PART. 1 GAFI AL GHIFARI
DILAMAR JANDA by Rustina Zahra
Gafi Al Ghifari.
Pria empat puluh tahun itu menatap uang seratus ribu di tangannya.
Ia baru saja mengantarkan penumpang ke tempat tujuan. Biayanya hanya lima puluh lima ribu saja, tapi si wanita tak mau diberi kembalian.
"Ambil saja."
Masih terngiang suara bindeng si wanita. Gafi tahu, wanita itu menangis sepanjang perjalanan. Entah apa yang membuatnya menangis, Gafi tak ada rasa penasaran, karena ia bukan orang yang suka ikut campur urusan orang. Masalah hidupnya sendiri sudah sangat beragam.
Gafi membawa mobil pulang. Ia antar ke pemilik mobil. Ia tak berani mengambil penumpang lebih dari jam sepuluh malam, karena yang dibawa mobil orang lain.
Sebelum kembali ke rumah, ia membeli roti bakar untuk cemilan penghuni rumah. Di rumah yang ia sewa satu juta sebulan dengan ukuran 5x8, ada Aulia, istrinya. Usia Aulia tiga puluh tujuh tahun. Ada Andini, ibu mertuanya, usia beliau lima puluh lima tahun. Ada juga ibunya, Fatma, usia beliau enam puluh tahun. Gafi, anak sulung. Fina, adik perempuannya sudah menikah, dan dibawa ke Palangkaraya oleh suaminya. Sedang Aulia memiliki adik lelaki. Ardi namanya. Ardi, dan istrinya ikut mengadu nasib ke Palangkaraya bersama adik Gafi.
Gafi, dan Aulia sudah menikah selama lima belas tahun. Tiga belas tahun lalu Aulia hamil. Kandungannya lemah, karena itu Gafi meminta Aulia berhenti bekerja. Mereka berdua bekerja di sebuah perusahaan furniture, Gafi dibagian gudang, sedang Aulia sebagai staff administrasi. Kehamilan Aulia berjalan berat baginya. Sampai waktu melahirkan tiba, Aulia harus menjalani operasi. Pasca operasi, Aulia koma selama dua hari. Bayi mereka meninggal setelah berusia empat hari. Hal itu membuat keadaan Aulia semakin memburuk. Aulia mengalami kelumpuhan, ia tak lagi bisa bergerak ataupun bicara, itu terjadi sampai sekarang. Mereka sudah mencoba berbagai pengobatan. Namun belum ada hasilnya.
Beruntung, ibu Aulia, dan ibu Gafi selalu kompak. Mereka membuat warung gado-gado, dan gorengan di teras rumah sewaan. Mereka juga bekerja sama mengurus Aulia dengan sebaiknya. Kadang Gafi merasa bersalah, seharusnya kedua ibu bisa menikmati hari tua, tapi yang terjadi mereka harus ikut bekerja keras juga.
Tiga belas tahun ini, Gafi tetap setia pada Aulia. Meski ibu mertuanya sering mendesak agar Gafi menikah lagi, namun Gafi belum terbuka hatinya untuk menikah lagi. Sedang ibunya sendiri, tak pernah menuntut apa-apa dari dirinya.
Gafi tiba di rumah. Diketuk pintu dengan suara pelan.
"Assalamualaikum."
"Waalaikum salam."
Pintu terbuka, ibunya yang membukakan pintu. Mata ibunya terlihat merah. Gafi memasukkan motor ke dalam rumah.
"Ini roti bakar, Bu." Gafi menyerahkan bungkusan di tangan pada ibunya.
"Fi ...."
"Ada apa, Bu?" Gafi melihat gurat cemas di wajah ibunya.
"Dek Dini sakit."
"Ibu sakit? Sakit apa?"
"Iya. Perutnya sakit sekali. Kamu punya uang tidak buat ke dokter?" Tanya Bu Fatma bersuara nyaris berbisik. Meski mereka semua masuk asuransi kesehatan, namun malam begini, fasilitas kesehatan tempat mereka bisa berobat tutup.
"Ada, Bu." Kepala Gafi mengangguk.
"Bawa ke dokter ya. Pinjam angkot Pak Haji Anang, Fi. Tidak bisa kalau pakai motor, takut jatuh."
"Baik, Bu. Aulia bagaimana, Bu?"
"Dia sudah tidur. Cepat pergi sana."
"Baik, Bu. Assalamualaikum."
"Waalaikum salam."
Dengan berjalan kaki, Gafi segera ke rumah tetangga yang memiliki usaha angkot. Haji Anang memiliki dua buah angkot. Mereka sering meminjam angkot Pak Haji Anang, kalau ada keperluan. Tiba di rumah Haji Anang.
"Assalamualaikum, Pak Haji."
Haji Anang sedang duduk di teras, bersama anak lelakinya.
"Waalaikum salam. Masuk, Fi."
Gafi duduk di kursi teras.
"Maaf, Pak Haji. Saya mau pinjam angkot. Ibu sakit, harus dibawa ke rumah sakit."
"Sebentar ya, Fi. Aku ambilkan kuncinya."
"Terima kasih, Pak."
"Ibu yang mana sakit, Bang?"
"Bu Dini."
"Sakit apa, Bang?"
"Sakit perut. Belum tahu apa penyebabnya."
"Semoga cepat sembuh, Bang."
"Aamiin, terima kasih, Zi."
Pak Anang ke luar, Gafi bangkit dari duduknya.
"Ini kunci, dan STNK nya, Fi. Semoga ibumu cepat sembuh. Ini ibu yang mana, Fi?"
"Ibu mertua, Pak Haji. Terima kasih doanya, dan terima kasih dipinjami mobil."
"Sama-sama, Fi."
"Saya pergi dulu, Pak Haji, Fauzi. Assalamualaikum."
"Waalaikum salam."
Gafi masuk ke dalam angkot, lalu membawa angkot ke rumahnya. Tiba di rumah.
"Paksa ikut ke rumah sakit, Fi. Kalau tidak dipaksa tidak akan mau," bisik Bu Fatma. Bu Fatma memang tidak memberitahu Bu Dini, kalau akan dibawa ke rumah sakit.
Ditemani Bu Fatma, Gafi masuk ke dalam kamar di mana ibu, dan ibu mertuanya tidur berdua. Tampak Bu Dini merintih kesakitan.
"Ayo, Bu. Kita ke rumah sakit. Aku sudah pinjam angkot Pak Haji."
Gafi berlutut di sisi tempat tidur.
"Tidak usah, Fi. Sayang uangnya. Kita punya hal yang lebih penting."
"Bu, kesehatan ibu itu penting. Tidak ada yang lebih penting dari sehat, Bu. Lagipula kita tidak perlu bayar, Bu." bujuk Gafi.
Bu Dini mengusap matanya. Selalu terharu dengan sikap menantunya. Tak pernah mengeluh barang sedikit saja. Setia pada istrinya yang tak lagi bisa berbuat apa-apa. Tidak pernah membedakan antara ibu mertua, dan ibu kandungnya.
"Ayo, Dek. Kamu harus diperiksa, biar kita tahu kamu sakit apa. Urusan biaya, tidak usah dipikirkan. Toh, tidak bayar ini." Bu Fatma ikut membujuk.
"Maafkan aku ya, Mbak. Aku, dan Aulia jadi menyusahkan Mbak, dan Gafi." Bu Dini kembali menghapus air matanya.
"Jangan bicara begitu, Dek. Aulia juga puteriku, kamu adikku. Kita ini bukan orang lain. Kita sudah jadi keluarga, sejak Gafi menyebut nama Aulia di depan penghulu. Ayo, Dek. Ke rumah sakit ya. Jangan pikirkan yang lainnya. Fokus pada kesehatanmu saja dulu."
"Terima kasih, Mbak. Terima kasih, Fi."
"Sekalian siapkan baju ganti ya, Bu. Siapa tahu rawat inap, jadi nggak bolak balik."
"Semoga jangan, Fi. Kalau ibu rawat inap, siapa yang di rumah," ujar Bu Dini.
"Persiapan saja, Dek. Kamu siap-siap juga, Fi."
"Iya, Bu. Aku ke kamarku dulu."
Gafi menuju kamar tidurnya yang ada di sebelah kamar ibunya. Gafi membuka pintu, tampak tubuh kurus istrinya, yang nyaris tenggelam di atas kasur. Gafi naik ke atas kasur tanpa ranjang itu. Ia berlutut, lalu membungkuk dalam. Dikecup kening istrinya.
"Aku mencintaimu, Sayang."
Kalimat itu yang ia ucapkan, setidaknya dua kali dalam sehari. Saat ia bangun tidur, dan saat menjelang ia tidur. Meski Aulia tak bisa merespon ucapannya, tapi Gafi yakin, Aulia bisa merasakan kasih sayangnya.
Semua ini memang berat dijalani. Gafi hanya bisa ikhlas, sabar, dan terus berusaha dengan seluruh kemampuannya, agar kehidupan mereka tetap bisa berjalan.
Gafi bangkit dari berlutut, lalu turun dari atas kasur. Ia mengambil tas ransel, lalu memasukkan beberapa lembar pakaian, pakaian dalam, dan sarung ke dalam ransel. Hanya untuk antisipasi saja. Karena kalau ia lihat, ibu mertuanya sangat kesakitan, tentu bukan sakit perut biasa. Meski Gafi berharap, bukan sakit yang sulit untuk disembuhkan.
BERSAMBUNG