Tangan kanan ini otomatis menutup kuping kanan dan berharap agar indra dengar ini menyeleksi apa yang harus disampaikan ke otak agar jantung ini juga tidak ikut deg-degan seperti ini. Tangan kiri mendukung gerakan tangan kanan dengan memegang bagian d**a yang sepertinya tidak bisa tidak untuk mempercepat detaknya.
“Terima kasih atas pengertiannya.” Suara Aldar terdengar tenang.
Laki-laki yang duduk di sampingku ini, menurutku ternyata seorang yang cukup tenang dan tidak grusa-grusu. Beberapa kali kudapati ia sejenak diam untuk berpikir dan kemudian melontarkan jawaban-jawaban dari para tamu dengan hati-hati. Sebagian besar pertanyaan berkaitan dengan keputusan mendadak untuk menikah ini.
Posisi aman karena tidak diinterogasi oleh para tamu membuatku leluasa mengamati ekspresi mereka. Dari samping badan Aldar aku bisa tahu bagaimana gadis yang dipanggil dengan nama Gladys itu seperti hendak bertanya-tanya padaku. Tetapi, tentu saja wanita paruh baya dengan wajah angkuh itu selalu menghalangi keinginan gadis itu. Ditambah lagi, berkali-kali laki-laki paruh baya yang memiliki wajah sama dengan gadis itu berulang kali memberikan tekanan dengan lirikan dan tatapan yang menurutku seperti ancaman. Walhasil, gadis itu hanya bisa merajuk dan memprotes dengan ekspresi wajah bersungut-sungut. Sayang sekali, sebenarnya aku juga ingin ada orang yang bisa diajak bercakap-cakap.
“Ah!” seruku terkejut.
Rupanya tangan Aldar berada di tangan kananku dan menyingkirkannya dari dekat kuping.
“Ha?” tanyaku sedikit bingung.
Aldar menggerakkan kepala sedikit sebagai isyarat. Ternyata para tamu laki-laki telah berdiri dan bersiap-siap untuk pamit. Mataku kembali melirik Gladys yang masih belum beranjak dari kursinya dan malah menyenderkan punggung dengan ekspresi kesal. Aku mengikuti gerakan Aldar yang lebih dulu berdiri.
“Terima kasih atas kedatangan kalian, ini sangat berharga sekali untukku,” ucap Aldar untuk membalas ucapan-ucapan selamat para tamu.
Kemudian masing-masing dari mereka undur diri dan memandangku dengan ekspresi yang sama ketika menyapa di pinggir pantai sore tadi.
“Huh...,” seruku sambil melemparkan kekesalan yang entah kenapa berjubal-jubal di d**a.
“Sudah, sudah selesai kok, kita cukupkan acara seremonial hari ini,” ucap Aldar bereaksi atas apa yang kulakukan barusan, hem syukurlah ia mengerti acara ini begitu tidak nyaman untukku.
“Kesh, mau menginap di resort ini apa kembali ke villa?” ucap Aldar ketika menjajari jalanku keluar dari ruangan ini.
“Hah! Di sini?” ucapku terkejut, di otak ini langsung terbayang sebuah pemborosan yang tentu akan segera terjadi jika aku mengiyakan untuk menginap di resort ini.
“Villa saja,” jawabku cepat, sebelum ia berubah pikiran dan memaksakan keputusan secara sepihak.
“Pilihan yang lebih bagus,” jawabnya sambil menuruni tangga dan berjalan ke arah mobil yang sudah siap di depan resort ini.
“Kenapa lebih bagus?” ujarku penasaran.
“Villa lebih sepi,” balasnya ringan sambil mengerling.
“Huh... menyesal aku tanya,” ucapku sambil masuk ke dalam mobil ini.
Terdengar suara tawa Aldar begitu aku menyelesaikan kalimat.
Mobil mewah tiba kembali di villa yang sudah seharian ditinggalkan. Memang benar tempat ini lebih sepi dari resort. Setelah sopir pergi, di villa ini hanya tinggal kami berdua dan tentu saja bersama binatang-binatang malam khas pedesaan yang saat ini sedang menyuarakan paduan suara. Lelah dan penat tentu saja terasa, walaupun seharian bukan menjalani kegiatan aktivitas berat.
“Hei! Bagaimana bisa pindah ke sini?” seruku kaget ketika keluar dari kamar mandi dan melihat Aldar sudah mengenakan baju santai berupa celana selutut dan kaos oblong.
“Hei! Kenapa tidak bisa?” balasnya sambil menirukan caraku bertanya.
“Kita ‘kan sudah punya kamar sendiri-sendiri?” protesku sebal.
“Tentu tidak sejak malam ini,” jawabnya santai dan dengan seenaknya menyusun bantal-bantal untuk dijadikan sandaran.
“Ternyata gadis yang bernama Marakesh itu lupa ingatan,” lanjutnya sambil bersedekap.
“Oh ...!” keluhku tak berdaya, bagaimana aku bisa melupakan apa yang terjadi tadi pagi.
Jujur saja walaupun pernikahan ini adalah sesuatu yang sudah direncanakan jauh-jauh hari, tetapi melihat seorang laki-laki yang tidak dikenal berbaring di tempat tidur dalam kamarku sungguh suatu pemandangan yang aneh.
“Duduklah!” ucap Aldar sambil menepuk bagian kasur yang dekat dengan tempat ia berbaring.
Uh ... sambil mengeluh aku berjalan dan mengikuti instruksi, lalu duduk di sampingnya.
“Harusnya bantal yang di kamarmu itu dibawa ke sini,” seruku sambil mengambil satu bantal yang ia sandari.
“Kita ‘kan bisa share,” protesnya cuek.
Aku tak mempedulikannya dan menjadikan bantal yang berhasil kuambil sebagai sandaran.
“Hah!” teriakku terkejut saat tiba-tiba makhluk beda gender ini meletakkan kepalanya di pangkuan yang bukan miliknya.
“Hadeuh ...,” keluhku tanpa bisa berbuat apa-apa.
Ah ... sepertinya berbagai keribetan mulai dari saat ini.
“Kesh ..., coba katakan apa saja yang terlintas di pikiranmu seharian ini?” ucapnya tanpa kuduga.
“Orang tuaku tentu saja dan ...,” jawabku menggantung.
“Dan?” kejarnya tak sabar.
“Dan banyak lagi,” jawabku tanpa merinci.
“Apa mereka akan bahagia memiliki menantu sepertiku?” ucapnya dengan suara yang terdengar ragu.
“Em ... nggak tahu, mungkin jika Kamu orang yang baik, pasti setiap mertua bakal suka,” balasku sambil berusaha menggeser kepalanya, usahaku itu sia-sia.
Aldar tampak terdiam untuk beberapa saat dan memiringkan tubuhnya sambil memeluk pahaku.
“Ceritakan tentang keluargamu,” ujarnya sambil sepertinya menatap kosong ke depan.
“Em ... sebenarnya biasa saja sih, mungkin juga seperti keluarga-keluarga pada umumnya. Ya ... bukan seperti keluargamu memang, tetapi kami baik-baik saja,” jelasku singkat.
“Terus!” perintahnya pelan.
“Apa ya yang bisa diceritakan? Em ... ayahku bekerja sebagai pendidik dan ibu hanya ibu rumah tangga biasa yang kadang menjalani bisnis kecil-kecilan. Jadi, ibu selalu ada di rumah ketika aku pulang. Aku juga bukan anak yang bebas pergi kemana saja, keduanya sangat berhati-hati menjagaku ...,” lanjutku dan kalimat itu membuatku terisak, bagaimana tidak, keadaan itu seratus delapan puluh derajat berbalik hari ini.
Tangan ini mengusap air mata yang hampir jatuh, aku merasa sedih karena nilai-nilai kebaikan yang susah payah dibangun oleh mereka aku hancurkan dengan adanya pernikahan ini. Apapun alasannya, aku tahu aku salah.
“Apa kamu bahagia menjadi anak mereka?” ucapnya dengan nada penasaran yang kental.
“Hah! Itu pertanyaan? Jelas dong, bahagia pakai banget,” jawabku dengan bangga.
“Em ... apa kita juga menjadi orang tua yang membanggakan bagi anak-anak kita?” ucapnya sambil mempererat pelukan.
“Hah!” teriakku kaget sambil berusaha mengangkat badannya.