Buk buk buk!
Suara pukulan di pintu terasa nyata. Kuraba sakelar lampu dan menyalakannya. Jam dinding menunjukkan pukul dua pagi.
Ketukan di pintu itu terdengar lagi.
Seketika aku mengingat pria mabuk di halte bis tadi. Apakah dia mengikutiku?
Bayangan itu menghantui. Aku segera memakai jaket dan mengambil sapu sebelum mengintip di lubang pintu. Siapapun orang yang sedang mengetuk pintu kamarku, tampak tidak sabar.
Kutengok si pembuat keributan dari lubang kecil di pintu. Wajah Joon Ki yang marah lah yang terlihat di sana.
Kubuang sapu dan merapikan rambut seadanya. Lalu membuka kunci pintu. Joon Ki mendorong daun pintu sedikit keras, membuatku terlonjak ke belakang.
"Noe!*" Joon Ki menutup pintu di belakangnya dengan keras.
(*Kamu).
Dia menarik lenganku dan mendorongku ke dinding. Wajahnya penuh amarah.
"Ada apa, Joon Ki-ya?"
Alih - alih menjawab, bibir Joon Ki melumat bibirku dengan kasar. Napasnya menderu. Kudorong dadanya pelan, memisahkan diri.
"Ada apa denganmu?" Aku menahan dadanya.
"Kenapa? Kenapa kamu menolakku?"
Pertanyaannya membuatku bingung.
"Menolakmu bagaimana?"
"Ini! Kau menolak aku cium. Kenapa?"
"Aku tidak mengerti maksudmu, Kang Joon Ki. Kamu datang dengan marah dan menciumku dengan kasar. Ada apa? Apa yang salah?"
Joon Ki melepaskan cekalannya di bahuku.
"Mengapa kamu diantar Kim Se Woon? Apa yang kalian lakukan hingga pulang larut?" Kedua alisnya terangkat, dia marah sekali.
"Kamu melihatnya? Se Woon hanya mengantarku-"
"Gojimal hajima!*" Bentaknya, membuatku kaget.
(*Jangan bohong).
Dia tidak pernah membentakku selama ini.
"Untuk apa aku bohong? Aku mengunci kafe dan ketinggalan bis terakhir." Mengenai pria mabuk, aku putuskan tidak perlu Joon Ki tahu. "Se Woon hanya mengantarku pulang karena aku menunggu lama di halte bis."
"Kau pikir aku percaya?"
Entah sejak kapan, Joon Ki mulai krisis kepercayaan terhadapku. Dia cenderung menyangkal hal - hal yang kukatakan dan terus berprasangka buruk tentang apa yang dilihatnya. Meskipun semua yang terlihat, belum tentu seperti yang kelihatan, faktanya.
"Aku tidak memintamu percaya, tapi tidakkah kau tahu bahwa aku tidak bisa melihat pria lain selain dirimu?" Aku memandanginya, amarah di wajah Joon Ki menghilang. "Bagaimana bisa aku menyukai orang lain, jika isi kepalaku hanya dirimu, Kang Joon Ki."
Joon Ki menghela napas.
"Aku cemburu." Aku-nya.
"Kamu melakukan hal yang sia - sia. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan. Hatiku hanya milikmu."
Joon Ki menyentuh bahu kiriku dengan lembut. Membelai tulang selangkaku secara berulang.
"Buktikan padaku." Bisiknya.
"Mwo?*"
(*Apa?).
Joon Ki mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya.
"Buktikan kalau kamu hanya milikku."
Dia memberikan bungkusan kecil itu padaku. Aku tahu ini apa. Joon Ki memberikanku a**************i.
"Kamu menilai hubungan kita seperti ini?" Kuacungkan a**************i itu di depan wajahnya.
Joon Ki mendekatkan bibirnya di telingaku dan berbisik lirih. "Buktikan bahwa hatimu hanya milikku. Buat aku percaya."
Aku menatap kedua matanya. Berusaha mencari tahu bahwa dirinya hanya main - main tentang hal ini. Aku tahu, aku mengenal Kang Joon Ki. Dia tidak sedangkal itu. Namun, yang kulihat hanya sebuah tatapan tajam yang tegas. Yang menyatakan bahwa dirinya sungguhan mengatakan itu semua.
"Hanya dengan ini kamu percaya padaku?" Joon Ki mengangguk.
"Dengan ini, aku menandaimu. Bahwa kamu milikku. Dan aku percaya, bahwa kamu tidak akan mengkhianatiku."
"Geurae*."
(*baiklah).
Kubuka jaket di hadapannya. Joon Ki bergeming. Hingga kubuka kancing piyama, Joon Ki masih tidak bergerak. Aku tertawa miris.
Naif. Aku tahu diriku naif.
Demi mempertahankan hubungan kami, aku harus melakukan ini. Tapi aku tidak bisa kehilangan Joon Ki. Aku tidak ingin bertengkar dengannya, apalagi berpisah.
Joon Ki menatapku dengan tak sabar. Setelah meloloskan diri dari kain terakhir yang kukenakan, aku mendekati Joon Ki yang masih terdiam di tempatnya.
"Apa sekarang kamu percaya?"
Joon Ki tersenyum dan meraih pinggangku.
"Aku mencintaimu," bisiknya sebelum dia menutup mulutku dengan bibirnya.
***
Sejak malam itu, Joon Ki jadi lebih sering mengunjungiku. Meski kami hanya bersama untuk tiga sampai lima jam. Tapi dia mulai rajin datang ke tempatku.
Tentu saja, kami melakukannya lagi dan lagi. Selama Joon Ki bahagia, aku juga bahagia.
Joon Ki bahkan mengizinkanku bekerja di agensi Se Woon, Pyramid Entertainment. Dan mereka menerimaku. Meski ternyata, aku diperbantukan sebagai salah satu asisten manager yang mengurus wardrobe para artis itu. Secara teknis, pekerjaanku serabutan. Hanya untuk diperbantukan di bagian tim coordi.
Joon Ki bangkit dan duduk bersandar pada kepala kasur milikku. Dia membuka ponselnya dan mengetik beberapa pesan. Tangan kirinya membelai bahu telanjangku.
"Kami akan mengadakan konser lagi di beberapa Negara. Aku akan merindukanmu." Joon Ki mengambil tanganku dan mengecupnya. "Haruskah aku menyembunyikanmu dan ikut dalam tur kami?"
Aku tertawa mendengar ide ekstrimnya.
"Aku harus bekerja. Direktur Pyo sangat tegas. Lagipula aku ingin belajar dari senior - seniorku."
Joon Ki menghela napas.
"Andai saja kamu adalah salah satu tim Coordi di SKY, aku akan meminta manager hyung untuk memasukkanmu ke dalamnya. Jadi kita bisa pergi kemanapun bersama."
Aku meresponnya dengan senyum.
"Jangan senyum seperti itu! Kamu menggodaku." Omelnya.
Aku tertawa genit padanya, membuat Joon Ki menahan bahuku dan mencium seluruh wajahku bertubi - tubi. Membuatku kehabisan napas karena tertawa.
Sepertinya aku kelelahan dan tertidur dengan cepat. Ketika bangun jam empat pagi, kudapati secarik kertas dengan tulisan tangan Joon Ki. Dia mengatakan bahwa dirinya harus kembali ke asrama sebelum fajar dan meminta maaf karena meninggalkanku seperti ini. Lagi.
Kurapatkan selimut yang terasa hampa tanpa Joon Ki. Dan memandangi diriku di cermin.
Entah mengapa, perlakuannya yang seperti ini membuatku menilai diri sendiri seperti pelacurnya. Yang dia datangi ketika dirinya butuh pelampiasan dan ditinggalkan begitu saja. Tiba - tiba, aku merasa sakit hati. Terluka dan kesepian di waktu yang sama. Perasaan ini membuatku ingin menangis.
Aku menangisi diriku. Hingga tak ada lagi tenaga tersisa untuk mengasihani diri. Kutumpahkan saja semuanya.
***
Yoo Su Bin, salah satu teman magangku bercerita bahwa Se Woon dikonfirmasi akan mengikuti acara televisi yang bertema pernikahan virtual. Su Bin mengatakan padaku bahwa dirinya mengidolakan Se Woon sejak sekolah menengah dan kesal saat mendengar berita itu.
"Pernikahan virtual?" Tanyaku memastikan.
"Iya. Dua orang idola akan dinikahkan dalam acara itu, tentu saja bukan pernikahan sungguhan. Tapi mereka akan menjalani semua acara dalam lima episode sebagai suami istri." Su Bin menjelaskan padaku. "Kau tidak tahu acara ini?"
Aku menggeleng. Aku hampir tidak pernah nonton acara tv.
"Dan pasangan kedua yang kudengar dari Band Kooky. Sshhhh, siapa nama gitaris itu ya?"
Mendengar nama Kooky membuatku refleks menatap Su Bin dengan serius.
"Kang---Joon Ki kalau tidak salah."
Apa?
"Dia dipasangkan dengan--"
Bayangan tentang Joon Ki yang akan dinikahkan dengan artis idola lain membuat dadaku bergemuruh hebat. Meskipun bukan pernikahan sungguhan, tapi--.
"Hei, Ae Ri-ya. Aku bertanya, apakah kamu mau Ramyun? Kita tidak akan dapat makan nanti siang. Semangkuk ramyun akan mengganjal perutmu sampai sore." Su Bin mengejutkanku, membuatku kembali fokus dan melupakan berita tentang Joon Ki tadi.
Aku mengangguk dengan cepat.
"Tunggu di sini, aku akan membelikannya untukmu."
Aku berterima kasih pada Su Bin dan menyandarkan badanku pada lemari baju milik idola Pyramid Entertainment.
Benarkah Joon Ki akan mengikuti acara sialan itu?