Seharusnya

607 Kata
“Hatiku seharusnya sudah mati sejak dahulu, tapi mengapa aku tetap merasa tersiksa di dalam sana?” * Kuredakan emosiku, kutahan getaran pada tubuhku dengan mengenggam erat kedua tanganku, lalu kutatap balik pantulan diriku yang terlihat pada dinding lift. Aku harus bersikap biasa saja, tapi sejak keluar dari apartemen milik Mike tadi tubuhku tetap tidak berhenti bergetar. Padahal aku sudah berjanji pada diri sendiri, kelas jika bertemu lagi dengannya, aku tak boleh bersikap lemah. Kutarik napas panjang sebelum keluar dari lift, karena tidak mau teman-temanku mendapatiku dalam keadaan seperti ini. Saat memasuki apartemenku sendiri, terlihat ruangan kosong yang menyambutku. Tidak ada suara. Sepertinya Jessi dan Abel belum pulang dari rumah sakit. Sedangkan Anna, aku yakin perempuan itu sedang berhibenasi di dalam kamarnya. Aku langsung menuju kamarku, menutup pintunya dan langsung terduduk di lantai. Kutopang kedua tanganku di atas lutut dan mengusap kedua pelipisku sambil bersandar di daun pintu. Rasanya sangat lelah dan juga marah. Kata-kata Mike masih terngiang jelas di telingaku. Aku tidak bisa membohongi diri sendiri lagi, bahwa aku ketakutan setelah mendengarkan ucapan Mike. Dan hal itu tidak kunjung berhenti meskipun aku sudah meremas kedua tanganku dengan kuat. Bahkan sekarang setelah sepuluh tahun, untuk pertama kalinya aku mengingat lagi tentang pertemuanku dengan Mike. Siang sedang terik saat itu. Matahari benar-benar menunjukkan keangkuhannya sebagai penguasa siang. Namun kendati demikian, aku tetap tidak bisa merasakannya karena aku sedang berada di ruangan faforitku di sekolah ini. Perpustakaan. Aku sedang mencari sebuah buku biologi di rak buku ketika tanpa sengaja ditabrak oleh sesuatu. Seseorang lebih tepatnya. Entah karena tubuhku yang lemah, benturan yang terlalu kuat atau tubuh seseorang itu yang terlalu keras, aku tidak yakin hal mana yang akhirnya menyebabkan aku mendarat di lantai. Aku mendongak hanya untuk mendapati wajah datar Mike yang sedang menatapku. Lelaki itu terkenal seantero sekolah. Dan tidak seorang pun yang berani membuat masalah dengannya. Termasuk aku. Hanya saja saat ini, bokongku berdenyut sakit. Begitu juga dengan tanganku yang masih menempel ke lantai perpustakaan karena refleks untuk menahan tubuhku. Aku ingin memarahinya, tapi langsung menciut saat matanya berubah tajam. Mike tidak mengatakan sepatah kata pun dan ia berlalu melewatiku. Dengan satu tangan yang di masukkan ke dalam kantong celana, ia pergi begitu saja tanpa permintaan maaf. Menjengkelkan. Seketika aku merasakan marah yang luar biasa. Bukan karena rasa sakitnya yang masih terasa, tapi karena sikap lelaki itu yang benar-benar membuat darah mendidih. Hanya saja, nyaliku tidak pernah sebesar yang aku kira. Dua hari berlalu setelah insiden itu. Aku pun sudah melupakan sepenuhnya, tapi kali ini aku kembali berurusan dengan Mike. Lelaki itu, entah bagaimana caranya ia bermain. Bola basket yang seharusnya ia lempar ke dalam ring, mendarat sempurna di kepalaku. Untuk hal yang satu ini, aku tidak sempat menatapnya karena kesadaranku lebih dulu hilang dibandingkan dengan bola yang sudah kembali menggelinding ke tengah lapangan. Aku baru bisa melihatnya saat mataku terbuka di ruang kesehatan sekolah. Mike sedang berdiri bersandar ke dinding dan satu tangannya tenggelam di dalam kantong celana. Matanya masih menatap tajam kepadaku. Saat tatapan kami bertemu, ia tetap tidak memiliki ekspresi. Dan sekali lagi, ia pergi begitu saja tanpa mengucapkan satu kata pun. Benar-benar menjengkelkan. Dia sudah menjengkelkan sejak pertama kali. Namun yang lebih menjengkelkan adalah aku. Karena telah melibatkan diri dengan orang seperti Mike. Hingga sekarang yang tersisa hanya penyesalan dan sedikit rasa yang sangat menyiksa. Aku memijit tulang di antara kedua mataku sambil menghela napas. Hatiku seharusnya sudah mati sejak dahulu, tapi entah mengapa aku tetap merasa tersiksa di dalam sana. Tidak peduli seberapa banyak waktu yang kuhabiskan untuk menyembuhkan diri. Kemunculan Mike membuat semuanya menjadi percuma. Dan aku harus mulai menerima kenyataan pahit bahwa sepertinya upayaku harus dimulai lagi dari awal. *  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN