“Kenapa tidak menjawab?”
Mencoba bersikap biasa, dengan hati-hati aku membuka bibir, hendak menjawab pertanyaan Mike dengan santai. Dan aku berhasil setelah dengan percaya diri aku kembali bersuara datar untuk membalas ucapannya.
“Aku tidak harus menjelaskan luka ini kepada orang lain.”
Manik mata Mike langsung menatapku intens, menyiratkan kemarahan di dalamnya. Bahkan seolah-olah ia bisa mengunci pergerakanku dengan matanya.
“Orang lain?” tanyanya seraya mendekat.
“Lalu harus kusebut apa kamu?” tanyaku berani.
Raut muka Mike semakin tidak enak untuk dilihat. Kemarahan menguar kuat dari wajah keturunan Eropa-nya.
“Apa aku harus mengingatkan kamu tentang siapa aku?” tanya Mike dengan suara rendah tepat di depan wajahku. Ia menunduk guna untuk mensejajarkan wajahnya dengan milikku. Sehingga saat ini posisi bibirnya tepat di depan bibirku.
Aku terdiam dan meskipun tidak bisa melihatnya, aku yakin wajahku sekarang sudah pucat pasi. Dengan menahan gugup, aku melangkahkan satu kakiku mundur. Tapi tangan Mike lebih dulu menahan pinggangku.
Seketika aku kembali terlonjak, sentuhannya seakan mengirimkan aliran listrik bertegangan tinggi hingga membuatku merasakan panas pada permukaan kulitku. Padahal aku tahu tangannya dan kulitku tidak bersentuhan secara langsung.
“Apa yang kau lakukan?” tanyaku mencoba mendesis dengan marah.
“Kamu pernah tidur denganku,” ujar Mike singat, membuatku tertegun di dalam rangkulan dirinya. “Kuharap bekas luka itu tidak ada hubungannya dengan menggugurkan anakku.”
Rasanya seperti aliran darahku dihentikan seketika. Ini adalah tebakan yang paling tidak bisa disangggah. Pria itu cerdas dan aku sudah mengetahui faktanya sejak dulu. Hanya saja aku tidak berharap ia menjadi pintar di saat seperti ini, hanya karena melihat bekas luka di perutku.
Aku membalas tatapannya. Kemudian sebisa mungkin memberikan senyum sinis sebelum mendengus. “Kamu gila?” Aku berusaha melepaskan diri darinya, tapi tangannya menahanku lebih erat.
“Mike.” Akhirnya setelah sekian tahun, bibirku mengucapkan namanya. “Lepas.”
“Katakan padaku, Kate,” desis Mike dingin. “Apa dia yang ada di kuburan itu?”
Detak jantungku sudah tidak karuan sejak tadi. Kepalaku juga pusing tidak terkendali. Melihat Mike saja sudah membuatku ingin menenggelamkan diri, ditambah lagi ingatanku dipaksa untuk kembali mengingat kenangan buruk tersebut.
“Lepaskan aku!” teriakku marah.
Entah kekuatan dari mana, aku akhirnya berhasil melepaskan diri dari Mike. Aku menatapnya dengan tajam, lalu berkata dingin.
“Luka ini dan anak yang ada di dalam tanah itu tidak ada hubungannya dengan kamu.” Mike terlihat tidak terima, tapi aku tidak peduli. Karena memang semua ini tidak ada hubungannya dengan dia. Sejujurnya aku yang memaksa berharap bahwa semua ini tidak ada hubungannya dengan Mike.
“Soal tidur itu,” ujarku kembali bersuara. “Aku dan kamu hanya melakukannya sekali. Jangan berharap bahwa kamu bisa meninggalkan anak di dalam rahimku.”
Mata Mike berkilat tajam. Ia marah besar.
“Kalau sampai aku tahu kamu berbohong, jangan harap aku akan melepaskanmu karena telah membunuh anakku.”
*