“Ya menjadikan dunia ini seakan milik berdua,” jawabnya enteng.
“Em ... gak bakal hidup berdua di tengah hutan belantara, kan?” balasku ragu sambil membayangkan sebuah kehidupan purbakala.
“Nggak seperti itulah, aku ‘kan gak semandiri Tarzan,” jawabnya sambil mengedikkan bahu.
“Syukurlah ... aku sudah membayangkan sebagai asisten Tarzan,” kataku lega.
“Eh ... biasanya pasangan Tarzan ‘kan Jane, kenapa jadi asisten Tarzan?” protesnya heran.
“Hei! Terserah aku dong yang menentukan posisi dan jabatan,” sanggahku semangat.
Aldar tertawa terbahak-bahak.
“Makanlah dulu,” ucapnya pelan setelah tawanya mereda.
“Jadi, apa sebenarnya konsep itu?” lanjutku penasaran.
“Nanti juga tahu,” jawabnya tanpa mengindahkan rasa penasaran yang tergambar jelas di wajahku.
“Kesh ... bangun!” Aku harus membiasakan suara itu sejak tiga hari yang lalu dan seterusnya selama bersama Aldar.
“Bentar ...,” jawabku malas sambil menarik selimut hingga menutupi kepala.
“Bangun dan beberes cepat, jangan sampai ketinggalan pesawat,” ucapnya sambil menarik selimutku.
“Pesawat? Ke mana lagi?” jawabku sambil kembali menarik selimut ke posisi semula.
“Perlu kuangkat ke kamar mandi?” ucapnya tegas.
“Nggak,” jawabku pendek dan langsung beranjak, lalu ngacir ke kamar mandi dengan pintu yang sudah rusak itu.
Beberapa saat kemudian terjadi sedikit kesibukan karena harus mengemas baju yang ternyata bertebaran di mana-mana.
“Hem apa gak bisa menaruh baju di tempatnya?” omelku sambil mengemas baju yang bukan hanya milikku.
“Tolong dorong tas travel itu ke sini!” seru Aldar dari luar.
“Banyak sekali barangmu,” komentarku pada dua travel yang kini diletakkan di bagasi.
“Yang satu milikmu,” jelasnya ringan.
“Punyaku?” jawabku heran.
“Menurutmu di sana bisa menggunakan baju yang ada dalam tas punggungmu itu?” balas Aldar sambil menutup pintu bagasi dan menuntunku ke dalam mobil.
“Emang mau ke mana sih?” ucapku mengulangi pertanyaan tiga hari lalu yang hingga kini belum mendapat jawaban.
“Masuk dulu, kita sarapan sambil jalan saja ya,” ucapnya sambil membukakan pintu depan di sebelah kursi kemudi, pertanyaanku sepertinya dianggap bukan pertanyaan.
Sampai di bandara seseorang telah menjemput Aldar dan sepertinya dengan laki-laki itu serah terima mobil dilakukan. Ya, selama tiga hari ini Aldar lebih memilih menyetir mobil sendiri. Aku baru mengetahui negara tujuan setelah berdiri di bagian check-in.
“New Zealand?” ucapku ketika sedang berada di ruang tunggu.
“He em,” ucapnya sambil mengangguk.
“Konsep Dunia Milik Berdua dan New Zealand,” gumamku pelan sambil mereka-reka apa hubungan kedua frasa itu hingga keduanya bisa berada di pikiran Aldar.
“Tidurlah kalau masih ngantuk, atau bisa makan jika masih lapar,” ucapnya untuk membuatku tidak meminta penjelasan lebih banyak.
Sepertinya laki-laki yang bersamaku ini tidak suka menjelaskan secara rinci. Daripada berlelah-lelah menebak apa yang hendak dia lakukan lebih baik aku mengikuti sarannya untuk makan, lalu sejenak menyambung mimpiku yang tadi terputus.
Pesawat mendarat di bandara negara tujuan setelah berjam-jam terbang menembus awan-awan. Seseorang laki-laki bule paruh baya menjemput di bandara dan beberapa saat kemudian baru kuketahui kalau ia adalah pemilik tempat tinggal yang disewa Aldar.
“Your girl?” ucap laki-laki itu ketika melihatku.
“Wife,” jawab Aldar pendek, aku hanya tersenyum untuk menyapa laki-laki itu.
Hem ... ya, wife ... a temporary wife, ingin sekali aku memberikan penjelasan tambahan bagi jawaban yang diberikan Aldar.
Laki-laki tersebut bercakap-cakap dengan Aldar tentang banyak hal dan aku hanya terkadang menimpali omongan itu jika ditanya. Mobil jemputan tiba di tempat yang kami sewa dan setelah semalam beristirahat, pemilik tempat tinggal ini mengantarkan kami ke sebuah tempat yang ternyata adalah sebuah tempat penyewaan campervan.
“Ini ya pelaksanaan dari project Dunia Milik Berdua?” ucapku ketika pemilik tempat tinggal tempat itu sudah pamitan.
“Dunia Milk Berdua Campervan Trip!” teriak Aldar penuh semangat sambil merentangkan kedua tangan dengan bahagia.
“A-,” Seruanku tertahan dan hanya mampu membuka mulut tanpa suara.
“Ayo kita cek semua, masukkan barang dan berbelanja untuk trip kita,” ajaknya masih dengan penuh semangat.
Dan tentu saja agenda itu langsung dilaksanakan dengan seksama dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
“Harus ya New Zealand?” tanyaku ketika kami sudah berada dalam sebuah mobil dengan bentuk seperti van berukuran besar, tetapi memiliki fasilitas layaknya rumah tinggal, dapur, kamar mandi, tempat tidur dan pernak-perniknya lengkap tersedia.
“Bisa sih di negara kita, tapi kayaknya di sini bisa lebih fokus dan lebih ‘berdua’ gitu. Lihat jalan ini, sepi, kita jarang papasan dengan mobil lain,” jelasnya sambil mengendarai mobil.
Aldar mendokumentasikan perjalanan ini dengan merekam semua kegiatan sejak pertama pengecekan mobil mewah ini.
Dan benar saja, di sini memang konsep yang ia canangkan memang menjadi nyata, dalam perjalanan ini, kami memang berdua. Bertemu orang hanya ketika berbarengan dengan petualang lain yang kebetulan berada di tempat atau campside yang sama atau ketika membeli pasokan bahan makanan yang menipis.
Memang luar biasa keindahan tempat ini, tetapi sayang sekali di sini aku benar-benar berperan sebagai istri yang mengurusi keperluan Aldar dari pagi sampai ... pagi lagi. Ya, walaupun Aldar juga berperan sebagai laki-laki dengan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang tidak bisa kukerjakan sendiri.
“Kesh ... kenapa telornya gosong?” protes Aldar dari meja makan yang hanya berjarak sekitar semeter dari tempatku berdiri.
“Itu ‘kan cuma pinggir-pinggirnya yang gosong, makanya kalau aku lagi masak jangan digangguin dong,” sanggahku membela diri.
“Terus aku gangguin siapa dong?” balasnya tak mau kalah.
“Udah, masih makanable tu telor, ingat hemat gas, hemat bahan makan, masih beberapa km lagi kita mencapai campground,” bujukku agar tidak harus menggoreng lagi.
“Kesh!” seru Aldar mulai menyebalkan.
“Aku masih harus masak untuk bekal tracking kita ke puncak gunung lo,” ucapku mencoba mencari alasan.
“Kesh ...,” jerit Aldar tak peduli.
“Ihh, ya sudah aku goreng lagi, kayak ngasuh anak sepuluh tahun deh,” omelku sambil menggoreng lagi telor ceplok yang ia minta.
Untung saja, hari ini hanya campervan kami yang berkemah di pinggir danau indah ini, kalau tidak pasti perdebatan yang tiada akhir ini akan terdengar dan mengganggu yang lain.
“Kesh, gimana kalau kesepakatan kita diperpanjang?” ucap Aldar membuatku kaget.