Part 9

1274 Kata
Pagi-pagi sekali Alvian sudah pergi ke kamar Stefannie sembari membawa sarapan untuk Stefannie. Para penjanga yang sedang berjaga di depan kamar Stefannie pun membungkukkan badannya saat Alvian datang. Ceklek Setelah pintu terbuka, Alvian melihat Stefannie masih bergelung nyaman di balik selimut tebalnya. Dalam hati Alvian merasa bersalah karena datang terlalu pagi. Alvian pun kembali menutup pintu kamar, agar para penjaga tidak bisa mendengar pembicaraannya dengan Stefannie. Setelah pintu kamar tertutup, Alvian pun mengeluarkan selembar kertas dan bolpoin dari balik jasnya, lalu meletakkannya di meja belajar Stefannie. Alvian pun berjongkok di hadapan Stefannie, menyingkirkan helaian rambut yang menghalangi wajah cantik Stefannie. Bibir Alvian melengkung ke atas membentuk sebuah senyuman. “Cantik,” gumam Alvian tidak sadar. Tiba-tiba mata Stefannie terbuka sehingga membuat Alvian terkejut dan memundurkan tubuhnya ke belakang. “Maafkan saya, Nona.” Alvian membungkukkan badannya. Stefannie terkekeh geli. Dalam hati Alvian merutuki dirinya sendiri karana telah lancang melihat wajah majikannya dari jarak yang sangat dekat. “Sekali lagi maafkan saya, Nona.” “Tidak apa-apa, emmm ... siapa namamu? Aku lupa,” tanya Stefannie. “Alvian Mahendra, Nona.” “Al-vian, kau bukan dari Korea?” Alvian menganggukkan kepalanya. “Iya Nona, saya bukan berasal dari Korea, saya berasal dari Indonesia.” Stefannie menganggukkan kepalanya. “Kau sudah tahu 'kan namaku, jadi aku tidak usah memperkenalkan diri.” “Iya, Nona.” “Kau bekerja di Net-Lix Group?” “Iya, Nona.” Alvian masih menundukkan kepalanya. Ia masih merasa malu karena insiden barusan. “Apa jabatanmu di Net-Lix Group?” “Sekretaris kedua Presdir Kim, eh!” Alvian memejamkan matanya, lagi dan lagi Alvian merutuki kebodohannya. Stefannie tersenyum. “Kenapa kau menunduk, wajahku bukan ada di bawah.” Alvian pun mendongakkan wajahnya. Netranya bersitatap dengan netra cokelat milik Stefannie. Alvian sempat tertegun selama beberapa saat. Tiba-tiba kesehatan jantungnya dipertanyakan saat ini. “Kenapa jantungku berdebar?” tanya Alvian dalam hati. “Sekretaris Al!” Alvian terkesiap. “Iya Nona?” “Kenapa kau melamun? Apa ada yang sedang mengganggu pikiranmu?” Alvian menggelengkan kepalanya. “Tidak ada, Nona.” “Oh iya, saya sampai lupa Nona.” Alvian pun beranjak menuju meja belajar Stefannie, lalu mengambil selembar kertas beserta bolpoin yang tadi ia bawa. “Ini Nona, saya sudah mencetak surat perjanjian yang kemarin Nona ketik di ponsel milik saya.” Alvian menyerahkan surat perjanjian itu kepada Stefannie. Stefannie pun menyambut baik surat perjanjian itu, lalu membacanya, siapa tahu Alvian mengubah poin-poin yang telah ia buat tadi malam. Isi surat perjanjian : Pihak pertama (Stefannie Kim) 1. Pihak pertama berjanji akan memberikan uang sebesar 15 milyar kepada pihak kedua (7,5 milyar akan dibayar oleh pihak pertama saat pihak pertama dan pihak kedua menanda tangani surat perjanjian ini, dan 7,5 milyar akan dilunasi jika pihak kedua berhasil membantu pihak pertama mendapatkan kembali posisinya). 2. Pihak pertama berjanji akan menjamin keselamatan pihak kedua dan keluarganya. 3. Pihak pertama berjanji tidak akan memecat pihak kedua di Net-Lix Group, selama pihak kedua tidak mengkhianati pihak pertama. Pihak kedua (Alvian Mahendra) 1. Pihak kedua wajib menuruti perintah pihak pertama. 2. Pihak kedua wajib membantu pihak pertama mendapatkan kembali posisinya (Net-Lix Group). 3. Pihak kedua tidak boleh mengkhianati atau bekerja sama dengan siapa pun tanpa persetujuan pihak pertama. Perjanjian ini akan berakhir jika pihak kedua mengkhianati pihak pertama, dan pihak kedua wajib mengganti rugi uang sebesar 7,5 milyar yang sudah diberikan pihak pertama pada pihak kedua. Stefannie tersenyum puas, Alvian tidak mengubah poin-poin dalam surat perjanjian itu. “Di mana materainya?” Alvian merogoh saku jasnya, lalu menyerahkan materai itu kepada Stefannie. “Ini Nona.” Stefannie pun menempelkan materai itu di surat perjanjian, lalu menandatanginya. “Giliranmu.” Stefannie menyodorkan surat perjanjian itu ke hadapan Alvian untuk ditanda tangani. Alvian meraih bolpoin itu, lalu menandatangani kontrak kerja sama itu tanpa membaca isi dari surat perjanjian itu. “Kenapa tidak dibaca dulu?” “Tadi sebelum ke sini saya sudah membacanya terlebih dahulu.” Stefannie menatap Alvian. “Sebelum aku menjelaskan rencana kita, aku ingin menjelaskan dahulu permasalahanku dengan kakakku.” Stefannie pun mulai menceritakan awal mula pertikaiannya dengan Sean. “Awalnya aku dan kakakku hidup dengan rukun, kami saling menyayangi dan melindungi satu sama lain. Kami tidak pernah bertengkar.” Stefannie bercerita sambil tersenyum, mengingat kembali kebersamaan dirinya dan juga sang kakak. “Saat itu Daddy tiba-tiba saja sakit. Daddy sakit lumayan parah. Sebelum meninggal, Daddy berbicara berdua denganku. Daddy mengatakan jika Daddy akan memberikan 53% saham perusahaan kepadaku, namun sebelum Daddy berbicara dengan kuasa hukumnya, Daddy sudah dipanggil oleh Tuhan.” Raut wajah Stefannie berubah menjadi sendu. “Setelah selesai menjalani prosesi pemakaman Daddy, tiba-tiba saja Sean Oppa menyuruh orang-orang suruhannya mengurungku di kamar. Setiap harinya Sean Oppa akan memaksaku meminum obat yang aku yakini jika itu racun. Awalnya aku tidak mengerti kenapa Sean Oppa begitu kejam kepadaku, tapi setelah aku tidak sengaja mendengar perkataan para penjaga yang selalu berjaga di depan kamarku, aku tahu kalau Sean Oppa ternyata menginginkan jabatanku.” Air mata pun meluncur bebas melewati pipi tirus Stefannie. Hatinya berdenyut nyeri, laki-laki yang sangat ia sayangi setelah ayahnya ternyata begitu tega kepadanya demi sebuah harta dan takhta. Padahal jika Sean berbicara baik-baik padanya, Stefannie pun akan suka rela memberikan sebagian sahamnya kepada kakaknya, tapi kakaknya lebih memilih jalan lain yang sangat melukai dirinya. Entah kenapa mendengar cerita Stefannie barusan, Alvian ikut merasakan sakit hati seolah-olah ia juga merasakan apa yang dirasakan oleh Stefannie. Posisi Alvian dan Sean sama, sama-sama anak pertama dan memiliki adik perempuan, tapi tidak ada niatan atau hati kotor untuk menyingkirkan adiknya demi sebuah harta dan takhta yang tidak bisa dibawa mati olehnya untuk dijadikan bekal di akhirat. Menurut Alvian, Sean benar-benar sudah keterlaluan. Kalau ceritanya seperti ini, Alvian pasti akan mendukung Stefannie walaupun dirinya sendiri yang menjadi taruhannya. Alvian menolong Stefannie demi rasa kemanusiaan. Uang itu hanya sekedar bonus saja bagi Alvian. “Nona tidak perlu khawatir, saya akan membantu Nona keluar dari sini, dan mengembalikan apa yang seharusnya menjadi hak Nona.” Stefannie menghapus air matanya. “Terima kasih kau sudah berada dipihakku Sekretaris Al.” Alvian tersenyum. “Sama-sama, Nona.” “Boleh 'kah aku meminjam ponselmu lagi Sekretaris Al?” “Tentu saja boleh, Nona.” Alvian pun menyerahkan ponsel miliknya kepada Stefannie. **** Sementara itu, di belahan dunia lain tampak seorang laki-laki bertubuh atletis tengah melatih otot-ototnya. Laki-laki itu berada di sebuah tempat kebugaran. “Sekretaris Min, menurutmu apa yang kurang dariku?” tanya Sean. “Menurut saya tidak ada Presdir. Presdir sudah sangat sempurna, tidak ada satu pun kekurangan pada Presdir.” Ucapan sekretaris Min tidaklah sepenuhnya bohong, karena jujur saja Sean memang terlihat sempurna. Wajahnya yang rupawan dan bentuk tubuhnya yang indah membuat dia terlihat seperti tokoh-tokoh dari dalam novel romansa. Apalagi kekuasan dan takhta yang ada di genggamannya saat ini menjadikan nilai plus. Sean tersenyum mendengar perkataan sekretaris Min. Namun sedetik kemudian senyuman Sean luntur. Jika menurut orang-orang ia sempurna, kenapa Ilena—istrinya selalu menolaknya? “Presdir, maaf sebelumnya jika saya lancang berkata seperti ini, apakah Anda tidak khawatir mempercayakan nona Kim kepada sekretaris Al?” Sekretaris Min menginterupsi Sean yang sedang melamunkan kisah cintanya dengan sang istri yang berujung tragis. Ya, tragis, karena selama dua tahun mereka menikah, Ilena belum juga bisa menerima Sean sebagai suaminya. “Memangnya kenapa Sekretaris Min, apakah kau mencurigai Sekretaris Al?” “Bisa dianggap begitu Presdir, saya masih belum percaya pada sekretaris Al sepenuhnya. Saya juga melihat Sekretaris Al ini masih sangat polos, saya takut Sekretaris Al termakan tipu daya nona Kim atau istri Anda, Presdir,” jelas sekretaris Min. Wajar sekretaris Min curiga dengan Alvian, Alvian belum lama berkerja di Net-Lix Group, Sekretaris Min takut Alvian menyeleweng dan malah memilih berpihak pada musuh.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN