“Ngomong apa sih?” balasku mencoba tak mempedulikan ucapannya.
“Kesh,” ujar Aldar sambil beranjak dan kini berada di belakangku.
“Udah sana, nanti gosong lagi,” kataku mencoba membuatnya pergi.
“Mau ‘kan, Kesh?” katanya tak menyerah dan kini malah memelukku.
“Mau gosong lagi?” seruku kesal.
“Gak papa, kalau dua yang gosong ‘kan tetep lebih banyak yang bisa dimakan,” balas Aldar diplomatis dan itu membuatku tambah kesal.
“Sudah matang ini, cepat makan! Katanya lapar,” ucapku mencoba membuatnya tak melanjutkan pertanyaannya.
Aldar tak melepaskan tangannya ketika aku membawa telor ceplok ini ke meja.
“Mau makan sambil berdiri?” ucapku sambil mencubit tangannya, dan itu membuat laki-laki yang bersamaku ini melepaskan pelukan, duduk di kursi dan mulai menyuapkan makanan ke mulut.
“Mau ‘kan Kesh, jawab dong!” rajuknya sambil menghentikan suapan.
“Bentar aku mau ke kamar mandi,” jawabku sambil beranjak dan masuk ke dalam ruangan kecil yang difungsikan sebagai kamar mandi dalam campervan ini.
Sebenarnya badanku tidak sedang mengharuskan aku untuk membuang hasil metabolisme tubuh, tetapi biar ada celah untuk menghindari pertanyaan yang jujur saja membuatku terperanjat.
Walaupun, setelah keluar dari kamar mandi ini, interogator itu akan beraksi lagi. Biar lebih lama berada dalam ruang ini, sekalian aku mandi pagi saja.
“Kalau ada bathtube di dalam sana, pasti sudah kususul,” ucap Aldar begitu kaki ini melangkah keluar dari kamar mandi ini.
Aku tertawa terbahak-bahak.
“Kenapa sih, selalu berpikir aku akan menenggelamkan diri di bak mandi?” kataku sambil ganti baju.
“Pasti tidak mudah bagi gadis sepertimu untuk melakukan kesepakatan ini,” jawab Aldar dengan nada serius.
Gerakan ganti baju ini langsung mendadak berhenti.
“Seorang gadis baik-baik dari keluarga sederhana, tiba-tiba masuk dalam kehidupan orang yang nggak dikenal dan harus melakukan tugas sebagai istri,” lanjutnya sambil memandangku dari tempat duduknya.
Aku menyelesaikan gerakan ganti baju dan berdiri mematung di depan pintu campervan.
“Begitukah menurutmu?” ujarku dengan suara pelan.
“Ya, jika Kamu seperti gadis kebanyakan yang mampu berbuat buruk demi uang, tentu Kamu tidak akan bekerja sampai seperti itu,” sambung Aldar masih dengan lekat menatapku.
“Seperti?” kejarku penasaran.
“Seperti robot autonomous yang diprogram untuk bekerja,” jelasnya sambil nyengir.
“Ye ... enak saja, walaupun benar tapi ya jangan jujur gitu dong ngomongnya,” sahutku cuek.
Tangan Aldar melambai dan meminta untuk duduk di sampingnya.
“Bahkan Kamu tak melirikku sedikit pun ketika pertama kali kita bertemu,” ucap Aldar ketika aku duduk sesuai permintaannya.
“Ya ‘kan gak penting,” sanggahku cuek.
“Haha, cuma Kamu yang melewatkan orang seganteng aku Kesh,” balas Aldar sambil mengelus kepala ini.
“Narsismu itu kurang-kurangilah sedikit,” saranku sambil melirik sebal.
“A-,” Kata yang ingin kuucap gagal sempurna ketika tangan Aldar menyuapkan sarapan yang belum sempat kumakan.
Satu tangan laki-laki ini berpindah ke pinggang, seperti khawatir aku bakal lari dari tempat duduk ini. Laki-laki ini memperhatikan aku makan seolah menginspeksi apa saja yang akan kukunyah. Hal seperti ini juga harus kubiasakan walaupun tentu saja awalnya risih.
“Jadi, gimana Kesh?” ucap Aldar begitu sarapanku selesai dan jus jeruk dari gelas telah berpindah isinya ke lambung ini.
“Kenapa ada pertanyaan itu?” ucapku mencoba mengulur waktu.
“Ini adalah tiga bulan terindah dalam hidupku, dan aku ingin lebih lama lagi,” jelasnya sambil meletakkan satu lagi tangan untuk menangkup tangan lain yang telah melekat di pinggang ini.
Kini kedua tangan itu melingkar total di pinggang.
Aku menghela napas panjang.
“Itu saja?” balasku singkat.
“Banyak lagi, tapi ...,” jawabnya menggantung.
“Tapi?” kejarku ingin tahu pakai banget.
“Tapi ... itu aja dululah yang bisa dikasih tahu,” jawabnya sambil merapatkan kepala ke kepalaku.
“Luar biasa ... jawaban aja dikredit,” celetukku geram.
Aldar tertawa terbahak-bahak dan tidak mempedulikan kekesalanku.
“Aku tahu, pasti ini sulit untukmu dan mungkin Kamu sudah menyusun banyak rencana setelah kesepakatan ini selesai, tapi benar deh Kesh, tolong diperpanjang ya ...,” pintanya dengan suara yang menurutku dibuat kepilu-piluan.
“Tiga bulan ... aja,” lanjutnya masih dengan suara mengiba.
“Hah?” teriakku kencang.
“Iya ... tiga bulan aja, sebentar itu, kan?” tegasnya dengan penuh iba.
Ah ... aku menekan-nekan pelipis dengan satu jari. Perjalanan ini memang terasa menyenangkan dan cukup membuat perasaan karena kesepakatan ini tidak membuatku tertekan. Tetapi, benar apa yang diprediksi Aldar, dalam otak ini telah tersusun rencana setelah ini selesai. Dan jika ini harus diperpanjang tiga bulan, aku akan kelabakan mempersiapkan apa yang telah kurencanakan.
“Gak bisa,” kataku tegas.
“Ah ... sudah kuduga,” ungkapnya dengan ekspresi kecewa.
“Tapi ... coba dipikir menurutmu, kalau Kamu nggak mau, trus aku bakalan nglepasin Kamu gitu aja? Jelas enggak dong, Kamu bakal terus di sini bersamaku,” lanjutnya sambil mempererat kedua tangannya.
“Hei! Gak bisa dong kayak gitu, kok jadi ngancam gitu, jangan melanggar kesepakatan!” teriakku tak terima.
“Ya udah, makanya setuju aja, ya?” balasnya lembut tak terpengaruh dengan teriakanku.
“Tiga bulan itu lama, Aldar ...,” ucapku kesal.
“Oke, kalau gitu setengahnya, satu setengah bulan dan ini akan benar-benar berakhir. Aku janji,” ujarnya tak menyerah.
Aku hanya diam mendengar kata-katanya.
“Ya udah!” seruku, sepertinya gak ada yang bisa kulakukan.
“Lepasin, biar kubereskan alat makan ini,” lanjutku masih dengan kesal, pasti setelah ini harus kelabakan mempersiapkan rencana selanjutnya.
“Gitu dong ...,” ucap Aldar dengan ekspresi bahagia, suaranya jadi terdengar keras di kuping ini.
“Sini kubantu,” lanjutnya sambil melepaskan kedua tangan lalu berdiri dan berjalan mengikuti jalanku ke sink kitchen yang ada di depan meja makan.
“Lihat itu!” ucap Aldar sambil menunjuk keluar jendela.
“Indah, kan? Sepertinya alam ini menyambut perpanjangan kesepakan ini. Hari ini luar biasa, tidak hujan, angin tidak kencang, tidak mendung. Alam semesta ini mendukungku, kan?” lanjutnya dengan nada suara yang terdengar bangga.
“Molai deh ke-ge-er-an,” ucapku seperti biasa selalu mendebat kata-katanya.
“Kamu cantik banget hari ini, nanti pas tracking aku ambil poto banyak-banyak ya, kayak biasanya,” lanjutnya dengan ekspresi wajah mirip anak kecil ketika aku menolehkan kepala.
“Kesh ... Kamu mau nggak hidup bersamaku selamanya?” ucapnya setelah memandangku beberapa saat.