaian kedua ibunya, kalau tahu sifat Aaliyah yang suka bicara seenaknya. Dan sering berpenampilan yang mempertontonkan lekuk tubuhnya.
Saat datang ke rumahnya kemarin, Aaliyah memang berpakaian sopan, dan tidak bicara. Sangat berbeda dengan Aaliyah yang Gafi temui.
"Putrinya itu juga kelihatan kalem, cantik sekali. Mirip boneka itu, apa namanya? Boneka yang cantik itu." Bu Dini bingung mendeskripsikan kecantikan Aaliyah.
"Barbie, Dek."
"Nah iya, itu. Wajahnya seperti bule. Memangnya ada keturunan bule ya, Fi?"
"Aku tidak tahu, Bu. Mungkin efek riasan saja dia jadi begitu."
"Umurnya berapa, Fi?" Tanya Bu Fatma.
"Aku juga tidak tahu, Bu." Gafi enggan membicarakan panjang' lebar tentang Aaliyah.
"Semoga Non Aaliyah itu cantik juga hatinya. Tidak macam-macam. Tidak mengingkari perjanjian."
"Mengingkari perjanjian bagaimana, Mbak."
"Ya, perjanjiannya mereka menikah hanya sampai Non Aaliyah hamil. Semoga saja dia tidak punya keinginan untuk merebut Gafi dari Aulia." Harap Bu Fatma.
"Astaghfirullah hal adzim, Bu. Anakmu ini siapa? Cuma karyawan pabrik orang tua dia. Dia bisa menemukan suami yang lebih baik dari aku, Bu." Gafi terkejut dengan pemikiran ibunya. Yang baginya sangat mustahil terjadi.
"Fi, ingat, cinta itu kadang buta. Seringkali terus bersama bisa menumbuhkan rasa nyaman. Rasa nyaman itu bisa jadi kadarnya di atas cinta, Fi. Kemudian tumbuh rasa ingin memiliki. Kamu memang bukan pria kaya, tapi kamu memiliki kriteria yang diinginkan wanita, selain kaya tadi."
"Kenapa Ibu khawatir dia jatuh cinta padaku. Tapi, tidak khawatir aku jatuh cinta padanya?" Tanya Gafi.
"Entahlah, Fi. Kemungkinan itu bisa juga terjadi. Tapi Ibu percaya, kamu pasti tahu apa yang terbaik untuk kita semua. Kamu pasti tidak akan lupa, untuk apa kamu bersedia menikahi Non Aaliyah, yaitu untuk kesembuhan Aulia. Ibu berharap, saat Aulia sembuh, kamu tetap jadi miliknya seorang saja." Suara Bu Fatma bergetar saat bicara. Bu Fatma tidak ingin Gafi mengkhianati Aulia.
Gafi, dan Bu Dini terdiam mendengar tutur kata Bu Fatma. Bu Dini terharu, merasakan kasih sayang Bu Fatma pada Aulia. Menantu yang tidak bisa dibandingkan dengan Aaliyah, calon menantu baru Bu Fatma. Sedang Gafi terdiam. Menimbang kesiapan dirinya, apakah mampu bertahan dengan satu cinta, ataukah akan mendua hati nantinya.
'Ya Allah, aku mohon jaga cintaku hanya untuk Aulia, aamiin.'
*
Sore ini, setelah pulang bekerja, Gafi tidak menarik taksi. Ia mulai mengurus berkas untuk menikah. Ia perlu surat pengantar dari RT. RT di tempat tinggalnya adalah Pak Haji Anang. Agak sungkan sebenarnya Gafi meminta surat pengantar. Karena artinya ia akan berpoligami, dan pasti akan dianggap suami yang tidak setia. Namun, ia harus bermuka tebal di hadapan Pak Haji Anang. Karena setiap keputusan pasti ada risiko yang harus ditanggung, dan menimbulkan masalah yang harus dihadapi.
Gafi memarkir motor di halaman luas rumah Pak Haji Anang. Halaman yang sejuk, karena banyaknya pepohonan. Pak Haji Anang tengah duduk di teras. Beliau berdiri dari duduk saat melihat kedatangan Gafi. Senyum Pak Haji Anang menyambut Gafi. Gafi bersyukur, banyak orang baik di sekitarnya, dan belum pernah bertemu orang jahat dalam hidupnya.
"Assalamualaikum, Pak Haji." Gafi mengulurkan tangan. Dicium punggung tangan orang tua baik hati itu.
"Waalaikum salam. Duduk, Fi." Sambut ramah Pak Haji Anang.
"Terima kasih, Pak Haji." Gafi duduk di kursi teras, Pak Haji Anang duduk di seberangnya.
"Ada apa, Fi? Tidak narik taksi hari ini?"
"Libur, Pak Haji. Karena ada yang harus diurus. Saya butuh bantuan Pak Haji." Wajah Gafi menunduk. Merasa malu untuk menyampaikan maksud kedatangannya, untuk meminta surat pengantar agar bisa mengurus berkas nikah.
"Katakan saja, Fi. Jangan sungkan, kalau bisa pasti aku bantu." Kalimat yang sama setiap Gafi butuh bantuan, ke luar dari sela bibir Pak Haji Anang.
"Begini, Pak Haji. Saya ... engh, saya ingin minta surat pengantar," ujar Gafi meragu.
"Surat pengantar untuk apa, Fi?"
"Saya ingin menikah lagi, Pak Haji."
"Alhamdulillah."
Gafi mengangkat wajah mendengar sahutan Pak Haji Anang saat ia menyampaikan maksud kedatangannya.
Pak Haji Anang tertawa melihat tatapan terkejut Gafi.
"Jangan salah paham, Fi. Kenapa aku bersyukur. Aku kasihan melihat kamu, Fi. Kamu masih muda. Tidak ada salahnya menikah lagi, saat istrimu tidak lagi bisa menjalankan kewajibannya."
"Iya, Pak Haji."
"Dapat gadis mana, Fi?"
"Janda, Pak Haji."
"Tidak apa janda, Fi, asal bisa mengerti keadaan kamu. Orang mana?"
Gafi menyebut daerah rumah Aaliyah.
"Tidak terlalu jauh ya. Bertemu di mana?" Pak Haji Anang jadi tambah penasaran dengan sosok calon istri Gafi.
"Iya, Pak Haji. Dia beberapa kali naik taksi online saya. Dia tahu saya sudah memiliki istri. Saya tidak pernah berniat untuk poligami, tapi kedua ibu mendukung saya untuk menikah lagi."
"Tidak salah jika kamu menikah lagi. Yang penting kamu tetap bertanggung jawab pada Aulia, dan kedua ibumu."
"Iya, Pak Haji."
"Aku ke dalam dulu ya, Fi. Mengambil surat pengantar."
"Iya, Pak Haji. Terima kasih."
Pak Haji Anang masuk ke dalam. Gafi menarik nafas lega. Hal yang ia takutkan tidak terjadi. Pak Haji Anang justru mendukung ia menikah lagi.
*