Seoul, 2011
Beberapa artis idola sering berkunjung ke kafe tempatku bekerja. Melihat mereka menjadi hal yang biasa. Beberapa kantor agensi membeli gedung di sekitar sini.
Ada hal positif dari itu, pengunjung kami semakin bertambah. Bos Cho bahkan membuka lowongan untuk pegawai purna waktu. Karena aku dan Mi Na tidak bisa bekerja full time sehingga kedua senior kami kewalahan.
Se Woon datang dengan beberapa orang yang tidak kukenal. Setelah memesan minum, dia mengambil tempat untuk mereka berempat. Wajahnya tampak serius.
Setelah mengantarkan pesanan Se Woon, aku mengerjakan tugasku di balik meja kasir. Bos Cho tidak pernah melarangku mengerjakan tugas kuliah di waktu - waktu seperti ini.
Tentu saja jika kafe sedang ramai, aku tidak akan mengeluarkan buku - buku kuliahku.
Pengunjung kami tidak begitu ramai hari ini. Bahkan para penggemar tidak tampak di luar kafe. Aku bisa belajar dengan tenang.
"Jurusan apa yang kau ambil?" Tiba - tiba Se Woon sudah berdiri di depanku.
Aku memperlihatkan padanya sketsa baju yang sedang ku-design."
"Whoaa daebak!* Kau akan menjadi fashion designer terkenal. Ehem, jika ingin mencari model, kau kenal orang yang tepat." Dia membuat lelucon dengan merapikan kancing bajunya.
(*hebat).
Aku tertawa.
"Ngomong - ngomong. Apa yang kalian bicarakan dengan wajah serius tadi?" Tanyaku penasaran.
"Mereka menawariku bermain drama. Aku sedang menanyakan detil tentang peran yang ditawarkan." Terang Se Woon, aku mengangguk.
"Apa yang kurang darimu? Kau terlahir sebagai chaebol*. Menjadi anggota boyband terkenal dan sekarang akan bermain drama juga?" Aku menghembuskan napas, berpura - pura berpikir keras.
(*orang kaya / sosialita korea)
"Satu kekuranganku. Tidak punya pacar." Jawabnya ringan.
Aku terbahak. Itu pernyataan konyol.
Perempuan mana yang bisa menolak pesona seorang Se Woon. Dia memasang wajah sedih dan berpura - pura mengasihani diri. Membuatku semakin terbahak.
Peraturan di agensinya sama dengan agensi Joon Ki. Mereka idola, mereka dilarang memiliki pacar. Atau popularitas mereka akan turun. Para penggemar akan sedih dan meninggalkan mereka.
"Apakah aku bisa memesan?" Suara pria yang kukenali terdengar dari balik punggung Se Woon.
Joon Ki berdiri di sana. Wajahnya datar. Namun aku tahu, dia menahan amarah karena suaranya ditekan serendah mungkin.
"Oh Joon Ki-ya!" Se Woon menyapa Joon Ki dengan akrab.
Tentu saja mereka saling mengenal sekarang. Sering hadir di acara musik yang sama, membuat mereka menjadi kenal dan dekat satu sama lain.
"Hyung*!" Joon Ki menunduk sedikit.
("Kakak laki2. Panggilan utk kakak laki2 oleh laki2)
"Espresso, double shot. Dua." Aku membuatkan pesanan Joon Ki.
"Aku pergi dulu, Ae Ri-ya! Sampai jumpa." Se Woon pamit padaku dan berbincang sebentar dengan Joon Ki juga Yoon Jo sebelum benar - benar pergi.
"Annyeong haseyo!" Yoon Jo menyapaku, aku mengangguk sekali.
Yoon Jo pernah beberapa kali datang kesini. Dia sangat ramah, seperti Se Woon.
Aku memberikan pesanan Joon Ki padanya dan menyerahkan kartunya kembali.
Tatapan tajam Joon Ki berakhir saat Yoon Jo mengajaknya duduk.
Aku menghela napas gelisah. Tidak ingin Joon Ki berpikir yang macam - macam, aku segera mengiriminya pesan.
Dari tempatku, kulihat Joon Ki meraih ponsel di sakunya. Menatap layar sebentar dan meletakkan ponselnya di meja. Tanpa membaca dan membalas pesanku.
***
Aku memikirkan reaksi Joon Ki siang tadi. Sampai saat ini, dia belum membalas pesan yang kukirimkan terus menerus. Aku tidak ingin dia salah paham terhadap interaksiku dan Se Woon. Dia memang pencemburu dan kadang - kadang sangat posesif.
Jam sudah menunjukkan pukul satu pagi. Tapi mataku enggan terpejam. Hatiku masih cemas. Kuraih ponsel dan mencoba menghubungi Joon Ki, namun nihil. Ponselnya mati sekarang. Dia mungkin sudah tidur.
Kukirimkan pesan permintaan maaf sekali lagi dan mematikan lampu.
Suara seseorang memukul - mukul pintu kamarku, membuatku kaget dan terbangun. Ini pukul tiga pagi, siapa yang memukul pintu sedemikian keras di waktu selarut ini?
Aku memakai jaket dan membuka pintu perlahan.
Joon Ki berdiri di sana. Aroma alhokol tercium menyengat dari tubuhnya.
"Joon Ki-ya, apa yang kau lakukan?" Bisikku, sambil menariknya masuk ke dalam sebelum para tetangga memarahiku karena keributan yang dibuatnya.
"Kamu! Kamu bosan denganku?" Dia menunjukku.
Dia mabuk.
Untuk orang yang kuat minum seperti Joon Ki, kali ini dia sangat mabuk. Entah berapa botol cairan alkohol yang sudah diteguknya.
"Kamu berlebihan Joon Ki-ya. Kamu tidak perlu cemburu pada Se Woon--"
"Kamu! Kamu menggoda dia karena lebih terkenal dariku?" Dia menceracau.
Aku membantu Joon Ki melepaskan diri dari jaket tebal dan sepatunya.
"Aku tidak menggodanya. Kami hanya mengobrol."
"Gojimal!*" Sanggahnya, dengan suara yang lemah.
(*Bohong)
Tak lama, tubuhnya terhuyung ke atas kasur. Dia tertidur. Aku memindahkan kakinya agar dia tidur dengan benar dan merapikan selimut untuknya.
Rambut Joon Ki mulai memanjang. Kubelai rambutnya perlahan. Joon Ki masih mengigau sesekali, kemudian tertidur pulas.
"Jangan marah, Joon Ki-ya. Hanya kamu, satu - satunya pria yang membuatku jatuh cinta." Aku mengecup pelipisnya.
***
"Bisakah aku mendapatkan segelas milkshake strawberry?"
Seorang anak berseragam sekolah menengah atas menyerahkan uang dan memesan minuman padaku.
"Apa kau ingin potongan strawberry di atasnya?" Tanyaku kembali.
"Apakah uangku cukup?"
Aku mengangguk sambil tersenyum.
"Oke. Aku mau potongan strawberry." Aku segera bergerak untuk membuatkan pesanannya. "Noona!"
"Ya?"
"Apakah Noona sudah secantik ini sejak lahir?"
Aku menatapnya bingung. Kemudian teringat bahwa anak ini adalah salah satu trainee yang pernah diajak Kim Se Woon minum di sini juga dan pernah memujiku juga saat itu.
"Maaf?" Tanyaku sopan.
Seseorang memukul kepala anak itu dan memarahinya.
"Apakah kau bicara aneh - aneh, Ji Wook-ah?"
"Aku hanya memujinya." Jawab anak yang dipanggil Ji Wook itu sambil mengusap kepala yang kena pukul.
"Maafkan dia, Noona. Dia kadang tidak sopan. Tapi dia anak yang baik." Anak muda yang tampak lebih tua dari anak sekolah di sampingnya membungkukkan badan.
"Gwenchaseumnida*. Terima kasih untuk pujianmu." Aku memberikan milkshake strawberry pada anak sekolah itu.
(*tidak apa - apa - formal.)
Dia menjulurkan lidah pada teman yang tadi memukulnya dan berlari pergi.
Dari pintu masuk, Joon Ki datang dengan kedua member band-nya. Mereka memilih meja dan menyuruh Kang Ho, member termuda di Kooky untuk memesan. Tatapan Joon Ki sekilas melihatku lalu kembali berbincang dengan Yoon Jo.
"Halo Noona, kami ingin memesan kopi seperti biasa." Kang Ho mengulurkan kartu kreditnya.
Aku tersenyum dan mengurus pesanannya.
"Bisakah kamu mengantarkan ke meja kami?"
"Tentu. Silakan menunggu."
"Terima kasih."
Aku mengantarkan pesanan ke meja Kooky. Di luar kafe, beberapa penggemar tampak terus menerus mengambil foto idola mereka. Ketiga member itu tampak tidak peduli.
Joon Ki tidak lagi marah padaku, hanya saja kami tidak bisa saling menatap di tempat umum.
"Terima kasih." Ucap Yoon Jo.
Aku segera berlalu dari meja mereka. Mi Na menyenggol lenganku sambil menatap meja tempat Joon Ki berada.
"Mengapa Yoon Jo harus secantik itu sebagai pria?" Bisik Mi Na.
Aku merespon Mi Na dengan tertawa kecil dan tidak berhenti menatap Joon Ki, yang sesungguhnya berjarak dekat sekali denganku. Namun, terasa sangat jauh untuk kusentuh.
Di luar, para penggemar meneriakkan namanya.
Bukan hanya aku, satu - satunya wanita yang mencintai Joon Ki saat ini. Namun, ribuan penggemar Kooky di luar sana juga mencintainya. Dan mungkin berharap menjadi kekasihnya.
Aku menghela napas pasrah.
•••