Gafi bangkit dari duduknya. Ia berdiri menanti Bu Alda, dan Pak Arifin mendekati.
"Selamat malam, Pak." Gafi mengulurkan tangan pada Pak Arifin, disambut hangat oleh bosnya yang terkenal ramah di perusahaan, meski tak banyak bicara. Lalu Gafi juga menyalami Bu Alda.
"Selamat malam, Bu."
"Selamat malam. Silakan duduk, Mas Gafi."
"Terima kasih, Bu."
Gafi duduk, Aaliyah ke luar dari dalam bersama bibi. Bibi meletakkan teh untuk Gafi di atas meja, sedang Aaliyah duduk di antara kedua orang tuanya. Gafi bisa melihat, kalau Aaliyah manja kepada ibu, dan bapaknya.
"Minum dulu, Mas Gafi. Sebelum menyampaikan apa keputusanmu." Bu Alda menunjuk teh untuk Gafi.
"Iya, Bu. Saya minum, Pak." Gafi merasa sangat sungkan berada di hadapan bos besarnya.
"Silakan." Senyum Pak Arifin membuat perasaan Gafi sedikit tenang. Setelah Gafi meletakkan cangkir teh kembali ke atas meja.
"Silakan sampaikan keputusan kamu. Apapun yang kamu putuskan, akan kami terima dengan lapang d**a. Kami ingin keikhlasan kamu, Mas Gafi. Jangan ragu untuk menolak, karena penolakan kamu tidak akan mempengaruhi pekerjaan di perusahaan. Kami bisa membedakan, mana urusan pekerjaan, mana urusan pribadi. Begitu ya, Pi?"
"Iya, Mi?" Pak Arifin membenarkan ucapan istrinya.
"Terima kasih, Pak, dan Ibu, juga Non, sudah memberi kepercayaan yang begitu besar pada saya. Setelah berpikir, dan mendengarkan pendapat dari kedua ibu saya. Saya putuskan untuk menerima."
Pak Arifin, Bu Alda menarik nafas lega. Namun Aaliyah terlihat biasa saja.
"Terima kasih, karena Mas Gafi bersedia membantu kami. Kami yang akan mengatur persiapan pernikahan, agar Mas Gafi tidak repot," ujar Bu Alda. Bu Alda yang banyak bicara, karena Pak Arifin memang pendiam.
"Terima kasih, Bu. Saya akan siapkan berkas dari pihak saya nanti."
"Ya, nanti kalau sudah siap berkasnya kabari saja Aaliyah. Biar berkasnya bisa diambil ke rumah Mas Gafi."
"Baik, Bu. Terima kasih."
"Minum dulu, Mas. Apa sudah makan malam?"
"Sudah, Bu."
"Tunggu sebentar ya, jangan pergi dulu."
"Iya, Bu."
Bu Alda bangun dari duduknya. Lalu masuk ke dalam.
"Saya pamit ke kamar dulu. Agak kurang enak badan."
"Silakan, Pak."
"Kalian ngobrol saja berdua. Saya rasa, kalian juga butuh pendekatan, meski ini hanya pernikahan sementara."
"Iya, Pak."
Pak Arifin menyusui masuk ke dalam. Tinggal Gafi berdua dengan Aaliyah. Gafi sungguh terharu dengan sikap baik kedua calon mertuanya.
"Melamun apa?"
Gafi terkejut dengan pertanyaan tiba-tiba dari Aaliyah.
"Sudah membayangkan malam pertama ya?" Tanya Aaliyah sinis.
"Hah!" Gafi melongo mendengar tudingan Aaliyah padanya.
"Tidak!"
"Aku dengar sudah belasan tahun Tante sakit."
"Iya."
"Apa selama itu tidak menyentuh wanita lain?"
"Tidak!"
"Hmm, bagaimana cara mengatasi kebutuhan biologis? Pakai sabun?"
"Apa! Tidak!"
"Lalu?"
"Aku terlalu sibuk bekerja, sehingga tidak ada waktu untuk memikirkan hal seperti itu."
"Aduh! Jangan-jangan Om sudah tidak punya nafsu. Bagaimana bisa menanamkan benih di rahimku?"
"Itu tugas kamu, bagaimana caranya agar aku punya nafsu terhadap kamu."
Gafi merasa kesal dengan pertanyaan Aaliyah yang terkesan melecehkannya. Aaliyah sungguh berbeda dengan ibunya yang sopan, dan bapaknya yang ramah, meski pendiam.
"Nah ini bawa pulang ya, Mas Gafi. Ini tempatnya tidak usah dikembalikan."
Bu Alda ke luar dengan rantang empat susun di tangannya. Gafi berdiri, dan menerima yang disodorkan Bu Alda.
"Jadi merepotkan, Bu."
"Tidak sama sekali."
"Kalau begitu saya pamit, Bu."
"Iya, silakan. Titip salam untuk yang di rumah ya."
"Iya, Bu. Assalamualaikum."
"Waalaikum salam."
Gafi ke luar diikuti Bu Alda, dan Aaliyah.
"Assalamualaikum." Gafi kembali memberi salam.
"Waalaikum salam."
Gafi masuk ke mobil. Diletakkan rantang di bawah. Lalu dibawa mobilnya ke luar dari halaman rumah besar dua lantai itu. Gafi menarik nafas lega. Satu urusannya sudah selesai. Yaitu memberi jawaban pada keluarga Hutama.
*
Setelah mengantar mobil Pak Haji Agus, Gafi segera pulang. Dibawa rantang bersamanya.
Tiba di rumah, lampu ruang tamu masih menyala, itu berarti ibunya belum tidur. Gafi mematikan mesin motornya. Belum lagi mengetuk pintu, pintu sudah terbuka lebih dulu. Bu Dini yang membukakan pintu.
"Kok belum tidur, Bu? Ibu masih harus banyak istirahat."
"Ibu cuma duduk sambil melipat pakaian saja. Bukan pekerjaan berat."
"Oh, ini ada titipan dari Bu Alda, titip salam juga untuk Ibu berdua."
"Kamu dari rumahnya, Fi?"
Bu Fatma yang di dalam mendengar pembicaraan Gafi, dan Bu Dini. Sehingga ke luar dari ruang dalam.
"Iya, Bu. Kebetulan tadi Aaliyah jadi penumpang taksi online yang aku bawa."
"Masukkan motor dulu. Kita bicarakan nanti saja. Gafi harus istirahat dulu," ujar Bu Dini.
"Iya, benar," sahut Bu Fatma.
"Aku masukkan motor, mandi, setelah itu aku jelaskan semua pada ibu-ibuku tersayang ini."
Bu Dini, dan Bu Fatma saling tatap.
"Ayo ke dalam, Dek."
"Iya, Mbak."
Dua ibu masuk ke ruang dalam. Gafi memasukkan motornya. Lalu mengunci pintu. Setelah itu ia masuk ke dalam.
"Ini boleh dibuka, Fi?" Bu Fatma menunjuk rantang yang diletakkan di atas meja makan.
"Buka saja, Bu. Kalau Ibu ingin makan isinya, makan saja. Aku ke kamar dulu."
"Iya." Dua Ibu menjawab bersamaan.
Gafi masuk ke dalam kamar. Ditatap istrinya yang tertidur. Gafi berlutut. Diusap lembut pipi istrinya. Kadang Gafi merasa bersalah, karena tidak memiliki banyak waktu untuk memperhatikan istrinya. Waktunya tersita untuk mencari nafkah. Waktu libur dari pabrik, ia pakai untuk menarik taksi online. Demi rupiah agar dapur tetap mengebul, dan tak perlu hutang sana sini demi kebutuhan sehari-hari.
Gafi membungkuk, dikecup lembut bibir istrinya.
"Aku mencintaimu, maafkan aku karena selama belum bisa memberi pengobatan, dan kehidupan yang layak untukmu. Hanya begini yang bisa aku lakukan untukmu, Sayang."
Sekali lagi Gafi mengecup bibir istrinya, sebelum ia berdiri, mengambil handuk, lalu ke luar kamar untuk membersihkan diri di kamar mandi.
Saat Gafi ke luar kamar, dua Ibu tengah duduk di meja makan.
"Ini isi rantangnya, Fi." Bu Fatma menunjuk bagian rantang empat tingkat yang berjejer di atas meja. Gafi melongok isi rantang.
"Ini kari daging. Ini telur balado, ini sambal goreng kentang hati sapi. Ini acar sayur."
"Ibu berdua makan saja."
"Kami menunggu kamu saja, Fi. Kita makan sama-sama. Pakaian kotornya letakkan di keranjang saja, tidak usah dicuci," ujar Bu Fatma.
"Iya, Bu."
Gafi menuju kamar mandi. Ia tidak mandi, hanya membersihkan beberapa bagian tubuhnya. Tak lama ia ke luar kamar mandi, masuk ke kamar untuk berganti pakaian. Kemudian duduk di ruang makan. Makan bersama kedua ibu yang ia cintai.
Selesai makan, dan menggosok gigi.
"Ceritanya besok saja, Fi. Sebaiknya kamu tidur," ucap Bu Dini.
"Ibu berdua juga sebaiknya istirahat."
"Kamu ke kamar dulu, Dek. Kamu belum sehat betul. Cucian piringnya biar aku yang cuci."
"Cuci piringnya besok saja, Bu. Ayo Ibu berdua masuk kamar." Gafi merengkuh bahu kedua ibunya menuju kamar.
"Tidur ya, Bu."
Gafi menutup pintu kamar, lalu ia memeriksa kompor, kran air, jendela, dan pintu. Setelah memeriksa semua, Gafi masuk ke dalam kamarnya.
Gafi tersenyum menatap Aulia. Harapan hadir di dalam dirinya. Gafi yakin, dengan pengobatan terbaik, Aulia pasti akan sembuh.
'Maafkan aku jika jalan ini yang harus aku ambil, Sayang. Bukan niat hatiku untuk mengkhianati cinta kita. Tapi, aku ingin kamu sembuh. Mungkin ini jalan dari Allah, agar kami bisa melihat senyum, dan mendengar tawamu lagi. Aku rindu binar matamu yang penuh cinta. Semoga kamu mengerti nantinya."
Gafi mengecup bibir Aulia. Lalu ia berbaring di sebelah istrinya. Di atas kasur yang mulai hilang kenyamanannya. Baru saja mata Gafi terpejam, saat ponselnya berbunyi. Gafi bangun, diambil ponsel dari dalam tas. Nomer tidak dikenal yang memanggil. Tapi tetap ia terima panggilan itu.
"Halo." Gafi lebih dulu menyapa.
"Om Tua!" Sebutan yang sangat ia kenal siapa orangnya.
"Aaliyah, ada apa?"
Gafi sungguh terkejut di telepon Aaliyah hampir tengah malam begini.
*