Bunuh diri?

1026 Kata
“Kenapa?” teriaknya heran, wajahnya tampak gusar. “Hei Pak Aldar! Kita ini bersama untuk sementara, bagaimana bisa ngomongin anak,” protesku tak rela. “’Kan bisa saja terjadi,” jawabnya santai, ekspresi gusar di wajahnya hilang, berganti dengan ekspresi cuek, kemudian ia bersikeras kembali ke posisi semula. “Ya jangan sampai terjadi,” protesku keras. Protesku hanya ditanggapi dengan kekehan pendek. “Kamu ingin sekali acara di tepi pantai itu?” tanyaku sambil benar-benar menggeser badannya dengan mengerahkan seluruh tenaga. “Kenapa Kamu nggak suka?” jawabnya sambil memperhatikan aku yang berbaring miring membelakanginya. “Andai para tamunya membuatku suka, tentu aku akan suka,” jawabku sambil berusaha memejamkan mata. “Jangan terlalu dipikirkan mereka itu, selain aku ingin menikah dengan suasana seperti itu, mereka mungkin akan berguna bagiku suatu ketika,” jawabnya tenang. Aku tidak memahami bagian akhir dari kalimatnya. “Hah!” seruku kaget. Mendadak laki-laki tinggi tegap itu kini meletakkan kepala di bagian samping punggungku. “Aldar! Berat, bisa geser nggak?” ucapku pelan sambil menahan gusar. “Aldar!” “Aldar?” Panggilanku justru dijawab dengan napas halus dan teratur. Laki-laki ini tertidur. Haduh! Di luar matahari pasti sudah tinggi. Cahaya yang masuk melalui celah-celah dengan bentuk unik itu membuat kamar mandi ini terang benderang. Aku berendam di dalam bathtube dengan warna putih ini. “Kenapa sih dia bangun tengah malam? Kenapa dia gak tidur selama dua malam atau satu minggu?” kataku pada diri sendiri. Walaupun aku tahu pertanyaanku tak masuk akal, tetapi aku tak punya pertanyaan lain untuk melarikan kekesalanku. Entah! Mungkin aku kesal dengan diriku sendiri atau pada keadaaan yang memaksaku menyepakati pernikahan ini. Tetapi, apa yang terjadi tengah malam tadi harusnya menjadi sesuatu yang aku harus terima karena itu bukan saja bagian dari kesepakatan ini, tetapi juga bagian dari sebuah pernikahan pada umumnya. “Ayah, Ibu, maaf,” gumanku pelan lalu membenamkan diri di tempat berendam dengan air hangat ini. Aku merasa seorang anak yang kini memiliki nilai moral yang rusak seutuhnya. Em ... kuping ini seperti menangkap suara dari kejauhan, tetapi aku berusaha tidak memikirkannya. “Kesh!” “Marakesh!” “Marakesh!” Suara orang memanggilku berkali-kali terdengar, tetapi kembali aku mengabaikannya. “Hah!” Aku menjerit ketika dua buah tangan mengangkatku dari dalam air. “Kamu gak coba bunuh diri, kan?” teriak Aldar panik. “Hah? Bunuh diri?” ucapku kaget. “Dengar! Tugasmu selama bersamaku hanya menjadi istri terbaik. Ingat! Itu sudah kita sepakati sebelumnya. Jangan coba-coba berulah dan membuatku jadi tahanan!” serunya marah. “Siapa yang mau bunuh diri?” jawabku heran. “Siapa lagi? Apa tujuanmu membenamkan diri dalam bak?” serunya masih dengan ekspresi panik. Aku memang sedih dan merasa hancur, tetapi tidak untuk memutuskan bunuh diri, sayang sekali kalimat ini hanya berupa bisikan hati yang laki-laki di depanku ini tak mampu mendengarnya. “Eh! Memang semua yang membenamkan diri di bak merupakan bunuh diri?” tanyaku balik. “Kayaknya Kamu kebanyakan nonton filem deh,” omelku lebih lanjut. Uh ... Aldar menghela napas lega dan kemudian memegang kepalaku. “Jangan coba-coba ya!” ancamnya, aku tertawa dalam hati melihat ekspresi wajahnya, paduan kesal, marah, khawatir dan sekaligus lega. “Apa semua perempuan di dunia kalau mandi lama?” ucap Aldar pelan sambil melepaskan tangannya dan duduk di pinggir bathtube. Aku hanya menyengirkan hidung. “Pintu itu bukannya terkunci?” kilahku sambil mengarahkan pandangan ke arah pintu kamar mandi dan mengabaikan pertanyaan retoris itu. “Bagusnya pintu itu diganti korden saja daripada ada yang mengkhawatirkan di dalam kamar mandi,” ucapnya sambil tak mengalihkan pandangan dari wajahku. Aku tergelak, ternyata apa yang barusan terjadi begitu mengkhawatirkan baginya. “Ini pertama kalinya aku melihatmu tertawa,” ucap Aldar lembut. “Apa sih?” balasku kikuk. “Kamu ke sini mau lihat orang mandi, ya?” ujarku mengalihkan perhatian. “Ah! Sampai lupa,” ucapnya sambil menggerakkan kepala dan meletakkan jari di dahi. “Selesaikan mandimu, kita akan makan siang, sarapan pagi sudah lama lewat, nanti sakit,” ucapnya lembut. “Ya sudah, sana keluar dulu,” jawabku sembari risih melihatnya memandangiku ketika berendam. “Kita ‘kan bisa keluar bareng,” protesnya tanpa bergeser dari posisi duduknya. “Kenapa harus seperti itu?” balasku heran. “Nanti kamu membenamkan diri lagi di bak, besok cari kamar mandi tanpa bathtube saja,” ucapnya tanpa dosa. Aku tertawa terbahak-bahak melihat kehawatirannya yang overdosis itu. “Nggak, aku nggak gitu lagi,” ucapku masih sambil tertawa. Dan jawabanku berhasil membuat laki-laki ini keluar dari kamar mandi ini. Tangan ini menyambar gulungan handuk yang disediakan oleh pemilik villa. Lalu, kaki ini melangkah dan berhenti sejenak di pintu kamar mandi yang dibagian tengahnya mengalami kerusakan. “Diapakan pintu ini tadi sampai jadi seperti ini?” gumanku sambil tertawa kecil. Aldar sudah berada di meja makan ketika aku keluar dari kamar. “Kamu baik-baik saja?” ucapnya sambil menarik satu kursi makan. “Ya, terima kasih,” jawabku tulus, sebuah pertanyaan yang sudah lama tidak kudengar itu membuat hati ini sedikit menghangat. Ya, benar sekali, aku tak salah ingat, sejak kecelakaan itu terjadi, tak satu pun manusia yang bertanya seperti itu padaku. “Ada apa?” ucapnya, mungkin Aldar mengamati perubahan ekspresi wajah ini. “Nggak apa-apa, makan apa?” tanyaku mengalihkan perhatian. “Semua yang Kamu suka ada di sini. Protein terbaik, sayur, buah dan dessert yang lezat dan menyehatkan,” ucapnya seperti sedang iklan produk makanan. “Kamu yang masak?” tanyaku iseng. “Tentu saja ... pesan,” jawabnya ringan. “Makanya tonton juga filem masak, biar pandai masak, jangan menonton filem bunuh diri aja,” celetukku cuek. Celetukanku hanya dibalas dengan lirikan mata yang menunjukkan ekspresi kesal, aku mengernyitkan hidung sambil menahan tawa. “Makanlah, Kamu butuh banyak energi,” ucapnya sambil meletakkan lauk-pauk di piringku. “Apa sih?” balasku kikuk. “Kita hanya akan beberapa hari saja di sini,” jelasnya. “Oh, gitu,” balasku sambil menyesal telah berpikir hal-hal yang tidak-tidak. “Memang kita mau ke mana?” tanyaku mengingat kesepakatan yang harus dijalani ini masih lama. “Kita akan mewujudkan konsep ‘Dunia Milik Berdua’,” jelasnya enteng. “Hah! Apa itu?” jawabku heran.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN