Part 8

1126 Kata
Alvian tercenung selama beberapa saat, tawaran Stefannie sangat menggiurkan menurutnya, namun menerima tawaran Stefannie berarti ia akan mengkhianati Sean—atasannya. Stefannie masih menunggu jawaban Alvian. Jawaban Alvian bagaikan penentu hidupnya ke depannya. Stefannie menggigit bibir bawahnya—kebiasaan Stefannie jika sedang gelisah. Ia harap Alvian akan menerima tawarannya. “Bagaimana, apakah kau akan terima tawaranku?” Alvian memainkan jari-jari tangannya, menandakan ia gelisah sekaligus bingung. “Aku tahu sekarang kau bingung, tapi aku sarankan kau menerima tawaranku, karena ini akan benar-benar sangat menguntungkanmu,” ucap Stefannie mencoba membujuk Alvian agar menerima tawarannya. “Jika yang kau khawatirkan adalah kakakku, kau tidak perlu khawatir, aku akan menjamin keselamatanmu dan keluargamu,” lanjutnya. Alvian semakin dibuat bingung, apakah ia harus menerima tawaran Stefannie atau tidak. “Pikirkan keluargamu, kalau kau bekerjasama denganku, hutang-hutang keluargamu pada bank akan segera aku lunasi. Bahkan aku akan melunasi setengah hutangmu jika kau menyepakati kerja sama ini.” Alvian menggigit bibir bawahnya, sembari memainkan jari-jari tangannya. “Baiklah, saya terima tawaran Nona. Keluarga saya adalah prioritas saya sekarang,” putus Alvian. Alvian sudah memutuskan akan menerima tawaran Stefannie. Biarlah ia mengkhianati orang yang sudah memberikan kepercayaan kepadanya. Ini semua dilakukannya demi keluarganya. Lagi pula dari mana ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu tiga bulan lagi, sementara gajinya saja hanya pas-pasan untuk kebutuhan sehari-harinya dan juga keluarganya di Indonesia. “Ya Allah, semoga pilihan yang hamba ambil tidak salah,” batin Alvian. Sebuah senyuman tersungging di bibir mungil Stefannie. Akhirnya ada orang yang akan membantunya keluar dari penjara buatan kakaknya. “Bagus. Pilihanmu memang tepat sekali. Sebelumnya aku ingin membuat surat perjanjian denganmu, dan setelah selesai membuat surat perjanjian itu, aku akan mentransfer uang setengah dari hutangmu pada bank.” “Baik, Nona.” “Aku butuh laptop, materai, dan pulpen. Aku ingin segera membuat surat perjanjian itu,” ucap Stefannie. “Tapi Nona, jika saya membawa laptop saya kemari, nanti para penjaga di luar akan curiga.” Ah, perkataan Alvian barusan benar. Stefannie sampai lupa jika ada para penjaga yang berjaga di luar kamarnya. “Baiklah, kemarikan ponselmu!” Alvian pun merogoh saku celananya—mengambil smartphone miliknya, lalu menyerahkannya kepada Stefannie. “Ini Nona.” Stefannie pun meraih ponsel Alvian, lalu membuka aplikasi word. Stefannie mengetikan beberapa kesepakatan kerja samanya antara dirinya dan juga Alvian. “Siapa namamu?” “Alvian Mahendra, Nona.” Stefannie pun mengetikkan nama Alvian di surat perjanjian itu. “Ini.” Stefannie menyerahkan kembali ponsel milik Alvian. “Aku sudah selesai mengetikkan surat perjanjian kerja sama kita di ponselmu. Nanti setelah kau keluar dari kamar ini, kau langsung cetak surat perjanjian ini tanpa menambahkan atau mengurangi poin-poin perjanjian itu.” “Baik, Nona.” “Besok pagi kau ke sini lagi membawa surat itu yang sudah dicetak, dan jangan lupa bawa materainya.” “Baik Nona.” Stefannie pun mengisyaratkan Alvian untuk segera keluar dari kamarnya sebelum para penjaga itu curiga dan akan melaporkannya kepada Sean. “Kalau begitu saya permisi Nona,” pamit Alvian yang dibalas anggukkan kepala oleh Stefannie. Alvian pun keluar dari kamar Stefannie. “Terima kasih, Tuhan, akhirnya ada yang menolongku—membantuku keluar dari kesengsaraan ini. Aku harap dia tidak berubah pikiran,” ucap Stefannie. **** Sementara itu, Alvian yang baru saja keluar dari kamar Stefannie, menganggukkan kepalanya kepada para penjaga yang sedang berjaga di depan pintu kamar Stefannie. Setelah punggung Alvian tidak terlihat lagi di ujung tangga, salah satu penjaga di depan kamar Stefannie pun langsung menghubungi Sean yang berada di LA. “Presdir, Sekretaris Al baru saja keluar dari ruangan Nona Kim,” lapor pak Han—kepala penjaga kamar Stefannie. “Apa ada yang mencurigakan?” tanya Sean di seberang sana. “Tidak ada Presdir, semua terlihat baik-baik saja.” “Bagus. Terus awasi Sekretaris Al, bibi Choi, dan juga istriku. Jika ada yang mencurigakan, segera lapor kepadaku.” “Baik Presdir.” Pip **** Di bawah, Alvian tidak sengaja berpas-pasan dengan Ilena. Keduanya saling tatap selama beberapa detik, sebelum akhirnya Alvian lebih dulu memutuskan pandangannya, lalu membungkuk hormat. “Sekretaris Al, pembicaraan kita belum selesai,” ucap Ilena. Alvian menghela napasnya, istri dari atasannya itu masih belum menyerah juga, dan masih bersikeras membujuknya. “Maaf Nyonya, tapi saya rasa pembicaraan kita sudah selesai,” tegas Alvian. Ia belum tahu apa niat Ilena sebenarnya ingin menemui Stefannie yang sekarang menjadi atasannya. “Belum selesai Sekretaris Al, karena kau belum tahu cerita keseluruhannya tentang adik iparku!” pekik Ilena yang merasa kesal, karena Alvian sudah tidak menghormatinya sebagai nyonya besar di mansion itu. Alvian memilih menentangnya demi kesetiaannya kepada Sean. “Maaf Nyonya.” Saat Alvian akan beranjak, Ilena langsung mencekal tangan kekar Alvian. “Ayo kita berbicara sebentar. Aku ingin menjelaskan permasalahan inti antara suamiku dan adik iparku!” pinta Ilena. Alvian berusaha melepas cekalan Ilena pada tangannya. “Aku mohon Sekretaris Al, izinkan aku menjelaskan permasalahan inti itu selama lima menit, lalu setelah itu kau boleh memutuskan, apakah mengizinkanku bertemu dengan Stefannie atau tidak,” mohon Ilena. Alvian yang dasarnya lembut dan tidak tegaan, akhirnya luluh dan mengizinkan Ilena menjelaskan tentang permasalahan antara Stefannie dengan Sean. “Baiklah Nyonya.” Senyum tipis tersungging di bibir mungil Ilena. Ilena pun mengajak Alvian masuk ke ruangan kerja suaminya. Kebetulan ruang kerja suaminya kedap suara, jadi Ilena tidak akan khawatir ada orang yang mendengar pembicaraan mereka. “Aku tidak tahu persis apa masalahnya, tapi yang aku tahu suamiku sengaja mengurung Stefannie di kamarnya dan menyebarkan rumor jika adiknya mengalami gangguan jiwa kepada orang-orang, karena ingin menguasai Net-Lix Group sepenuhnya.” Ilena langsung mengawali ceritanya. “Seharusnya yang menduduki kursi CEO sekarang adalah Stefannie, karena Stefannie adalah pemilik saham terbesar di Net-Lix Group,” lanjut Ilena. Mata Alvian terbelalak mendengar rentetan kata yang keluar dari mulut Ilena. Ia tidak menyangka orang yang selama ini ia kagumi adalah seorang pria licik. Bahkan ia berbuat tega kepada adiknya sendiri demi kekuasaan. Ilena terkekeh geli melihat raut keterkejutan dari wajah Alvian. “Kau pasti terkejut mendengar cerita ini. Pasti sekarang kau merasa kecewa dengan atasan yang selama ini kau hormati itu. Suamiku memang picik sekali.” Alvian jadi berpikir, kasihan sekali menjadi Stefannie yang dikhianati oleh saudara kandungnya demi sebuah takhta yang tidak bisa dibawa mati. “Tujuanku ingin menemui Stefannie, karena ingin membantu Stefannie keluar dari kesengsaraan yang dibuat oleh suamiku. Jadi, apakah aku boleh menemuinya?” Alvian sempat tediam beberapa detik. Ia menimbang-nimbang apakah ia mengizinkan Ilena bertemu dengan Stefannie. “Sebelumnya maaf Nyonya, saya tidak bisa mengizinkan Nyonya bertemu dengan Nona Kim, karena banyak sekali mata-mata Presdir Kim yang selalu mengawasi pergerakan saya,” ucap Alvian. Ya, Alvian tahu sejak ada banyak sekali mata-mata yang selalu mengawasi pergerakannya selama Presdir Kim tidak ada. Selain itu Alvian juga harus izin dulu kepada Stefannie, karena sekarang Stefannie adalah atasannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN