Secercah Cahaya

1029 Kata
Seoul, 2012. Hari ini bos Cho memintaku menutup kafe dengan rekan full time, Lee Yi Sul. Aku menyanggupinya karena sudah tidak ada kegiatan di kampus yang akan kuikuti mulai besok. Seoul mulai memasuki musim dingin. Aku merapatkan baju hangatku sebelum mengambil standing board menu untuk dirapikan. "Ae Ri-ya, aku sudah melakukan tugas berat. Bisakah aku pergi lebih dulu? Aku harus menjemput kekasihku di halte bis." Yi Sul mengenakan sarung tangannya. Aku memeriksa semua isi kafe. Kursi - kursi sudah dirapikan di atas meja. Hanya tinggal memasukkan standing board dan mematikan lampu, aku bisa melakukannya sendiri. "Geurae*. Aku akan mengunci kafe." (*Oke / Baiklah). Yi Sul tersenyum lebar. "Thank you! Na ganda!*" (*Aku duluan). Aku melambaikan tangan padanya dan mengamati pria itu mengendarai motornya menjauh dari kafe. Bolehkah aku merasa iri pada kekasih Yi Sul? Kadang, aku melihatnya sedang melakukan panggilan video dengan kekasihnya. Yi Sul juga sering menanyaiku dan Mi Na mengenai barang - barang perempuan yang sedang trend ketika ingin memberi hadiah untuk pacarnya. Yi Sul juga rajin mengantar jemput kekasihnya bekerja. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Jalanan sekitar kafe sudah sepi, namun tampak ramai di ujung blok. Karena di sana terdapat deretan klub - klub malam elit yang justru baru ramai di atas jam sembilan malam. Alih - alih mematikan lampu, aku duduk di meja kasir. Membuka ponsel dan melihat pesan terakhir Joon Ki. Itu adalah pesannya satu minggu lalu, tentang mengucapkan selamat padaku yang berhasil melewati ujian akhir. Hingga saat ini belum ada lagi pesan darinya. Joon Ki melarangku untuk menghubunginya lebih dulu, karena terkadang manager yang menyimpan ponselnya ketika dia sedang perform atau berlatih. Langit tampak suram, tidak ada bintang yang terlihat di sana. Pesan masuk dari bos Cho membuatku teringat harus segera menutup kafe. Aku pun beranjak merapikan tas dan mematikan semua lampu. Setelah memastikan tidak ada yang terlewat, aku pun bergegas mengunci kafe. Semoga masih ada bis terakhir. Aku memaki diriku sendiri yang sempat - sempatnya melamun tadi. Sepuluh menit menunggu, belum ada bis jurusan rumahku yang tampak. Haruskah aku pindah rumah? Kulihat jejeran apartemen yang berdiri di seberang jalan. Dari eksteriornya saja aku bisa menebak harga sewa dan uang deposit yang ditawarkan. Kuurungkan niat untuk mencari rumah di daerah sini. Aku satu - satunya penghuni di halte bis ini. Waktu semakin malam dan suhu semakin dingin. Seharusnya aku memakai jaket bertudung tadi. "Ya!* Sendirian, agasshi**?" (*Hei) (**Nona). Suara pria yang tampak mabuk terdengar di belakangku. Aku menoleh dan mendapatinya sedang memandangiku dari atas hingga kaki. Membuatku tidak nyaman. "Silakan lanjutkan perjalanan anda!" Jawabku sopan. Pria itu maju dengan langkah terhuyung. Tangan kanannya berusaha menggapaiku, dengan cepat kulangkahkan kaki mundur ke belakang. "Jangan galak - galak, aku hanya ingin berkenalan denganmu." Kedua tanganku mencekal tas erat - erat. Ingin rasanya kulayangkan tas ini ke kepalanya, tapi aku takut dia melawan dan semakin berani menyakitiku. "Jj--jangan mendekat, aku hanya ingin pulang." Suaraku gugup. Ya Tuhan, aku takut sekali. Sesekali mobil yang lewat, namun tidak ada yang peduli. Atau mereka bahkan tidak melihatku yang sedang ketakutan. "Mari aku antar." Dia menyeringai, membuatku semakin ketakutan. "Tt--terima kasih, Tuan. Aku akan naik taksi." Taksi, ppali wa!*. (*cepatlah datang). Aku akan naik taksi saja. "Aku saja yang mengantarkanmu." Dia maju lagi, sekarang kakiku sudah tidak bisa mundur karena tiang dan papan iklan di belakangku. "Jangan mendekat!" Aku menggertak, dia tertawa. "Kubilang jangan mendekat! Atau--" "Atau apa?" Kali ini aku bahkan bisa mencium aroma alkohol dari mulutnya. Kakiku gemetar. Oh Tuhan, aku takut sekali. Tidak adakah seseorang yang melihat kami dan menolongku? "Ahjussi!* Pergilah!" Suara seorang pria membuatku kembali membuka mata. (*Paman). Akhirnya! Pria mabuk di hadapanku menoleh dan mencari sumber suara. Di belakangnya, Se Woon berdiri dan menarik baju tebal pria mabuk itu. "Pergilah! Aku tidak ingin menyakitimu." Se Woon mendorong pria itu pergi. "Ae Ri-ya? Kamu tidak apa - apa?" Aku mengangguk dan menguatkan diri untuk berdiri tegak tanpa gemetar seperti tadi. "Nae gwenchana*." (*aku baik - baik saja.) "Syukurlah. Apakah kamu kehabisan bis?" "Sepertinya aku melewatkan bis terakhir. Aku berencana naik taksi, tapi tidak ada yang lewat." Terangku. Se Woon menunjuk mobil hitam yang berhenti di depan halte dengan pintu pengemudi yang terbuka. "Aku akan mengantarkanmu. Ayo!" Aku hendak menolak, tapi ketakutan akan pria mabuk tadi membuatku mengangguk dan mengikuti Se Woon yang membukakan pintu penumpang untukku. "Terima kasih, jika tidak ada kamu entah bagaimana jadinya tadi." Mobil Se Woon sudah meninggalkan halte bis. "Hei, tidak masalah. Aku merasa mengenalimu di halte tadi dan ternyata benar. Ada apa kamu pulang selarut ini?" Se Woon menyalakan pemanas, aku membuka sarung tangan dan menempelkan tanganku yang membeku di depan pemanas. "Istri bos Cho baru saja melahirkan tadi siang, dia memintaku menutup kafe." "Aaah. Dimana kamu tinggal?" Aku memberikan alamatku dan Se Woon melarikan mobilnya ke arah yang kuberikan. Kami berbincang tentang kuliahku yang hampir selesai dan Se Woon menanyai rencanaku setelah lulus. "Aku belum tahu. Beberapa dosen merekomendasikan Perusahaan untuk magang, tapi aku belum mengambil keputusan." "Waeyo?*" (*Mengapa?) Karena aku belum membicarakan ini dengan Joon Ki, aku butuh sarannya. Sementara kami kesulitan berkomunikasi. Tentu saja aku tidak mengatakan hal ini pada Se Woon. "Aku ingin opsi lain." Jawabku. Se Woon tampak berpikir. "Apakah kamu mencari posisi yang berhubungan dengan fashion?" "Keureom*. Di majalah fashion atau sebuah brand, akan sangat kusukai." (*tentu saja). "Di agensi hiburan?" Se Woon menatapku sebelum pandangannya kembali ke depan. "Ehmm. Aku tidak yakin--" "Di agensiku, kami juga memiliki tim untuk mengatur fashion dan wardrobe. Kalau kamu mau, aku bisa merekomendasikanmu di sana." Akan lebih baik jika agensi Joon Ki yang direkomendasikan. "Aku akan memikirkannya." Se Woon tertawa. "Yaaa, semua orang ingin bekerja di agensi kami dan kamu akan memikirkannya?" Aku tertawa canggung. Sejujurnya, aku tidak terlalu menggandrungi para idola - idola itu. Bekerja dengan mereka bukan sesuatu yang istimewa bagiku. Aku tidak bersemangat. Jika bisa bekerja di SKY Entertainment, tentu itu beda cerita. Aku akan lebih dekat dengan Joon Ki, pacarku, tentu saja itu membuatku gembira. Sayangnya, tidak ada yang menawariku bekerja di sana. "Jika bekerja dengan kami, kamu akan ikut kemanapun idola yang kamu pegang pergi atau melakukan pertunjukkan. Kamu bisa bertemu banyak orang terkenal. Sebut saja designer, stylish, make up artist, para idola dari grup lain, kru televisi--" Aku mengingat ketika Onyx berada dalam satu pertunjukkan dengan Kooky. Tentu saja para kru akan berada di belakang panggung yang sama dengan artis - artis itu. Seketika dadaku meletup gembira. Bayangan untuk bisa sering bertemu Joon Ki memenuhi kepalaku. "Jinjja?*" Suaraku yang bersemangat mengejutkan Se Woon yang sedang menyetir. (*Sungguh?) "Apa yang kamu maksud?" Aku tersenyum lebar ke arah Se Woon. "Bertemu dengan banyak orang terkenal?" "Tentu saja." Jawabnya sambil tertawa. "Baiklah. Tolong rekomendasikan aku di agensimu." "Tapi kau harus berhenti bekerja di kafe." Aku tahu hal itu. "Iya. Aku akan berhenti segera jika diterima di agensimu." Se Woon tersenyum, menampilkan kedua lesung pipinya. Membuatnya tampak lebih tampan.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN